My Novel

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan TADBM)
karya mbah_man
Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

Website Resmi : https://cersilindonesia.wordpress.com

stsd

STSD Jilid 1

Bagian 1
Malam baru saja lewat sirep bocah. Angin malam yang bertiup cukup keras telah menggugurkan daun-daun kering pepohonan yang tumbuh di halaman istana Kepatihan. Di ruang dalam, tampak lima orang sedang duduk terpekur menunggu titah Ki Patih Mandaraka.
Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Masing-masing sedang tenggelam dalam lamunan yang mengasyikkan. Berbagai kenangan telah hilir mudik dalam benak mereka. Satu-persatu kenangan itu bagaikan air hujan yang turun membasahi bukit-bukit berbatu. Mengalir di sela-sela bebatuan susul menyusul saling berebut hingga akhirnya sampailah air itu di kaki bukit kenangan mereka.
“Ki Rangga,” tiba-tiba terdengar Ki Patih berkata membuyarkan lamunan mereka, “Bagaimanakah rencana Ki Rangga selanjutnya sehubungan dengan lolosnya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”
Ki Rangga Agung Sedayu beringsut setapak ke depan sambil menyembah. Jawabnya kemudian, “Ampun Ki Patih. Pangeran Ranapati telah lolos dari medan pertempuran lemah Cengkar karena ditolong oleh Gurunya, Ki Singawana Sepuh. Menurut perkiraan hamba, mereka kemungkinan besar telah pulang ke Kademangan Cepaga. Hamba mempunyai rencana untuk menyusul mereka.”
Untuk beberapa saat Ki Patih termenung. Ingatannya kembali ke masa puluhan tahun yang silam ketika seorang pemuda yang bernama Jaka Suta bersama Pamannya singgah di padepokan Selagilang, di lereng utara gunung Merapi.
Sejenak suasana kembali sepi. Ki Patih sedang terbawa kenangan sewaktu Panembahan Senapati masih muda dan lebih dikenal dengan nama Raden Sutawijaya.
“Tugas untuk melacak keberadaan pangeran Ranapati itu masih tetap berada di pundakmu, Ki Rangga,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Namun yang perlu engkau waspadai, Ki Ageng Selagilang atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, tentu akan melindungi orang yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri itu. Ki Ageng Selagilang mempunyai ketinggian ilmu yang tak terukur. Engkau harus benar-benar siap lahir maupun batin jika ingin berurusan dengannya lagi,” Ki Patih berhenti sejenak. Setelah menarik nafas panjang Ki Patih melanjutkan, “Tidak menutup kemungkinan jika Ranapati masih dapat bertahan dan selamat, dia akan menyusun kekuatan lagi dengan mempengaruhi dan bergabung dengan para Adipati di pesisir yang sekarang ditengarai sedang bergolak.”
Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak terangguk dalam-dalam.
“Nah, Ki Rangga. Untuk sementara persoalan Ranapati itu kita kesampingkan dulu sambil menunggu perkembangan dari para petugas sandi. Mereka telah disebar untuk memantau keberadaan Ranapati.”
Mereka yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu hanya dapat mengangguk-angguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Sekarang aku akan menyampaikan sesuatu hal tentang Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Patih kemudian sambil membetulkan letak duduknya.
Ki Rangga yang mendengar Kademangan Sangkal Putung disebut, tanpa sadar telah mengangkat wajahnya. Namun begitu disadari Ki Patih sedang memandang ke arahnya, dengan cepat segera ditundukkan kembali wajahnya.
“Mataram sedang mempersiapkan serat kekancingan bagi Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Ki Swandaru telah berjasa ikut menjaga kedaulatan Mataram dari tangan-tangan segolongan orang yang tidak bertanggung jawab. Bentuk penghargaan itu sedang dipikirkan. Mungkin kademangan Sangkal Putung akan ditingkatkan kedudukannya menjadi sebuah tanah Perdikan yang tidak mempunyai kewajiban membayar upeti, namun kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada Mataram tetap ada.”
Berdesir jantung orang-orang yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu. Selama ini Ki Demang Sangkal Putung dalam tugas sehari-hari telah diambil alih oleh Ki Swandaru karena kesehatan ki Demang yang sudah menurun serta usianya yang sudah sedemikian sepuh. Sepeninggal Ki Swandaru, Kademangan Sangkal Putung harus segera menunjuk seseorang untuk membantu tugas Ki Demang atau bahkan sekalian mengangkat seorang Pemangku sementara untuk menjalankan tugas sehari-hari sampai saatnya nanti Ki Demang mengundurkan diri.
“Apakah Kademangan Sangkal Putung sudah memutuskan siapa Pemangku sementara untuk membantu Ki Demang yang sudah tua dan sakit-sakitan itu?” tiba-tiba Ki Patih bertanya seolah-olah mengerti apa yang sedang mereka pikirkan.
Orang-orang yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu untuk sejenak saling berpandangan. Ki Rangga lah yang akhirnya menjawab, “Ampun Ki Patih, beberapa saat yang lalu Pandan Wangi telah menyampaikan rencananya kepada hamba. Bayu Swandana anak laki-laki satu-satunya Ki Swandaru rencananya akan dibesarkan oleh ibunya di Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Patih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun bertanya, “Mengapa Pandan Wangi memilih pulang ke Tanah Perdikan Menoreh?”
Ki Rangga yang melihat Ki Patih telah berpaling ke arahnya segera menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Ki Patih. Hamba telah memberikan beberapa pertimbangan kepadanya, namun Pandan Wangi lebih memilih untuk pulang ke Menoreh.”
Kembali Ki Patih mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan, Ki Patih segera maklum apa yang dimaksud oleh Ki Rangga.. Katanya kemudian sambil menghela nafas panjang, “Ya, aku bisa memaklumi sikap Pandan Wangi. Sepeninggal suaminya, Pandan Wangi tentu merasa lebih tenang membesarkan anaknya di tanah kelahirannya sendiri. Sementara di Menoreh, Ki Argapati pun juga memerlukan pendamping untuk menjalankan tugasnya sehari-hari.”
“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Biarlah urusan itu dibicarakan oleh keluarga besar kedua wilayah itu. Mataram akan menunggu setiap keputusan yang telah disepakati”, Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekarang aku ingin mendengar laporan tentang perjalanan Glagah Putih beberapa pekan yang lalu ke Bukit Tidar.”
Glagah Putih yang disebut namanya segera bersingsut ke depan. Sambil menyembah, Glagah Putih pun segera memberikan laporannya.
“Mohon ampun Ki Patih,” berkata Glagah Putih kemudian, “Rencana perjalanan kami ke bukit Tidar memang sempat tertunda beberapa hari sehubungan dengan meninggalnya Ki Swandaru,” Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Gunung Tidar selama ini ternyata sedang dalam pengamatan para petugas sandi. Kami telah mengadakan hubungan dengan para petugas sandi di sana. Akhir-akhir ini perguruan Sapta Dhahana yang berada di lereng gunung Tidar sedang giat menjalin hubungan dengan segolongan orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen.”
Tampak Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar laporan Glagah Putih. Sekilas wajah Ki Patih tampak sedikit muram. Sedangkan orang-orang yang hadir di ruangan itu tampak saling pandang dengan kening yang berkerut-merut.
Ki Waskita yang duduk di sebelah kiri Ki Rangga memberanikan diri untuk mengajukan pendapatnya, “Ampun Ki Patih. Bukankah orang-orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah membuat keributan di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu? Agaknya berita kebangkitan keturunan dari Pangeran Sekar itu bukan berita ngaya wara.”
“Benar, Ki Waskita,” jawab Ki Patih, “Aku memang sudah mendapat laporan sebelumnya, namun aku ingin Glagah Putih di dampingi Ki Jayaraga untuk menelusuri kebenaran berita itu dan melihat kekuatan yang tersimpan di padepokan Sapta Dhahana serta hubungannya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai trah Sekar Seda Lepen.”
“Sendika Ki Patih,” Ki Jayaraga yang sedari tadi diam saja kini menyahut, “Kami berdua telah mengamati perguruan itu dari dekat. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai Damar Sasangko, sering mengadakan hubungan dengan seseorang yang bernama Raden Wirasena yang mengaku sebagai keturunan Pangeran Sekar, putra tertua dari Raden Patah Sultan Demak pertama walaupun dari garwa selir. Raden Wirasena menganggap dirinya lebih berhak atas tahta di tanah ini dari pada keturunan Panembahan Senapati.”
Untuk beberapa saat mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Jayaraga itu terdiam. Orang yang bernama Raden Wirasena dan para pengikutnya itu agaknya sedang berusaha menanamkan pengaruhnya terhadap para kawula Mataram dengan cara mengungkit kembali akan garis keturunan dari kerajaan Demak lama. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang masih rindu akan kejayaan Demak lama akan terpengaruh, karena mereka masih beranggapan bahwa penguasa negeri ini harus ada garis keturunan dari kerajaan besar yang pernah ada, yaitu Majapahit. Sedangkan Panembahan Senapati yang kemudian menjadi raja pertama di Mataram itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan garis keturunan dari Majapahit.
“Ampun Ki Patih,” kembali Ki Waskita mengajukan pendapatnya sambil menyembah, “Bukankah jaman sudah berganti dan Wahyu Keprabon sudah berpindah beberapa kali? Dan yang terakhir, sesuai dengan ramalan seorang Wali yang waskita, Wahyu Keprabon ternyata telah jatuh di Alas Mentaok yang sekarang ini telah menjadi kerajaan Mataram.”
 “Ki Waskita benar,” jawab Ki Patih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun yang perlu diluruskan adalah, siapakah yang telah mengaku sebagai trah Pangeran Sekar itu? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pangeran Sekar meninggalkan dua orang putra, Harya Penangsang dan Harya Mataram. Harya Penangsang gugur dalam peperangan antara Pajang dan Jipang di pinggir bengawan sore, sedangkan Harya Mataram telah lolos dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.”
Untuk sejenak ruang dalam Kepatihan itu kembali menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam dalam angan-angan mereka. Sementara di luar angin malam bertiup agak kencang sehingga telah mengguncang daun-daun pohon sawo kecik yang ditanam di sebelah regol Kepatihan.
“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian, “Persoalan itu akan menjadi pekerjaan para prajurit sandi untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang yang perlu kita ketahui adalah kekuatan sebenarnya dari Padepokan Sapta Dhahana. Ki Rangga pun agaknya sangat berkepentingan dengan berita ini. Mungkin Ki Jayaraga dapat memberikan gambaran.”
Selesai berkata demikian Ki Patih kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun tanggap. Secara singkat segera diceritakan hasil pengamatannya bersama Glagah Putih di Padepokan Sapta Dhahana.
“Ampun Ki Patih, sebagaimana yang pernah Ki Patih sampaikan. Perguruan itu memang mempunyai sebuah ritual yang cukup aneh. Kami berdua sempat menyaksikan walaupun dari jarak yang agak jauh. Setiap murid perguruan itu senang bermain-main dengan api,” Ki Jayaraga memulai kisahnya, “Pada tingkat kemampuan yang paling rendah, murid-murid padepokan itu mampu berjalan dengan kaki telanjang di atas tumpukan bara api tanpa menderita luka sedikit pun. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang telah dilumuri sekujur tubuhnya dengan sejenis minyak kemudian dibakar. Ternyata tubuh orang tersebut tidak mempan dibakar api, bahkan pakaian yang dikenakannya pun tetap utuh, tidak hangus dimakan api.”
Mereka yang hadir di ruangan itu menjadi berdebar-debar. Jika murid-muridnya saja mampu menunjukkan pengeram-eram seperti itu, bagaimana dengan kemampuan gurunya sendiri?
“Semasa mudaku aku memang pernah mendengar perguruan itu,” Ki Patih memberikan tanggapannya, “Seingatku perguruan itu memang senang bermain-main dengan api, sesuai dengan namanya Sapta Dhahana,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengumpulkan daya ingatnya. Lanjutnya kemudian, “Kekuatan yang terpancar dari puncak ilmu perguruan Sapta Dhahana itu, tentu tidak lepas dari kekuatan api, entah itu berupa semburan api yang sangat panas, atau bola-bola api yang sangat panas yang terlontar dengan kekuatan nggegirisi. Aku berharap semua ini akan memberikan sedikit gambaran tentang kekuatan perguruan Sapta Dhahana kepada Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali Ki Patih berhenti sejenak. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun melanjutkan kata-katanya, “Bukankah janji Kiai Damar Sasangka itu masih berlaku Ki Rangga?”
Ki Rangga Agung Sedayu yang mendapat pertanyaan dari Ki Patih itu hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah. Dia segera teringat akan penuturan Kiai Sabda Dadi yang pernah berjumpa langsung dan menerima pesan dari pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Kiai Damar Sasangka telah memberinya waktu sebulan lebih sepuluh hari untuk menyembuhkan luka-lukanya. Jika batas waktu itu telah tercapai, bagaimana pun keadaan dirinya, Pemimpin perguruan di lereng gunung Tidar itu tetap akan membunuhnya, melawan ataupun tidak melawan.
“Sampai kapan aku akan terbebas dari lingkaran dendam yang tak berkesudahan ini?” Ki Rangga hanya dapat mengeluh dalam hati.
Sejenak kemudian, ruang dalam Kepatihan itu pun kembali sunyi. Hanya terdengar suara angin di luar gedung Kepatihan yang bertiup kencang sehingga membuat atap gedung Kepatihan itu berderak-derak.
“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba Ki Waskita berkata sambil menghaturkan sembah, “Orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang pernah membuat onar di kediaman Ki Gede Menoreh itu juga mampu mengungkapkan ilmunya melalui pusaran angin bercampur lidah api. Bahkan ketika orang itu telah menghentakkan ilmunya, yang terpancar dari ilmunya benar-benar berupa badai api yang siap melumat apapun yang menghalanginya.”
“Ya, aku sudah mendapat laporan tentang itu,” sahut Ki Patih cepat, “Namun orang yang disebut Eyang Guru itu ternyata  telah melarikan diri begitu Ki Rangga hadir. Agaknya dia ketakutan begitu melihat cambuk di tangan Ki Rangga.”
Orang-orang yang hadir di ruang itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan cepat dia segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, yang membuat orang yang disebut Eyang Guru itu melarikan diri adalah suara derap kaki kuda Ki Gede Menoreh dan rombongannya yang sudah mencapai regol halaman, bukan hamba. Karena sesungguhnya hamba belum melakukan apa-apa.”
“Engkau benar Ki Rangga,” jawab Ki Patih sambil tersenyum penuh arti, “Bukankah engkau memang hanya berbaring saja di tempat tidur ketika pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu membuat ontran-ontran?”
“Ah,” desah Ki Rangga sambil menundukkan kepala, sementara KI Waskita justru telah tertawa. Sedangkan yang lain hanya dapat mengerutkan kening mereka dalam-dalam karena tidak tahu apa yang maksud oleh Ki Patih.
“Bukankah Kakang Agung Sedayu masih sakit pada waktu itu?” pertanyaan itu telah berputar-putar dalam benak Glagah Putih. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sedikit banyak dia mulai dapat meraba ilmu yang sedang ditekuni oleh kakak sepupu muridnya itu.
 “Nah, sekarang aku akan memberikan tugas kepada kalian,” berkata Ki Patih kemudian, “Sebenarnya Ki Rangga dan Glagah Putih saja yang mendapat tugas ini langsung dari Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati.”
Tanpa sadar kelima orang yang menghadap Ki Patih itu telah mengangkat kepala mereka dengan jantung yang berdebaran.
“Namun atas saran Pangeran Pati, dan juga pertimbanganku sendiri, Ki Bango Lamatan juga aku libatkan dalam tugas ini.” Ki Patih melanjutkan penjelasannya.
Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Ki Rangga dan kawan-kawannya terlonjak kaget, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Nama Bango Lamatan tentu saja tidak asing di telinga Ki Rangga karena memang mereka berdua pernah bertemu. Sedangkan yang lainnya  mengenal nama itu sebagai pengikut setia Panembahan Cahya Warastra.
Serentak keempat orang itu berpaling ke belakang, kearah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan jambang dan kumis yang hampir menutupi separuh wajahnya.
Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bango Lamatan yang dulu tidak memelihara kumis dan jambang, namun agaknya sekarang dia lebih senang memeliharanya sehingga orang yang pernah mengenalnya akan kesulitan untuk mengenalinya kembali.
Memang pada saat mereka berempat memasuki ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, di dalam ruangan itu telah hadir seseorang yang hampir seluruh wajahnya tertutup kumis dan jambang yang lebat. Orang itu selalu menundukkan wajahnya sehingga wajahnya sulit untuk dikenali.
Sementara Ki Bango Lamatan yang duduk di belakang sendiri ketika namanya disebut, hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Agaknya Ki Patih dapat membaca wajah-wajah yang penuh tanda tanya itu. Maka katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan telah menyediakan dirinya untuk membela tetap tegak dan berkibarya panji-panji Mataram di seluruh pelosok negeri ini,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan, Ki Patih bertanya, “Bukankah begitu, Ki Bango Lamatan?”
Dengan penuh rasa takdim, Ki Bango Lamatan pun menyembah sambil berdesis perlahan, “Sendika Ki Patih,”
Hampir bersamaan, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun telah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sesuatu telah terjadi pada diri orang kedua di perguruan Cahya Warastra itu setelah pasukan Panembahan Cahya Warastra dihancurkan oleh pasukan Mataram.
“Nah, tugas kalian adalah memutus hubungan  perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang mengaku sebagai trah Sekar Seda Lepen itu sebelum semuanya berkembang menjadi besar,” berkata Ki Patih kemudian yang membuat jantung kelima orang itu tergetar.  “Namun kalian tidak diijinkan  membawa pasukan segelar sepapan untuk menghancurkan perguruan itu. Carilah upadaya agar kalian mendapatkan ikannya tanpa harus membuat keruh air di sekelilingnya.”
Jantung kelima orang itu menjadi semakin berdebaran. Agaknya Ki Patih menghendaki cara lain dalam melumpuhkan perguruan Sapta Dhahana dan itu bukan suatu pekerjaan yang mudah.
“Karena beratnya tugas ini, aku juga mohon kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk menemani Ki Rangga,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil tersenyum  dan memandang ke arah kedua orang tua itu, “Atas nama Mataram aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Sungguh, aku pun secara pribadi rasa-rasanya ingin bergabung dan mengulang kembali masa-masa muda, menjelajahi hutan dan ngarai. Menuruni lembah dan bukit, mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah tersentuh oleh tangan manusia.”
Ki Waskita dan Ki Jayaraga sejenak saling pandang. Ki Waskita lah yang kemudian menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, kami yang tua-tua ini sesungguhnya merasa takut jika keberadaan kami nantinya hanya menjadi beban. Namun sesungguhnya kami pun juga merasa sangat kesepian jika hanya duduk-duduk saja di beranda menunggu waktu berlalu, karena memang kami tidak mempunyai pekerjaan yang dapat mengikat kami. Sehingga  jika  tenaga kami yang sudah rapuh ini memang masih dibutuhkan,  kami siap untuk membantu Ki Rangga.”
“Ah,” Ki Patih tertawa pendek, “Tenaga Kalian berdua memang terlihat rapuh sebagaimana orang tua kebanyakan. Namun aku yakin, Ki Waskita masih mampu membakar hutan dengan tatapan matanya, sedangkan Ki Jayaraga masih mampu meledakkan bukit  hanya dengan ujung jarinya.”
Semua yang hadir di ruangan itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih. Dengan cepat Ki Jayaraga beringsut ke depan sambil menyembah. Katanya kemudian, “Ampun Ki Patih sebenarnya hamba sudah dihinggapi penyakit tua, tidak bisa menunjuk ke sasaran dengan tepat karena tangan hamba selalu gemetar. Hamba takut jika harus meledakkan bukit kecil di sebelah istana Kepatihan ini, justru istana ini yang akan hancur.”
“Ah,” kini semua yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu tertawa.
“Nah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Mataram tidak mungkin menyerang padepokan Sapta Dhahana secara terbuka sebelum ada bukti keterlibatan mereka dalam usaha makar yang diprakarsai oleh orang-orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen. Untuk itulah aku telah mempertimbangkan masak-masak dengan memilih cara ini. Semoga Yang Maha Agung selalu meridhoi setiap langkah kita untuk menuju perdamaian di seluruh penjuru negeri Mataram.”
Hampir bersamaan kelima orang itu telah menarik nafas dalam-dalam. Sebuah tugas yang memerlukan kesabaran dan ketabahan. Selain tidak boleh menggunakan kekuatan prajurit, tidak menutup kemungkinan di padepokan Sapta Dhahana nantinya mereka akan menghadapi kekuatan yang jauh diluar  dugaan mereka .
“Persoalan yang sedang berkembang di gunung Tidar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Namun jauhkan kesan keterlibatan Mataram dalam peristiwa ini sebelum ada bukti yang nyata tentang usaha mereka untuk menggulingkan Mataram.” Titah Ki Patih kemudian.
Demikianlah untuk beberapa saat mereka yang berada di ruang dalam Kepatihan itu masih membicarakan masalah seputar rencana keberangkatan mereka besuk pagi.
Ketika Ki Patih sudah merasa cukup memberikan pengarahan kepada kelima orang itu, Ki Patih pun segera menutup pertemuan itu dan mempersilahkan mereka untuk beristirahat di tempat yang telah disediakan.
Dalam pada itu malam hampir mencapai puncaknya ketika kelima orang itu keluar dari ruang dalam  Istana Kepatihan. Hampir tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan mereka sehubungan dengan tugas yang telah diberikan oleh Ki Patih.
Ketika mereka telah tiba di halaman samping kanan Istana Kepatihan, tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan telah menghentikan langkahnya. Ki Rangga dan kawan-kawannya pun segera saja ikut menghentikan langkah mereka.
“Ki Rangga,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Aku bermalam di Ndalem Kapangeranan. Pangeran Pati telah berkenan menerima suwitaku untuk menjadi pengawal pribadinya.”
“Syukurlah,” berkata Ki Rangga, “Tenaga Ki Bango Lamatan sangat dibutuhkan untuk perkembangan Mataram di masa mendatang.”
“Aku hanya berusaha untuk  yang terbaik, Ki Rangga,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian. Sementara orang-orang yang ada di sekitarnya hanya mengangguk-angguk tanpa menanggapi sepatah kata pun.
“Aku mohon diri,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian.
“Silahkan, silahkan..” hampir bersamaan orang-orang yang berada di tempat itu menjawab.
Demikianlah sejenak kemudian mereka segera berpisah menuju ke tempat masing-masing. Ki Bango Lamatan menuju ke Ndalem Kapangeranan sedangkan Ki Rangga dan kawan-kawannya menuju ke gandok sebelah kanan istana Kepatihan.
Namun baru saja Ki Rangga menutup pintu biliknya, pendengarannya yang tajam telah mendengar desir langkah yang menuju ke biliknya.
Sejenak Ki Rangga menunggu. Ketika kemudian terdengar ketukan perlahan di pintu biliknya, dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, Ki Rangga pun segera melangkah mendekati pintu sambil bertanya, “Siapa?”
“Aku Ki Rangga, prajurit jaga dari Ndalem Kapangeranan,” terdengar jawaban seseorang dari balik pintu bilik.
KI Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat pintu selarak. Sejenak kemudian dari pintu yang terbuka muncul seorang prajurit lengkap dengan tanda jaga Ndalem Kapangeranan.
“Ada apa?” bertanya Ki Rangga kemudian.
“Mohon maaf mengganggu istirahat Ki Rangga,” jawab prajurit itu sambil mengangguk dalam-dalam, “Aku diperintah Pangeran Pati untuk menjemput Ki Rangga. Pangeran Pati sedang menunggu kehadiran Ki Rangga di Ndalem Kapangeranan.”
Sebuah desir tajam segera saja menggores jantung Ki Rangga. Bukan masalah Pangeran Pati itu yang akan menjadi persoalan jika dia diperintah untuk menghadap, namun keberadaan seorang perempuan muda yang memiliki kecantikan luar biasa yang kini tinggal di Ndalem Kapangeranan itu yang akan membebani hatinya, Rara Anjani.
“Apakah Ki Rangga sudah siap?” pertanyaan prajurit jaga itu telah menyadarkan Ki Rangga.
Sejenak Ki Rangga tanpa sadar telah memandang tajam ke arah prajurit jaga itu. Dengan serta merta prajurit jaga itu pun segera menundukkan wajahnya.
“Baiklah, aku sudah siap,” jawab Ki Rangga kemudian sambil melangkah keluar dan menutup pintu bilik.
Demikianlah kedua orang itu segera turun ke halaman Istana Kepatihan yang luas. Setelah terlebih dahulu keluar dari regol penjagaan istana Kepatihan, untuk sejenak mereka harus menyusuri lorong yang menghubungkan istana Kepatihan itu dengan Ndalem Kapangeranan.
Setelah melewati beberapa penjagaan yang sangat ketat, tanpa kesulitan yang berarti Ki Rangga dan prajurit jaga itu pun telah sampai di depan Ndalem Kapangeranan.
“Silahkan Ki Rangga,” berkata prajurit jaga itu mempersilahkan Ki Rangga menaiki tlundak pendapa. Sementara seorang pelayan dalam telah berdiri menunggu di ujung tangga.
“Pangeran Pati berkenan menerima Ki Rangga di ruang dalam,” berkata pelayan dalam itu kemudian sambil mengiringi langkah Ki Rangga menyeberangi pendapa yang luas menuju ke pintu pringgitan.
Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah duduk bersila di ruang dalam. Sementara pelayan dalam yang mengantarkannya itu dengan bergegas segera masuk ke ruang tengah untuk melaporkan kehadiran Ki Rangga kepada Pangeran Pati.
Sambil menunggu kehadiran Pangeran Pati, Ki Rangga Agung Sedayu harus berkali-kali menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Bayangan perempuan cantik yang kini telah menjadi selir Pangeran Pati itu benar-benar telah  meresahkan hatinya.
“Apakah sekarang aku harus menyembah kepadanya?” di sudut hatinya yang paling dalam bertanya.
“Tentu saja engkau harus menyembah Ki Rangga,” sudut hatinya yang lain menjawab, “Anjani yang sekarang bukan Anjani yang dulu, perempuan kleyang kabur kanginan yang tidak mempunyai masa depan yang jelas. Sekarang dengan gelar Rara dan menjadi selir Pangeran Pati, semua orang harus menghormatinya, tidak terkecuali engkau.”
“Ah,” Ki Rangga berdesah. Baginya lebih baik menghadapi seribu musuh dengan ilmu yang ngedab-edabi sekalipun dari pada menghadapi satu orang saja, orang yang selama ini dia merasa bersalah karena belum dapat memenuhi janjinya.
“Dengan berkenannya Pangeran Pati mengambil Anjani sebagai selir, janjiku kepada Anjani sudah tidak berlaku lagi,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil sekali lagi menarik nafas dalam-dalam, “Namun entah mengapa, aku merasa malu bahwa pada akhirnya Anjani telah sinengkakake ing ngaluhur dan tinggal di Ndalem Kapangeranan, sama sekali jauh dengan apa yang pernah aku janjikan, tinggal di Menoreh.”
Ketika Ki Rangga sedang asyik dengan lamunannya, tiba-tiba saja pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tengah terbuka. Pangeran Pati telah muncul sambil tersenyum dan melangkah memasuki ruang dalam.
“Apakah Ki Rangga telah menungguku terlalu lama?” bertanya Pangeran Pati itu sambil melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya.
Dengan cepat Ki Rangga segera bangkit berdiri sambil menyambut uluran tangan Pangeran Pati itu. Jawab Ki Rangga kemudian, “O, tidak Pangeran. Hamba baru saja duduk beberapa saat ketika Pangeran telah datang.”
Pangeran Pati  tersenyum sambil mempersilahkan Ki Rangga duduk kembali.  Pangeran Pati pun kemudian mengambil tempat duduk di hadapan Ki Rangga.
Setelah sejenak menanyakan keselamatan masing-masing, Pangeran Pati pun segera mengungkapkan tujuan yang sebenarnya untuk memanggil Ki Rangga menghadap.
“Aku telah menitipkan Ki Bango Lamatan kepada Eyang Buyut Mandaraka untuk menyertakan dia dalam tugas bersama Ki Rangga,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Memang Ki Bango Lamatan telah mendapat gemblengan di pertapaan Mintaraga beberapa saat yang lalu. Kehadirannya di sini atas perintah dan jaminan dari Kanjeng Sunan dan aku tidak mungkin menolaknya. Untuk itulah tugas ke gunung Tidar ini aku anggap sebagai pendadaran baginya sebelum suwitanya di Ndalem Kapangeranan ini benar-benar aku terima.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Pangeran Pati. Terjawab sudah pertanyaan yang selama ini menghantui pikirannya. Pada saat mereka berempat menghadap Ki Patih di ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, Ki Rangga telah dikejutkan dengan kehadiran Ki Bango Lamatan di ruangan itu.
Namun Ki Rangga tidak berani mempermasalahkannya. Dengan hadirnya Ki Bango Lamatan pada saat itu, Ki Rangga sudah dapat menduga, tentu semua itu sudah menjadi tanggung jawab Ki Patih Mandaraka.
“Bagaimana Ki Rangga? Apakah Ki Rangga berkeberatan?” pertanyaan Pangeran Pati telah membuyarkan lamunannya.
Dengan cepat Ki Rangga menghaturkan sembah sambil menjawab, “Justru hamba menghaturkan banyak terima kasih atas perkenan Pangeran Pati memperbantukan Ki Bango Lamatan. Tugas kami ke gunung Tidar benar-benar cukup berat dan semoga kehadiran Ki Bango Lamatan akan memberikan bantuan tenaga yang sangat berarti.”
Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Namun pertanyaan selanjutnya dari Putra Mahkota itu hampir saja membuat jantung Ki Rangga terlepas dari tangkainya.
“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian , “Aku ingin bertanya sesuatu sehubungan dengan Rara Anjani.”
Berdesir jantung Ki Rangga bagaikan tersentuh ujung duri kemarung. Namun dengan cepat Ki Rangga segera menyesuaikan dirinya. Katanya kemudian, “Ampun Pangeran, masalah apakah yang ingin  Pangeran sampaikan sehubungan dengan diri Rara Anjani?”
Sejenak Pangeran Pati termenung. Namun sebelum Pangeran Pati menjawab pertanyaan Ki Rangga, tiba-tiba saja pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tengah berderit dan terbuka.
Ketika Ki Rangga kemudian berpaling, yang muncul dari pintu ruang tengah itu adalah sesosok tubuh yang langsing terbalut seperangkat pakaian mewah dan gemerlap, Rara Anjani.
Tertegun Ki Rangga melihat seorang perempuan yang kecantikannya nyaris sempurna. Dalam pakaian yang paling sederhana pun Rara Anjani sudah terlihat begitu menawan. Apalagi kini dengan pakaian yang gemerlap penuh berhiaskan permata, Rara Anjani benar-benar menjelma menjadi seorang Putri Raja yang kecantikannya hanya ada dalam tulisan babat dan dongeng-dongeng.
Ki Rangga benar-benar terpesona seolah-olah baru kali ini dia bertemu Rara Anjani. Segala gerak-geriknya tidak luput dari pengamatan Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu. Langkahnya yang kemudian dengan hati-hati berlutut bertumpu pada kedua lututnya di atas lantai. Dengan cekatan namun tetap terkesan  gemulai, diturunkannya dua mangkuk minuman hangat dan beberapa makanan dari atas nampan kayu dan kemudian dihidangkan di hadapan mereka berdua. Sejenak kemudian Rara Anjani pun surut selangkah, berdiri perlahan-lahan sambil membalikkan badan dan akhirnya hilang kembali di balik pintu.
Ketika bayangan Rara Anjani telah hilang di balik pintu yang tertutup rapat, barulah Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan tersadar dari sebuah mimpi yang mengasyikkan.
Dalam pada itu  di ruang tengah, dengan setengah berlari Rara Anjani segera menuju ke biliknya. Ketika dia berpapasan dengan pelayan dapur yang sedianya bertugas mengantar minuman dan makanan itu ke ruang dalam, nampan kayu itu pun segera diserahkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pelayan dapur itu menerima nampan dengan kening berkerut. Tampak Rara Anjani begitu tergesa-gesa menyerahkan nampan itu kepadanya sehingga tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir yang memerah delima itu.
“Aneh,” desis pelayan itu begitu bayangan Rara Anjani menghilang di balik pintu, “Tidak biasanya Rara Anjani bertingkah seperti ini. Dia selalu ramah kepada siapa saja termasuk kami para pelayan.  Dan yang tak pernah lupa dari Rara Anjani adalah ucapan terima kasih dan senyum yang tulus setiap dia meminta pertolongan kepada siapa saja, khususnya kepada para pelayan Ndalem Kapangeranan.”
Namun pelayan Ndalem Kapangeranan yang sudah cukup berumur itu tidak dapat menarik kesimpulan apa pun dari peristiwa yang baru saja terjadi.
“Mungkin hati Rara sedang suntuk,” berkata pelayan itu dalam hati sambil berjalan kembali ke dapur.
Dalam pada itu sesampainya di bilik, Rara Anjani segera menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan sehingga terdengar suara kayu yang berderak-derak. Wajahnya tampak sebentar pucat sebentar memerah. Tanpa terasa air mata telah menganak sungai dari sudut kedua belah matanya yang terpejam rapat.
Tidak ada isak tangis. Hanya suara desah tertahan serta nafas yang sedikit memburu. Hati Rara Anjani benar-benar sedang didera oleh rasa kecewa.
“Mengapa aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini?” desahnya diantara nafas yang memburu sehingga tampak dadanya bergelombang, ”Aku telah mencoba menyembunyikan perasaan ini dengan mengabdikan diriku seutuhnya di Ndalem Kapangeranan. Dengan demikian aku berharap tidak akan pernah lagi berjumpa dengan Ki Rangga. Biarlah kenangan indah itu terkubur bersama dengan berlalunya waktu. Namun kenyataannya, aku tetap tidak mampu melupakan Ki Rangga, orang yang pertama kali telah menyentuh hatiku dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kesabaran serta keteladanan yang selama ini telah ditunjukkannya.”
tiba-tiba Rara Anjani menjadi gelisah. Tanpa sadar dia bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Berkali-kali dia berusaha menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dada sambil menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya dengan ujung bajunya.
“Sengaja aku mengenakan pakaian yang indah ini agar Ki Rangga menjadi silau dan tidak punya keberanian untuk menatapku,” berkata Rara Anjani kemudian sambil matanya menerawang ke langit-langit bilik, “Aku ingin menunjukkan kepada Ki Rangga bahwa ternyata yang aku dapatkan jauh lebih baik dari apa yang dijanjikannya. Namun ternyata Ki  Rangga tidak menjadi silau dan menundukkan kepalanya. Dia justru telah menatapku dengan tatapan mata seperti pertama kali kita bertemu. Tatapan yang memancarkan cahaya penuh kekaguman, penuh kedamaian serta penuh harapan namun yang ternyata telah membuatku salah paham.”
Kembali Rara Anjani menarik nafas panjang. Sambil membetulkan letak sanggulnya kembali dia berkata dalam hati, “Sebenarnyalah hati kecilku tidak mampu untuk membenci Ki Rangga. Apa yang ingin aku pamerkan di hadapan Ki Rangga justru telah melukai hatiku sendiri.”
Untuk beberapa saat Rara Anjani masih merenungi dirinya. Tiba-tiba saja sebuah gagasan menyelinap di dalam benaknya dan membuat Rara Anjani tersenyum.
“Aku akan melakukannya,” desisnya kemudian sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke geledek  kayu jati  berukir indah yang terletak di sudut bilik.
Dalam pada itu di ruang dalam, sepeninggal Rara Anjani, Pangeran Pati yang sedari tadi selalu mengikuti gerak gerik Ki Rangga telah menahan senyumnya. Katanya kemudian, “Ki Rangga, Rara Anjani telah banyak bercerita tentang diri Ki Rangga,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak sambil mengamati perubahan yang terjadi pada wajah Ki Rangga. Namun Ki Rangga tampak hanya diam membisu. Maka kata Pangeran Pati kemudian, “Rara Anjani mengaku telah ditolong oleh Ki Rangga dari cengkeraman kedua gurunya yang jahat.”
Sampai disini Ki Rangga masih diam membisu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia belum dapat menebak ke arah mana pembicaraan Putra Mahkota itu.
“Rara Anjani juga bercerita tentang janji Ki Rangga untuk membawanya ke Menoreh,” berkata Pangeran Pati selanjutnya.
Sampai disini jantung Ki Rangga benar-benar bagaikan ditusuk ujung duri kemarung. Sejenak dada Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu  menjadi pepat bagaikan tertindih berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari lereng bukit.
Akhirnya setelah menarik  nafas dalam-dalam terlebih dahulu untuk meredakan gejolak di dalam dadanya, barulah Ki Rangga menjawab sambil menyembah, “Ampun Pangeran. Jika diperkenankan, hamba akan menjelaskan tentang Rara Anjani dalam hubungannya dengan hamba.”
Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Tampak Putra Mahkota itu sedikit ragu-ragu. Namun katanya kemudian, “Ki Rangga, bukan maksudku untuk mengungkit masa lalu Rara Anjani. Aku sudah menerima dia sebagaimana adanya,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Yang sebenarnya ingin aku sampaikan kepada Ki Rangga  adalah kesetiaannya kepada Mataram. Rara Anjani adalah bekas murid perguruan Tal Pitu yang dengan jelas telah berpihak pada Kadipaten Panaraga pada saat pemberontakan Pamanda Jayaraga. Apakah Rara Anjani dapat dipercaya atas kesetiaannya kepada Mataram?”
Untuk beberapa saat Ki Rangga justru telah membeku. Dia tidak pernah menduga bahwa arah pembicaraan Pangeran Pati itu justru telah mengarah kepada peran kedua guru Rara Anjani pada saat terjadi pemberontakan Adipati Panaraga.
“Ampun Pangeran,” jawab Ki Rangga pada akhirnya setelah gelora di dalam dadanya sedikit mereda, “Hamba memang telah terlibat perang tanding dengan kedua guru Rara Anjani, Goh Muka dan Roh Muka. Kedua orang guru Rara Anjani itu adalah murid dari perguruan Tal Pitu. Mereka menuntut kematian guru mereka, Ajar Tal Pitu.”
Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Rara Anjani telah bercerita kepadaku tentang perang tanding itu,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah Ki Rangga telah mengajukan syarat Rara Anjani sebagai taruhannya?”
“Hamba Pangeran,” jawab Ki Rangga, “Hamba mempunyai panggraita bahwa kedua guru Rara Anjani itu pada akhirnya pasti akan berbuat curang dengan mengeroyok hamba. Padahal perjanjian perang tanding itu hanya dengan salah satu dari mereka. Untuk itulah hamba berusaha memancing kemarahan mereka dengan mengajukan syarat Rara Anjani sebagai taruhannya.”
“Dan ternyata Ki Rangga lah yang keluar sebagai pemenang,” sahut Pangeran Pati cepat.
Berdesir dada Ki Rangga mendengar ucapan Pangeran Pati itu. Namun dengan cepat Ki Rangga segera menghilangkan segala syak wasangka dengan menjawab, “Sendika Pangeran. Atas pertolongan dan dikabulkannya doa hamba kepada Yang Maha Agung, hamba masih diberi keselamatan sampai saat ini.”
Pangeran Pati sejenak menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk kecil. Setelah terdiam beberapa saat, barulah Pangeran Pati mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat jantung Ki Rangga berpacu kencang kembali.
“Bagaimanakah selanjutnya nasib Rara Anjani? Apakah Ki Rangga jadi membawanya ke Menoreh?”
“Ampun Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil beringsut dari duduknya setapak, “Setelah kedua gurunya tewas, sebenarnya hamba mengira Rara Anjani akan bela pati, namun ternyata Rara Anjani merasa bersyukur telah terbebas dari cengkeraman kedua gurunya,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Mohon beribu ampun Pangeran, setelah mengetahui keadaan Rara Anjani yang sebenarnya, hamba telah memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih sendiri masa depannya dengan pertimbangan bahwa  Rara Anjani sama sekali tidak terlibat dengan pemberontakan di Panaraga.”
Kembali calon pewaris tahta Mataram itu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ki Rangga. Namun pertanyaan selanjutnya telah membuat jantung Ki Rangga yang sudah agak tenang itu melonjak-lonjak kembali.
“Menurut pengakuan Rara Anjani, dia lebih memilih mengikuti Ki Rangga ke Menoreh,” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Apakah keberatan Ki Rangga yang sebenarnya jika Rara Anjani memang berkeinginan untuk menjadi bagian dari keluarga Ki Rangga di Menoreh?”
Sampai disini Ki Rangga benar-benar tidak mampu untuk menjawab. Berbagai pertimbangan memang bergolak di dalam dadanya dan ingin disampaikan kepada Pangeran Pati. Namun hati kecilnya telah mencegahnya. Ki Rangga merasa lebih baik diam saja dan menunggu titah dari Pewaris Mataram itu.
Melihat Ki Rangga hanya diam termangu tanpa menjawab pertanyaannya, Pangeran Pati pun maklum, tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ki Rangga tidak mampu menjawab pertanyaannya.
Untuk beberapa saat suasana di ruang dalam Ndalem Kapangeranan itu menjadi sepi. Di luar lamat-lamat terdengar kentongan ditabuh dengan nada dara muluk, menunjukkan malam telah sampai ke puncaknya.
“Sudahlah Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Malam sudah semakin larut dan Ki Rangga harus beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan besok pagi,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian “Aku mengerti jalan pikiran Ki Rangga. Memang untuk sebagian laki-laki, dengan mudahnya mereka akan mengambil selir tanpa rasa ewuh pekewuh. Namun bagi Ki Rangga mungkin akan sangat sulit untuk membagi cinta dengan perempuan lain. Tapi percayalah Ki Rangga, menyia-nyiakan sebuah cinta dan harapan yang tulus dari seorang perempuan adalah termasuk sebagian dari dosa, jika kita tidak mampu menjelaskannya secara bijak. Dan semua itu akan  menjadi sebuah penyesalan yang tiada akhirnya sepanjang  kehidupan kita nantinya.”
Kalimat demi kalimat dari Pangeran Pati itu satu demi satu bagaikan ujung sebuah  pisau bermata rangkap yang terhunjam ke jantungnya perlahan-lahan. Menimbulkan rasa sakit dan pedih yang tak terperikan.
“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian begitu melihat Ki Rangga hanya diam termangu, “Kesalahan yang kadang tidak kita sadari adalah, memberi harapan yang berlebih padahal kita hanya berusaha menjalin sebuah tali persaudaraan. Semua itu harus dijelaskan secara bijak agar tidak terjadi kesalah-pahaman di kemudian hari,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Rara Anjani, aku tidak bisa menyalahkan dia karena janji yang disampaikan Ki Rangga sudah jelas. Jika Ki Rangga keluar sebagai pemenang dalam perang tanding itu, Ki Rangga akan membawanya ke Menoreh. Semua orang pasti paham dengan maksud yang terkandung dalam janji itu. Tidak mungkin dengan membawa Rara Anjani ke Menoreh kemudian Ki Rangga akan menempatkannya di sembarang tempat, di gardu peronda atau di banjar padukuhan misalnya. Semua orang tentu maklum bahwa Ki Rangga secara tidak langsung telah berjanji untuk mengambil Rara Anjani sebagai istri.”
Jika saja ada guntur yang meledak di langit saat itu, tentu Ki Rangga tidak akan sekaget mendengar kata-kata pewaris Mataram itu. Betapa penyesalan telah merajam hatinya atas keterlanjuran sikapnya ketika menghadapi perang tanding dengan murid perguruan Tal Pitu itu. Seharusnya dia tidak perlu mengikut-sertakan Rara Anjani sebagai persyaratan dalam perang tanding itu.
Namun semua itu sudah menjadi masa lalu, dan kini Rara Anjani telah menjadi selir pangeran Pati. Maka jawab Ki Rangga kemudian sambil menyembah dalam-dalam, “Mohon ampun Pangeran, semua itu memang salah hamba. Hamba tidak mengira bahwa tanggapan Rara Anjani menjadi begitu dalam atas persyaratan yang hamba minta dalam perang tanding itu. Namun hamba kira semuanya kini telah berlalu dan Rara Anjani telah hidup berbahagia di Ndalem Kapangeranan.”
“Siapa bilang Rara Anjani telah hidup berbahagia?” sergah Pangeran Pati itu sedikit keras, “Aku mengambilnya menjadi selirku karena aku tidak tahu dengan gamblang latar belakangnya. Demikian juga Rara Anjani, dia menerima pinanganku dengan harapan untuk membuka lembaran baru,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun seiring dengan berlalunya waktu, aku sering melihat Rara Anjani termenung berlinang air mata di malam-malam yang sunyi. Kadang aku memergoki Rara Anjani hampir seharian duduk di taman Ndalem Kapangeranan tanpa berbuat apa-apa, hanya berlinang air mata dengan tatapan mata yang kosong menerawang ke kejauhan.”
Kali itu jantung Ki Rangga bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi.
“Sudahlah Ki Rangga. Bukan maksudku mengungkit masa lalu kalian berdua. Namun aku di sini merasa ikut bertanggung-jawab atas masa depan Rara Anjani. Jujur saja, aku ingin melihat Rara Anjani meraih kebahagiaan yang diimpikannya.  Demikian juga aku harap Ki Rangga menjadi laki-laki yang tangguh tanggon bukan hanya dalam hal olah kanuragan jaya kawijayan saja, namun juga kuat dalam menjalani kehidupan bebrayan khususnya dalam membina sebuah keluarga.”
Ki Rangga masih terdiam belum berusaha menjawab. Hatinya telah teraduk-aduk oleh perasaan bersalah.
“Sekarang aku akan memberitahu Ki Rangga, tentang rencanaku sehubungan dengan masa depan Rara Anjani” berkata Pangeran Pati kemudian tanpa memperdulikan Ki Rangga yang terlihat semakin gelisah, “Rara Anjani sekarang sedang mendapat karunia dari Yang Maha Agung untuk mengemban amanahNYA. Dalam beberapa bulan kedepan jika Yang Maha Agung mengijinkan, Rara Anjani akan segera melahirkan anakku, darah dagingku.”
Entah sudah untuk ke berapa kalinya jantung Ki Rangga terkoyak-koyak. Namun senapati pasukan khusus itu tetap bertahan dalam kediamannya.
“Setelah anakku lahir, aku akan memberikan kebebasan kepada Rara Anjani,” berkata Pangeran Pati selanjutnya yang membuat dada Ki Rangga semakin berdebar-debar. Lanjut Pangeran Pati kemudian, “Jika Rara Anjani merasa tidak bahagia tinggal di Ndalem Kapangeranan, aku akan menawarkan kepadanya untuk menjadi Putri  Triman.”
Jantung Ki Rangga kali ini benar-benar meledak. Gemuruhnya terasa sampai ke dasar hatinya yang paling dalam. Sejenak nafas kakak sepupu Glagah Putih itu bagaikan tersumbat. Dia menyadari sepenuhnya, siapakah yang akan menerima Rara Anjani itu nantinya sebagai Putri Triman.
“Yang akan mendapat kehormatan menerima Putri Triman itu nantinya adalah seorang Tumenggung,” berkata Pangeran Pati selanjutnya yang membuat Ki Rangga terlonjak. Tanpa sadar Ki Rangga pun telah mengangkat wajahnya. Sementara Pangeran Pati pun segera melanjutkan kata-katanya, “Seorang Tumenggung yang bergelar Tumenggung Ranakusuma, yang mengandung makna bunga peperangan, karena selama ini namanya selalu harum di setiap medan pertempuran.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga justru telah diam membeku. Dia tidak mengerti akan arah pembicaraan Pangeran Pati. Sedangkan Pangeran Pati justru telah tersenyum melihat Ki Rangga yang kebingungan itu.
“Penerimaan Putri Triman itu nantinya akan digelar bersamaan dengan wisuda kenaikan pangkat seorang prajurit yang berpangkat Rangga. Atas jasa-jasanya selama ini dalam menegakkan panji-panji Mataram, dia akan dianugrahi pangkat menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Ranakusuma.”
Dengan dada yang berdebaran Ki Rangga mencoba memandang ke arah Pangeran Pati.  Kali ini agaknya Pangeran Pati sudah tidak sampai hati untuk berteka teki. Maka katanya kemudian, “Ki Rangga, sudah menjadi ketetapan Ayahanda Prabu Hanyakrawati dan juga atas saran Eyang Buyut Patih Mandaraka, sudah waktunya pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh dipimpin oleh seorang Tumenggung, dan Ki Rangga akan segera diwisuda menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung  Ranakusuma.”
Kali ini sekujur tubuh Ki Rangga terasa dingin bagaikan diguyur banyu sewindu. Bahkan seluruh persendiannya bagaikan terlepas satu-persatu. Ki Rangga benar-benar tidak menduga bahwa dirinya akan mendapat anugrah diwisuda menjadi seorang Tumenggung. Namun yang paling mendebarkan dari semua peristiwa yang rencananya akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan itu adalah hadiah Putri Triman itu.
“Ki Rangga.”  berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Nama Tumenggung Ranakusuma itu adalah pilihan Ayahanda Prabu Hanyakrawati sendiri. Apakah Ki Rangga mempunyai pilahan gelar tersendiri?”
Kalimat terakhir dari Pangeran Pati itu barulah membangunkan Ki Rangga dari mimpi panjangnya. Dengan merangkapkan kedua tangannya yang gemetar, Ki Rangga pun segera menghaturkan sembah sambil menjawab, “Mohon beribu ampun Pangeran. Hamba hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Hamba tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang Tumenggung.”
“Bagaimana dengan Putri Triman itu?” bertanya Pangeran Pati kemudian dengan serta merta.
Untuk sesaat lidah Ki Rangga bagaikan kelu. Namun Ki Rangga segera menyadari bahwa titah seorang Pangeran Pati tidak mungkin ditolak. Maka jawabnya kemudian sambil menyembah dan membungkuk dalam-dalam, “Hamba akan menjunjung tinggi setiap titah dari paduka Pangeran Pati Mataram.”

Pangeran Pati tampak tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Rangga, semua yang kita bicarakan tadi masih bersifat rahasia. Belum ada yang mengetahui rencana ini kecuali tiga orang, Ayahanda Prabu, Eyang Buyut Mandaraka dan aku sendiri. Sengaja hal ini aku sampaikan agar hatimu telah siap sejak awal terutama tentang Rara Anjani,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bicarakanlah masalah ini dengan istrimu dari hati ke hati. Jangan hanya menurutkan hawa nafsu saja. Ingat, laki-laki memang diciptakan untuk mengatur perempuan namun bukan berarti kita berhak untuk memaksakan sebuah kehendak.”
Sejenak suasana menjadi sepi. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benak Ki Rangga. Namun akhirnya Ki Rangga hanya dapat berpasrah diri kepada  Yang Maha Mengetahui apapun  yang akan terjadi esok hari.
“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian memecah sepi, “Apakah Ki Rangga masih mempunyai persoalan yang ingin disampaikan?”
Ki Rangga tidak segera menjawab. Sejenak ingatannya tiba-tiba saja kembali ke peristiwa pertempuran Lemah Cengkar beberapa saat yang lalu.
“Ampun Pangeran,” segera Ki Rangga menghaturkan sembah sambil bertanya, “Jika memang hamba diperkenankan untuk mengetahui, siapakah orang tua yang pernah bersama Pangeran di Lemah Cengkar beberapa saat yang lalu?”
Pangeran Pati tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat dipandangi Ki Rangga yang duduk di hadapannya. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, akhirnya justru terlontar sebuah pertanyaan dari Pewaris tahta Mataram itu, “Mengapa Ki Rangga ingin mengetahui jati diri orang tua itu?”
Dengan cepat Ki Rangga menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Pangeran, hamba rasa-rasanya pernah mengenal orang tua itu, namun hamba kurang yakin akan pengamatan hamba pada saat itu.”
Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Orang tua itu bernama Ki Tanpa Aran, atau kadang-kadang orang memanggilnya kakek Tanpa Aran. Beliau adalah murid dan juga sekaligus sahabat dari Kanjeng Sunan.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Ki Rangga. Segera saja ingatan Ki Rangga melayang pada selembar kain gringsing yang ditinggalkan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi di Padukuhan Merjan.
“Mungkinkah..?” bertanya Ki Rangga dalam hati. Namun pertanyaan itu hanya  disimpannya saja di dalam hati.
“Mohon ampun Pangeran. Di manakah Ki Tanpa Aran itu tinggal?” bertanya Ki Rangga kemudian.
“Sekarang Ki Tanpa Aran tinggal di Ndalem Kapangeranan atas permintaanku,” jawab Pangeran Pati, “Sebenarnya Ki Tanpa Aran menolak untuk tinggal di sini, namun atas perkenan Kanjeng Sunan, Ki Tanpa Aran diminta untuk membimbing aku dalam kawruh lahir maupun batin sehingga mau tidak mau harus tinggal di Ndalem Kapangeranan.”
Dada Ki Rangga terasa bergemuruh begitu mendengar Ki Tanpa Aran itu ternyata sekarang ini tinggal di Ndalem Kapangeranan. Maka katanya kemudian, “Ampun Pangeran, jika diperkenankan suatu saat hamba ingin mengenal Ki Tanpa Aran itu lebih dekat.”
“O, silahkan Ki Rangga,” jawab Pangeran Pati dengan serta merta, “Namun agak sulit untuk menemui orang tua itu. Walaupun sudah disediakan sebuah bilik khusus baginya, namun bilik itu lebih sering kosong.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Panggraitanya yang tajam sedikit banyak mulai dapat meraba jati diri orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu.
“Nah, Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Apakah masih ada permasalahan lagi yang ingin engkau sampaikan?”
“Hamba kira sudah cukup Pangeran,” jawab Ki Rangga, “Jika diperkenankan hamba segera mohon diri.”
“Silahkan Ki Rangga,” jawab Pangeran Pati sambil bangkit berdiri yang segera diikuti oleh Ki Rangga, “Sampaikan salamku kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga serta Glagah Putih. Ingat, apa yang kita bicarakan tadi hanya sebatas pengetahuan untuk diri Ki Rangga saja.”
“Hamba Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil membungkuk dalam-dalam.
Demikianlah akhirnya Ki Rangga pun segera minta diri. Setelah diantar oleh Pelayan Dalam sampai ke regol depan, Ki Rangga pun memilih melanjutkan perjalanannya kembali ke Istana Kepatihan seorang diri.
“Apakah Ki Rangga memerlukan kawan?” bertanya prajurit jaga Ndalem Kapangeranan yang menjemputnya tadi.
“O, tidak. Terima kasih,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Aku sudah tahu jalannya. Jika aku nanti tersesat, aku bisa bertanya kepada para prajurit yang berada di gardu penjagaan sepanjang jalan menuju istana Kepatihan.”
“Atau kalau ragu-ragu, Ki Rangga dapat kembali ke penjagaan ini untuk bertanya,” jawab prajurit itu yang disambut dengan gelak tawa.
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga pun telah menyusuri jalan yang menuju ke istana Kepatihan.
Dalam pada itu, malam telah melewati puncaknya. Angin malam yang dingin bertiup lembut mengusap tubuh Ki Rangga yang sedikit basah oleh keringat. Suara binatang malam yang terdengar bersahut-sahutan dalam irama ajeg menambah suasana malam yang sepi  itu menjadi semakin ngelangut.
Namun baru beberapa puluh langkah meninggalkan Ndalem Kapangeranan, tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam telah mendengar suara yang asing di antara nyanyian binatang malam. Ketajaman panggraitanya telah memberitahukan kepadanya bahwa suara itu bukan suara yang berasal dari sejenis binatang malam.
Suara itu sedikit berbeda dengan suara binatang-binatang yang lain. Suara itu sesekali terdengar bagaikan desis seekor ular namun dengan nada yang berubah-ubah. Kadang meninggi tajam seperti jeritan seekor bilalang, namun tiba-tiba dengan cepat menurun seperti derik seekor jengkerik.
Dengan segera Ki Rangga menghentikan langkahnya. Dengan aji sapta pangrungu dicobanya untuk mengetahui arah sumber suara itu. Tiba-tiba dada Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Sumber suara itu berasal dari  arah belakang Ndalem Kapangeranan.
Untuk beberapa saat Ki Rangga menjadi ragu-ragu. Seumur hidup Ki Rangga memang belum pernah mendengar suara isyarat semacam itu kecuali yang pernah diperagakan oleh gurunya pada waktu itu. Suara yang dia dengar itu adalah semacam isyarat dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa Kerajaan Majapahit, perguruan Windujati. Bahkan menurut cerita gurunya, beberapa perguruan  lain yang masih sealiran dengan perguruan Windujati  juga telah menggunakan isyarat semacam itu untuk kepentingan bersama.
Sebagai murid orang bercambuk, tentu saja Ki Rangga juga mendapat pengetahuan tentang bahasa isyarat itu dari gurunya. Namun sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh gurunya, isyarat semacam itu hampir tidak pernah dijumpai lagi semenjak pemerintahan Demak lama berpindah ke Pajang dan kemudian sampai Mataram berdiri.
Kini pada saat Ki Rangga berada di dekat Ndalem Kapangeranan justru telah mendengar suara isyarat semacam itu.
“Ki Tanpa Aran?” tiba-tiba terlintas sebuah nama di dalam benak Ki Rangga, “Mungkinkah Ki Tanpa Aran yang telah melontarkan isyarat itu untuk memanggilku?”
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja sekujur tubuh Ki Rangga menjadi gemetar. Dugaan sementara tentang orang tua yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu memang mengarah kepada gurunya, Kiai Gringsing yang tidak pernah diketahui tempat kuburnya.
Dengan mengerahkan kemampuannya untuk menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh gesekan pergerakan tubuhnya dengan alam sekitarnya, Ki Rangga pun segera bergeser mendekati ke arah sumber bunyi tersebut.
Setelah meloncati beberapa pagar rumah-rumah yang berada di sekitar Ndalem Kapangeranan, Ki Rangga berusaha untuk semakin dekat dengan sumber bunyi itu.
Namun begitu Ki Rangga telah semakin dekat dengan sumber bunyi itu, ternyata sumber bunyi itu justru mulai bergeser menjauh. Agaknya orang yang dengan sengaja telah melontarkan isyarat itu mengetahui bahwa seseorang telah tertarik dengan isyaratnya dan sedang berusaha mendekat ke arahnya.
Sejenak kemudian sumber bunyi itu ternyata telah bergerak semakin menjauhi Ndalem Kapangeranan.  Ki Rangga harus meloncati pagar dan menyeberangi halaman beberapa rumah untuk mengikuti sumber bunyi itu sebelum akhirnya sampai di dinding yang membatasi Kota Mataram sebelah utara. Sumber bunyi itu agaknya memperhitungkan juga keadaan di sekitarnya dan tidak ingin mendapat kesulitan dengan para prajurit yang sedang meronda sehingga memilih jalur di luar kewajaran.
Untuk beberapa saat Ki Rangga justru diam membeku di bawah dinding. Ada sedikit keragu-raguan yang menyelinap di dalam dadanya. Tidak menutup kemungkinan bahaya sedang mengintainya di balik dinding.
Namun anggapan itu segera ditepisnya sendiri. Dengan mengetrapkan aji sapta pangrungu, Ki Rangga mencoba meraba apa yang sedang terjadi di balik dinding. Sementara sumber bunyi itu justru telah berhenti dan tidak terdengar lagi.
Dengan dada yang berdebaran  Ki Rangga semakin mempertajam pengetrapkan aji sapta pangrungunya untuk menelisik keadaan di balik dinding.  Namun yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan Ki Rangga. Pendengarannya yang sangat tajam justru menangkap langkah-langkah yang sangat halus nyaris tak terdengar dari arah belakangnya.
Dengan segera Ki Rangga menghilang di balik sebuah gerumbul perdu yang banyak tumbuh di sekitar dinding.
“Ki Waskita,” desis Ki Rangga dalam hati begitu melihat bayangan seorang tua yang berjalan mendekati dinding. Hampir saja Ki Rangga menampakkan dirinya, namun dengan segera niat itu diurungkannya.
Untuk beberapa saat Ki Waskita masih termangu-mangu di bawah dinding. Namun setelah yakin tidak ada suatu gerakan pun yang didengarnya dari balik dinding, Ki Waskita pun segera bergerak meloncatinya.
Sejenak kemudian bayangan ayah Rudita itu pun segera menghilang di balik dinding.
“Agaknya Ki Waskita pun mengenali isyarat itu,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil perlahan-lahan muncul dari balik gerumbul. Dengan tetap mengetrapkan aji sapta pangrungunya, Ki Rangga pun akhirnya memutuskan untuk menyusul Ki Waskita.
Demikianlah, dengan tanpa sepengetahuan orang yang telah dianggap sebagai gurunya selain Kiai Gringsing itu, Ki Rangga mengikuti langkah-langkah Ki Waskita menyusuri sebuah bulak yang cukup panjang. Sementara sumber bunyi itu sudah terdengar lagi namun sudah cukup jauh di depan.
Untuk beberapa saat Ki Rangga harus berjalan di bawah tanggul di kiri jalan. Tanggul itu cukup tinggi sehingga jika dengan tiba-tiba Ki Waskita berpaling ke belakang, ada kesempatan bagi Ki Rangga untuk melekatkan dirinya di dinding tanggul.
“Apakah tidak sebaiknya aku menampakkan diriku saja?” berkata Ki Rangga dalam hati, “Tidak sepatutnya aku bersembunyi dari Ki Waskita, orang yang telah memberiku kesempatan untuk membaca dan mempelajari kitabnya.”
Berpikir sampai disitu, Ki Rangga segera mempercepat langkahnya dengan tanpa menyembunyikan lagi bunyi yang ditimbulkan dari gerakan tubuhnya.
Agaknya Ki Waskita pun segera mendengar langkah tergesa-gesa di belakangnya. Ketika Ki Waskita pun kemudian berpaling ke belakang, seraut wajah yang sudah sangat dikenalnya telah tersenyum sambil mempercepat langkah menuju ke tempatnya.
“Engkau ngger?” sapa Ki Waskita juga sambil tersenyum.
“Ya Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil menjajari langkah Ki Waskita, “Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama.”
“Ya ngger,” jawab Ki Waskita, “Suara itu sangat menarik perhatian. Dulu aku pernah melakukan hal yang serupa dan ternyata dugaanku benar, gurumu sangat tertarik dengan suara isyaratku itu dan telah mendatangi ke tempat aku menunggu.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Gurunya tidak pernah bercerita tentang peristiwa itu. Maka tanyanya kemudian, “Bagaimana Ki Waskita bisa mengetahui tentang isyarat itu? Bukankah Ki Waskita dan guru bukan berasal dari satu sumber?”
“Engkau benar ngger,” jawab Ki Waskita, “Kami memang bukan saudara seperguruan, namun isyarat itu memang telah digunakan bersama oleh orang-orang yang berkepentingan dalam menegakkan Demak sepeninggal Majapahit.”
Tak terasa langkah mereka berdua hampir mencapai tengah-tengah bulak ketika tiba-tiba saja suara desis yang mirip dengan desis seekor ular itu berhenti.
“Suara itu berhenti, Ki,” bisik Ki Rangga sambil memperlambat langkahnya.
“Ya, ngger. Suara itu telah berhenti,” jawab Ki Waskita. Kemudian sambil menunjuk ke depan, Ki waskita melanjutkan, “Lihatlah, di depan ada seseorang yang sedang menunggu kita.”
Pandangan mata Ki Rangga yang tajam segera saja mengenali seseorang yang berperawakan tinggi sedang berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang beberapa puluh tombak di depan mereka.
Dalam pada itu di Ndalem Kapangeranan, Rara Anjani telah keluar dari biliknya. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke dapur. Namun alangkah terkejutnya Rara Anjani, begitu dia membuka pintu dapur yang terhubung dengan ruang tengah, tampak pelayan tua itu sedang duduk terkantuk-kantuk di bibir  amben bambu yang terletak di sudut dapur.
“Mbok,” sapa Rara Anjani, “Mengapa belum tidur?”
Perempuan tua itu terkejut dan berpaling. Sambil mengusap kedua matanya dia menyahut, “O, Rara kiranya. Aku menunggu titah Pangeran jika ada sesuatu yang diperlukan.”
Rara Anjani tersenyum. Katanya kemudian, “Tidurlah mbok. Malam telah larut. Aku kira Pangeran Pati tidak membutuhkan apa-apa lagi.”
Sejenak pelayan tua itu memandangi Rara Anjani tanpa berkedip. Katanya kemudian, “Nah, Rara sendiri mau kemana malam-malam begini?”
“Aku akan ke pakiwan sebentar, mbok?”
“Mengapa tidak memakai pakiwan yang  ada di dalam?”
“Aku terbiasa dengan pakiwan yang berada di halaman belakang mbok,” jawab Rara Anjani sambil melangkah menuju pintu keluar.
“Bawalah dlupak Rara, diluar sangat gelap.”
“Tidak mbok, terima kasih. Aku sudah terbiasa melihat dalam gelap.”
Pelayan tua itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi bayangan Rara  Anjani yang hilang di balik pintu.
Dalam pada itu, begitu Rara Anjani melangkah keluar pintu, kegelapan yang pekat segera menyergapnya. Namun Rara  Anjani bukanlah perempuan kebanyakan. Dengan menajamkan indera penglihatannya, Rara Anjani tanpa ragu-ragu segera mengayunkan langkahnya menuju ke sebelah Pakiwan, ke sebuah pohon nangka yang tumbuh menjulang tinggi.
“Untung aku tadi menggunakan pakaian rangkap,” desis Rara Anjani dalam hati sambil tersenyum kecil, “Sekarang aku dapat dengan bebas mencegat Ki Rangga dengan memakai pakaian khususku.”
Namun sebelum Rara Anjani sempat melepaskan pakaian luarnya, tiba-tiba pandangan matanya yang tajam menangkap sesuatu yang aneh sedang bergerak di dahan rendah dari pohon nangka itu.
Sejenak Rara Anjani mengerutkan keningnya. Bayangan hitam itu mirip seekor kera yang cukup besar sedang bergelantungan di dahan yang rendah. Dengan tenangnya bayangan itu berayun-ayun tanpa menimbulkan suara. Seolah-olah bayangan itu terpisah dari alam sekitarnya.
Rara Anjani masih terdiam di tempatnya. Dia benar-benar tidak mengerti sedang berhadapan dengan makhluk apa. Ketika dia sedang berusaha mempertajam pandangan matanya, tiba-tiba saja makhluk itu menjatuhkan dirinya ke tanah dan menggelinding ke arahnya.
Hampir saja Rara Anjani menjerit. Untung kesadaran masih menguasai nalarnya. Dengan gerak naluriah, Rara Anjani pun bergerak mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Sejenak makhluk yang aneh itu diam melingkar di atas tanah yang lembab. Tidak terlihat gerakan sama sekali kecuali hanya terdengar samar-samar tarikan nafas yang halus dan teratur.
“Siapa?” bertanya Rara Anjani menguatkan hatinya. Seumur hidup Rara Anjani memang belum pernah melihat atau pun bertemu hantu. Namun kali ini penalarannya yang sedikit  buram telah mengarah kesana.
Tidak terdengar jawaban dari benda yang lebih mirip dengan sebongkah batu padas itu. Ketika dengan memberanikan diri Rara Anjani mencoba maju selangkah, benda itu pun segera berguling menjauh dengan jarak yang sama.
Rara Anjani benar-benar menjadi tidak sabar. Ada sedikit rasa gusar yang menyelinap di dalam dadanya. Dia merasa dipermainkan oleh seseorang yang barangkali ingin menggagalkan rencananya untuk mencegat Ki Rangga Agung Sedayu.
“Siapapun Ki Sanak, aku merasa tidak punya urusan,” geram Rara Anjani. Sebagai perempuan yang telah mempelajari olah kanuragan jaya kawijayan, harga dirinya merasa terusik. Lanjutnya kemudian dengan suara sedikit membentak, “Pergilah! Atau aku akan menyingkirkan ujudmu yang sangat tidak menarik ini dari hadapanku secara paksa!”
Agaknya kali ini ujud yang mirip sebongkah batu padas itu menanggapi kata-kata Rara Anjani. Tiba-tiba ujud itu terlihat melunak dan melumer menjadi sebentuk seperti selembar kain panjang yang teronggok begitu saja di atas tanah.  Namun sebelum Rara Anjani menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya, tiba-tiba saja makhluk aneh itu melenting tinggi dan kemudian hilang dalam rimbunnya pepohonan di halaman belakang Ndalem Kapangeranan.
Jantung Rara Anjani benar-benar hampir terlepas dari tangkainya.  Ketika baru saja dia menarik nafas lega, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih hanya selangkah di belakangnya.
Dengan cepat Rara Anjani segera memutar tubuhnya. Tampak  hanya selangkah di hadapannya berdiri seorang yang sangat pendek dan berwajah tua bangka.
Berdesir dada Rara Anjani. Dengan cepat dia segera mengambil jarak mundur beberapa langkah. Walaupun dia adalah salah satu perempuan perkasa yang menguasai olah kanuragan jaya kawijayan, namun menghadapi seseorang yang sangat aneh di malam yang pekat itu, tidak urung membuat jantungnya bergetar juga.
“Maafkan aku Rara,” terdengar makhluk pendek itu bersuara mirip suara kanak-kanak, “Sengaja aku mengganggumu malam ini, karena terdorong oleh rasa tanggung jawabku sebagai pemomong para trah Mataram sejak Panembahan Senapati masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar sampai dengan saat ini cucunda Raden Mas Rangsang telah diwisuda sebagai Pangeran Pati.”
Degub di dalam dada Rara Anjani semakin kencang. Menurut pengenalannya selama ini di Ndalem Kapangeranan, tidak pernah ditemui pemomong Pangeran Pati yang berujud seperti yang sekarang ini berdiri di hadapannya. Maka jawabnya kemudian, “Ki Sanak jangan ngayawara. Aku mengetahui seluruh penghuni Ndalem Kapangeranan  ini sampai para pekatik dan jajar, emban dan pelayan,” Rara Anjani berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tidak ada penghuni Ndalem Kapangeranan yang mempunyai ujud seperti Ki sanak ini. Apakah maksud Ki sanak yang sebenarnya?”
Tiba-tiba makhluk pendek itu mengambil ujudnya seperti batu kembali dan menggelinding menjauh. Katanya kemudian sambil tertawa lirih, “Aku adalah pemomong para calon Raja Mataram sejak Raden Sutawijaya masih muda. Karena pada saat itu aku merasa ajalku sudah dekat, aku kemudian minta ijin untuk bertapa di lereng Merapi. Ternyata permohonanku dikabulkan dan aku menjadi mrayang dan diberi gelar Kiai Dandang Wesi yang bertugas memomong dan menjangkungi calon pewaris tahta Mataram turun temurun.”
Rara Anjani mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cerita makhluk itu sama sekali tidak mengena di hatinya. Maka katanya kemudian, “Aku tidak mengerti dengan cerita Ki Sanak dan aku juga tidak melihat adanya hubungan antara diriku pribadi dengan cerita Ki Sanak.”
Makhluk yang sekarang mengambil ujud seperti batu padas itu terdengar  tertawa. Jawabnya kemudian, “Rara adalah selir dari Pangeran Pati. Apakah aku masih harus menjelaskan hubungannya dengan tugasku?”
Kembali Rara Anjani mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Memang benar aku adalah selir Pangeran Pati. Namun Ki sanak adalah pemomong Pangeran Pati jika memang pengakuan Ki Sanak dapat dipercaya,” Rara Anjani berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Nah, silahkan Ki Sanak mengurusi momongan Ki sanak dan jangan ikut campur dengan urusanku, karena kita sama sekali tidak ada sangkut pautnya.”
Selesai berkata demikian Rara Anjani sudah bersiap melangkah pergi kalau saja tidak didengarnya makhluk itu berkata perlahan namun telah membuat sekujur tubuh Rara Anjani menggigil.
“Apa tanggapan orang jika selir dari momonganku telah bertemu dengan laki-laki lain di tempat dan waktu yang tidak sewajarnya?”
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Rara Anjani pun terperanjat bukan alang kepalang. Ternyata makhluk aneh itu telah mengetahui rencana rahasianya untuk menemui Ki Rangga Agung Sedayu.
“Rara,” kembali terdengar makhluk itu berbicara, namun kini terdengar nada suaranya sangat sareh, “Rara telah bersuami. Apapun yang terjadi, hargailah suami Rara. Betapapun Rara masih mencintai laki-laki itu, namun Rara sudah menjadi milik suami Rara, Pangeran Pati yang suatu saat nanti jika waktunya telah tiba akan menggantikan kedudukan Ayahandanya sebagai Raja Mataram.”
Jika saja ada batu-batu padas yang berguguran dari lereng bukit dan menimpa dadanya satu persatu, niscaya tidak akan sedahsyat rasa sakit yang mendera dadanya saat itu begitu mendengar kata-kata makhluk aneh itu yang secara langsung telah menyadarkan dirinya akan kedudukannya sekarang ini.
“Nah, kembalilah ke bilikmu Rara,” kembali makhluk aneh itu berkata dengan suara yang berat dan dalam, “Apa kata Pangeran Pati nantinya jika mendapatkan bilikmu kosong?”
Kalimat terakhir dari makhluk aneh itu benar-benar telah membuka penalaran Rara Anjani yang semula buram sedikit demi sedikit menjadi terang.
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Rara Anjani lirih hampir tak terdengar, “Ki Sanak telah berhasil menyadarkan aku akan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh perempuan yang sudah bersuami.”
Terdengar sebuah tarikan nafas yang berat dari makhluk itu sebelum akhirnya dia melenting tinggi dan hilang di dalam rimbunnya dedaunan.
Sepeninggal makhluk aneh itu, Rara Anjani pun dengan kepala tunduk telah berjalan kembali memasuki Ndalem Kapangeranan melalui pintu dapur.
Dalam pada itu, langkah  Ki Waskita dan Ki Rangga telah menjadi semakin dekat dengan orang yang berperawakan tinggi itu. Sekilas Ki Rangga segera dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka ikuti itu bukanlah Ki Tanpa Aran.
“Ki Tanpa Aran memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan guru, sedang-sedang saja.” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sedangkan orang ini berperawakan tinggi dan cenderung agak kurus.”
Sedangkan Ki Waskita yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan, samar-samar mempunyai gambaran  tentang orang yang berperawakan tinggi itu, walaupun masih penuh keraguan.
“Sepertinya bentuk tubuh itu tidak begitu asing bagiku,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Walaupun di Mataram ini banyak orang yang mempunyai bentuk tubuh yang  hampir sama, namun hanya sedikit yang mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi. Apalagi kemampuan dalam melontarkan isyarat khusus ini.”
Berbekal keyakinan itulah, Ki Waskita pun mulai menilai setiap gerak dan tingkah orang berperawakan tinggi itu.
Semakin dekat mereka dengan orang itu, dada Ki Waskita dan Ki Rangga  pun menjadi  semakin berdebaran. Ternyata orang itu telah menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam agar  sulit untuk dikenali.
Sebenarnyalah Ki Rangga telah mencoba mengetrapkan aji sapta pandulu untuk melihat dengan jelas wajah orang itu.  Namun agaknya orang itu pun dengan  sengaja telah mengetrapkan sebuah ilmu yang dapat untuk menyamarkan jati dirinya sehingga pengamatan Ki Rangga melalui aji sapta pandulu pun mengalami kesulitan.
“Akan aku coba untuk mengenalinya dengan aji sapta panggraita,” berkata Ki Rangga dalam hati. Namun  apa yang telah dikenali oleh Ki Rangga melalui aji sapta panggraita itu justru telah membuat jantung Ki Rangga semakin berdebaran.
“Menurut bentuk wadag dan pengenalanku melalui aji sapta panggraita, memang dugaan itu mengarah kesana,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun semua itu masih harus tetap dibuktikan.”
Demikianlah akhirnya  kedua orang itu pun berhenti hanya beberapa langkah saja di hadapan orang yang berperawakan tinggi itu.
“Hem,” tiba-tiba orang itu mendengus keras. Katanya kemudian dengan nada yang rendah dan dalam, “Mengapa kalian mengikuti aku, he?!”
Untuk sejenak Ki Waskita dan Ki Rangga justru telah terdiam. Mereka berdua tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.
“Maaf Ki Sanak,” Ki Waskita lah yang akhirnya menjawab sambil maju selangkah, “Justru kami berdua yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu kepada Ki sanak. Untuk apa Ki Sanak melontarkan isyarat itu kepada kami berdua?”
“Gila!” umpat orang itu sambil menunjuk ke arah Ki Waskita dan Ki Rangga ganti berganti. Kali ini nada suaranya terdengar melengking aneh. Lanjutnya kemudian sambil membentak, “Kalian kira, kalian ini siapa, he?! Aku tidak pernah mengenal kalian berdua. Apalagi mengundang kalian dengan bahasa isyarat khusus ini. Ketahuilah, isyarat ini hanya diketahui oleh perguruan-perguruan besar semasa Demak lama masih berdiri. Kami para murid perguruan yang mempunyai kepentingan bersama untuk menegakkan Demak sebagai penerus kerajaan besar Majapahit telah bersepakat dengan isyarat ini. Kalian tentu saja tidak akan memahami,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Pergilah  dari tempat ini sebelum orang yang aku panggil dengan isyarat ini datang. Jika orang itu telah datang, aku tidak akan bertanggung jawab terhadap apa yang akan terjadi kemudian.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sangat sulit untuk mengenali  orang berperawakan tinggi itu hanya dari nada suaranya. Dengan sengaja dia telah mengubah-ubah nada suaranya. Namun yang pasti, baik Ki Waskita maupun Ki Rangga telah mulai dapat menduga siapakah orang itu dari bentuk tubuh dan gerak-geriknya.
 “Ki Sanak,” Ki Rangga akhirnya membuka suara, “Ki Sanak tidak usah ingkar. Apapun alasan Ki Sanak, namun yang jelas Ki Sanak telah berusaha memancing persoalan dengan kami,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya  kemudian, “Nah, lebih baik Ki Sanak segera membuka penutup wajah Ki sanak serta  mengatakan apa sebenarnya tujuan Ki Sanak melontarkan isyarat ini?”
Orang berperawakan tinggi itu sejenak terdiam. Namun tiba-tiba terdengar suara tawanya yang meledak. Katanya kemudian di antara derai tawanya, “O, alangkah menakutkan jika harus berurusan dengan senapati agul-agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu? Siapa yang tak kenal namanya yang harum di seluruh penjuru tanah ini dari ujung ke ujung bahkan sampai ke seberang lautan,” orang itu berhenti sejenak. Kemudian sambil menggeram dia melanjutkan, “Akan tetapi aku tidak gentar. Apa yang aku takutkan dengan ilmu cambuk anak gembala di padang-padang perdu itu? Atau ilmu kakang kawah adi wuragil yang tak lebih dari permainan semu yang menjemukan? Atau ilmu lewat sorot matamu yang mampu meluluh lantakkan bukit dan mengeringkan lautan? Atau ilmumu yang mana lagi yang akan engkau banggakan di hadapanku he?”
Bagaikan disengat  kalajengking kedua orang itu terutama Ki Rangga Agung Sedayu mendengar perkataan orang berperawakan tinggi itu. Namun dengan demikian secara tidak sengaja orang itu telah sedikit banyak membuka jati dirinya sendiri. Orang itu pasti sudah mengenal secara pribadi kepada Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga dugaan Ki Waskita dan Ki Rangga  semakin mendekati kenyataan.
Ki Waskita yang merasa lebih banyak berpengalaman dibanding dengan Ki Rangga segera maju selangkah lebih dekat sambil berkata, “Baiklah Ki Sanak. Sebenarnya kami bukanlah segolongan orang yang senang dengan keributan. Akan tetapi agaknya Ki Sanak sendiri yang memang sengaja sedang mencari perkara dengan kami.”
Sejenak orang itu tampak mengerutkan kening. Jawabnya kemudian sambil menggeram, “Silahkan! Majulah bersama-sama agar sebelum terang tanah pekerjaan  ini sudah dapat aku tuntaskan.”
Kembali Ki Waskita dan Ki Rangga saling berpandangan. Hanya satu sebenarnya yang mereka berdua perlukan untuk mengungkap jati diri orang itu, nada suara aslinya. Namun agaknya sampai saat ini orang itu masih mampu menyembunyikannya.
Akhirnya kesabaran Ki Rangga pun ada batasnya. Maka katanya kemudian sambil mengurai cambuknya, “Baiklah Ki Sanak, ternyata kita memang terpaksa harus bersilang jalan. Kami memang tidak yakin akan dapat menandingi ilmu Ki Sanak. Namun setidaknya suara ledakan cambukku ini akan memancing para prajurit yang sedang meronda untuk mendatangi tempat ini dan membantu kami bersama-sama untuk menangkap Ki Sanak.”
Selesai berkata demikian Ki Rangga segera mengangkat cambuknya dan memutarnya di atas kepala. Siap untuk meledakkan cambuknya dengan sebuah lecutan sendal pancing.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba orang itu berteriak sambil mengangkat tangannya. Agaknya orang itu terpengaruh oleh permainan Ki Rangga sehingga tanpa sadar telah mengeluarkan nada suara aslinya.
Begitu mendengar orang itu telah berkata dengan nada suara aslinya, Ki Rangga pun segera menurunkan cambuknya dan menyimpannya kembali di balik bajunya. Sementara Ki Waskita telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil membungkukkan badannya dalam-dalam diikuti oleh Ki Rangga, “Mohon ampun, Ki Patih.  Jika kami berdua telah mengganggu permainan Ki Patih. Sungguh kami berdua hanya mengikuti bunyi isyarat itu tanpa mengetahui maksud yang sebenarnya.”
Tampak orang itu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba terdengar orang itu tertawa kecil sambil merenggut secarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Katanya kemudian,  “Sudahlah Ki Waskita, Ki Rangga. Permainan ini kelihatannya memang kurang menarik bagi kalian berdua. Namun sesungguhnya aku memang sedang berusaha menarik perhatian seseorang untuk hadir di tempat ini.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dugaan mereka berdua memang tepat. Orang berperawakan tinggi yang menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain itu memang Ki Patih Mandaraka.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Waskita kemudian begitu Ki Patih melangkah mendekat, “Siapakah sebenarnya yang Ki Patih kehendaki untuk hadir memenuhi panggilan isyarat itu?”
Ki Patih tersenyum sambil melangkah. Jawabnya kemudian, “Marilah kita berbincang sambil berjalan. Agaknya sudah lama sekali aku tidak berjalan-jalan menghirup udara dini hari yang begitu segar ini.”
Kedua orang itu tidak menyahut. Hanya tampak kepala mereka yang terangguk-angguk sambil mengiringi  langkah Ki Patih.
“Nah, aku akan memulai sebuah cerita yang cukup menarik,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil mengayunkan langkahnya perlahan-lahan, “Cerita ini bermula saat Kanjeng Sunan menyerahkan Ki Bango Lamatan sebagai pengawal pribadi Pangeran Pati,” Ki Patih berhenti sejenak. Dihirupnya udara dini hari yang sejuk untuk memenuhi rongga dadanya. Lanjutnya kemudian, “Selain Ki Bango Lamatan, ternyata Kanjeng Sunan juga menyarankan seseorang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran untuk menjadi penasehat dan sekaligus pembimbing Pangeran Pati dalam hal kawruh lahir maupun batin yang berhubungan dengan kehidupan bebrayan.”
Kedua orang itu tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ki Rangga lah yang kemudian bertanya, “Ampun Ki Patih, siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu?”
“Itulah yang aku sendiri juga belum mengetahuinya,” jawab Ki Patih, “Sejauh yang aku ketahui, menurut keterangan Pangeran Pati, dia adalah murid dan juga sekaligus sahabat Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban Ki Patih, Ki Rangga hanya dapat menarik nafas panjang dengan wajah kecewa. Keterangan itu juga yang dia dapatkan dari Pangeran Pati, tidak lebih dan tidak kurang.
“Ampun Ki Patih,” sekarang giliran Ki Waskita yang mengajukan pertanyaan, “Apakah Ki Patih pernah bertemu muka dengan Ki Tanpa Aran itu?”
Ki Patih menggeleng. Jawabnya kemudian, “Dia selalu menghindar untuk bertemu muka denganku. Pernah suatu saat aku perintahkan Pangeran Pati menghadap dengan membawa serta Ki Tanpa Aran itu. Namun selalu saja ada alasan darinya untuk menghindari pertemuan denganku.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Bertanya Ki Rangga kemudian, “Ampun Ki Patih. Apakah Ki Patih mempunyai sebuah dugaan tentang diri orang yang bernama Ki Tanpa Aran itu?”
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Dipandanginya langit yang terlihat bersih tanpa awan selembar pun. Berjuta bintang tampak berkerlap-kerlip menghiasi langit.
“Aku hanya menduga-duga saja,” akhirnya Ki Patih menjawab pertanyaan Ki Rangga, “Namun dugaanku ini belum berdasar. Maka untuk itulah aku mencoba memancingnya dengan isyarat khusus ini,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku masih ingat pada saat terjadi pertentangan Pajang dengan Jipang. Telah muncul orang yang mengaku bernama Kiai Pager Wesi dari goa susuhing angin di sebelah utara gunung Merbabu yang berpihak kepada Kadipaten Jipang dan mengancam akan membunuh Adipati Pajang. Perguruan-perguruan yang mendukung Pajang pun telah bersiap untuk menghadapinya. Kita telah sepakat menggunakan sebuah isyarat khusus dalam menyusun kekuatan. Bukankah Ki Waskita juga mengenal isyarat khusus ini walaupun agak sedikit berbeda?”
KI Waskita tersenyum sambil mengangguk-angguk mendengar pertanyaan Ki Patih. jawabnya kemudian, “Sendika Ki Patih. Memang pada saat itu perguruan-perguruan yang mendukung Pajang telah bersepakat untuk menghadapi bersama jika para penghuni Goa susuhing angin di sebelah utara gunung Merbabu itu akan melaksanakan ancamannya,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan ternyata Raden Pamungkas dari perguruan Windujati lah yang terlebih dahulu bertindak sehingga Kiai Pager Wesi dan para pengikutnya menarik diri dari perselisihan itu.”
Ki Rangga yang mendengar perguruan Windujati disebut telah berpaling ke arah Ki Waskita. Sengaja Ki Waskita menggunakan nama Raden Pamungkas agar muridnya itu tidak mengetahui bahwa Kiai Gringsing lah yang dimaksud oleh Ki Waskita.
Ki Patih tersenyum mendengar Ki Waskita menyebut nama Raden Pamungkas. Tanpa sadar Ki Patih berpaling ke arah Ki Rangga yang hanya dapat mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Aku menduga Ki Tanpa Aran ini adalah tokoh sakti di masa lalu,” lanjut Ki Patih kemudian, “Entah dia berasal dari masa Demak lama atau pada saat Pajang mengalami benturan dengan Jipang. Semoga saja kehadirannya di masa kini akan memberikan manfaat kepada Mataram di masa mendatang.”
Kembali Ki Waskita dan Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bagi Ki Rangga cerita masa lalu itu hanya diketahuinya sepotong-sepotong, tidak utuh dan runut. Pengetahuannya tentang jati diri gurunya pun sangat terbatas. Sesuai dengan kitab peninggalan gurunya, bahwa ilmu yang mereka warisi adalah bersumber pada sebuah perguruan yang pernah mempunyai nama besar di akhir masa pemerintahan kerajaan Majapahit, perguruan Windujati.
Untuk sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar langkah-langkah ketiga orang itu menapaki jalan tanah berbatu-batu. Tanpa terasa langkah mereka telah mendekati gerbang kota. Beberapa oncor yang dipasang di kanan kiri gerbang sinarnya tampak  menerangi jalan masuk yang dijaga ketat oleh beberapa prajurit.
Agaknya para prajurit jaga itu telah melihat ketiga orang yang berjalan perlahan-lahan menuju ke arah pintu gerbang. Serentak beberapa prajurit segera berloncatan menghadang jalan.
Namun alangkah terkejutnya para prajurit itu begitu mengenali salah satu dari ketiga orang yang sedang berjalan menuju ke pintu gerbang itu adalah ki Patih Mandaraka.
“Segera laporkan kepada Ki Lurah Adiwaswa,” bisik salah seorang prajurit itu kepada kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, prajurit itu pun segera meloncat dan berlari ke arah gardu penjagaan yang berada di sisi dalam gerbang.
“Ada apa?” bertanya Ki Lurah Adiwaswa yang sedang duduk di dalam gardu sambil menikmati jenang alot dan wedang sere hangat.
“Ki Lurah,” berkata prajurit itu dengan nafas setengah memburu, “Ki Patih Mandaraka!”
“He?!” bagaikan tersengat kalajengking sebesar ibu jari kaki, Ki Lurah terloncat dari tempat duduknya sambil membentak, “Jangan main-main. Mana ada Ki Patih dini hari begini datang ke gerbang kota?”
“Mereka bertiga,” jawab prajurit itu sambil menunjuk ke arah jalan yang membujur di luar gerbang.
Malam memang masih cukup gelap walaupun sudah mendekati fajar. Namun pandangan tajam Ki Lurah Adiwaswa segera melihat  bayangan tiga orang yang berjalan dengan perlahan menuju gerbang kota.
“Dari mana Ki Patih sepagi ini?” gumam Ki Lurah sambil bergegas mengayunkan langkahnya.
Setibanya di depan gerbang, ki Lurah segera memimpin para prajurit jaga untuk berbaris menyambut kehadiran Ki Patih.
Ki Patih yang melihat kesiap-siagaan para prajurit penjaga gerbang kota tersenyum. Begitu mereka bertiga tinggal tiga langkah saja dari pintu gerbang, Ki Lurah pun segera memberi aba-aba penghormatan.
“Terima kasih,” jawab Ki Patih sambil tersenyum. Sementara Ki Rangga yang mengenal Ki Lurah Adiwaswa telah mengerutkan keningnya.
“Ki Lurah bertugas di sini?” bertanya Ki Rangga.
“Ya Ki Rangga,”  jawab Ki Lurah, “Sepulang dari Lemah Cengkar, aku dipindah-tugaskan untuk menjaga keamanan kota Raja.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Patih yang tidak begitu mengenal Ki Lurah justru telah bertanya, “Di mana Ki Lurah tinggal?”
“Ampun Ki Patih, hamba masih tinggal di barak prajurit,” jawab Ki Lurah sambil membungkuk hormat.
“He?” hampir bersamaan ketiga orang itu berseru heran.
“Berapa umur Ki Lurah?” Ki Patih bertanya kemudian.
Untuk sejenak lidah ki Lurah bagaikan kelu. Namun pertanyaan Ki Patih itu pun akhirnya dijawab, “Hampir tiga puluh, Ki Patih.”
Ki Patih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah keluarga,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Lurah belum mempunyai calon.”
Mendapat pertanyaan seperti itu Ki Lurah hanya dapat menundukkan kepalanya. Sementara para prajurit yang berada di pintu gerbang itu tampak dengan sekuat tenaga berusaha untuk menahan senyum mereka.
Ki Patih agaknya menyadari hal itu. Maka katanya kemudian sambil menepuk pundak ki Lurah, “Bersabarlah dan berdoalah. Semoga Yang Maha Agung segera memberikan jodoh Ki Lurah seorang perempuan yang cantik dan setia.”
“Dari keluarga yang terpandang dan kaya raya,” tambah Ki Rangga sambil tersenyum.
“Anak tunggal yang tidak punya saudara,” Ki Waskita yang sedari tadi diam saja telah ikut bicara.
“Yang kedua orang tuanya sudah tua renta, sehingga warisan segera jatuh ke tangannya,” Ki Patih menambahkan.
Seketika  meledaklah tawa di tempat itu.
 “Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Lanjutkan tugas kalian. Kami akan kembali ke Kepatihan.”
“Sendika Ki Patih,” berkata Ki Lurah kemudian. Begitu Ki Patih melangkah meninggalkan pintu gerbang, dengan sigap Ki Lurah segera memberi aba-aba para prajurit jaga untuk melaksanakan penghormatan.
Demikianlah mereka bertiga segera berjalan kembali ke Kepatihan. Di sepanjang jalan sesekali mereka masih membicarakan jati diri Ki Tanpa Aran. Namun dalam pembicaraan itu Ki Patih sama sekali tidak menyinggung nama  Kiai Gringsing dalam hubungannya dengan Ki Tanpa Aran, karena Ki Patih memang belum pernah bertemu muka dengan penasehat dan sekaligus pembimbing Pangeran Pati itu.
Dalam pada itu malam terasa semakin mendekati ujungnya. Ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Barulah Ki Rangga dan Ki Waskita menyempatkan sejenak untuk berbaring setelah menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba yang selalu bersyukur kepada Tuhannya.
Ketika seorang pelayan kemudian memberitahukan kepada mereka untuk bersiap makan pagi, keempat orang itu pun segera berkemas.
Ternyata Ki Bango Lamatan telah terlebih dahulu hadir di ruang tengah kepatihan. Setelah menunggu beberapa saat, Ki Patih pun berkenan hadir dan bersama-sama dengan para tamunya untuk menikmati makan pagi.
“Memang masih terlalu pagi,” berkata Ki Patih sambil menyenduk nasi putih yang masih hangat, “Aku juga kurang terbiasa makan terlalu pagi. Namun karena kalian akan berangkat pagi ini, aku menyempatkan diri untuk menemani kalian makan pagi.”
“Terima kasih Ki Patih,” hampir bersamaan mereka menjawab.
“Kuda-kuda kalian telah disiapkan,” berkata Ki Patih kemudian, “Dengan berkuda, diharapkan perjalanan akan ditempuh lebih cepat,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengunyah makanan. Lanjutnya kemudian, “Sesampainya di Tanah Perdikan Matesih, kalian dapat berhubungan dengan salah satu petugas sandi yang berada di sana. Titipkan kuda-kuda kalian sebelum mendaki lereng gunung Tidar sebelah barat.”
Mereka berlima hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perintah ki Patih memang sudah sangat jelas. Mereka harus dapat memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen tanpa ada kesan keterlibatan Mataram.
Demikianlah setelah jamuan makan pagi itu selesai, Ki Patih telah mengantarkan tamu-tamunya ke halaman kepatihan. Di halaman telah menunggu lima ekor kuda yang terlihat biasa-biasa saja, bukan kuda yang besar dan tegap.
Untuk sejenak Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah termangu-mangu di tlundak pendapa sambil mengamati-amati kelima ekor kuda yang terlihat agak kecil.
Ki Patih tertawa melihat keragu-raguan yang tersirat di wajah kelima orang itu. Katanya kemudian, “Sengaja aku perintahkan untuk menyiapkan kuda-kuda ini agar tidak terlalu menarik perhatian di sepanjang perjalanan kalian,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil menuruni tlundak pendapa dan menghampiri salah satu kuda itu, Ki Patih meneruskan kata-katanya, “Kuda-kuda ini terlihat agak kecil namun cukup kuat untuk mengantar kalian sampai ke gunung Tidar. Jika kalian meragukan kemampuannya, kalian dapat mengambil istirahat di tepian kali Krasak sebelum meneruskan perjalanan.”
Mereka berlima tampak mengangguk-anggukkan kepala. Ki Rangga selaku pemimpin rombongan segera menjawab, “Sendika Ki Patih. Memang sebaiknya kami memberi kesempatan kuda-kuda ini nantinya untuk beristirahat di tepian kali Krasak.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk. Katanya kemudian, “Nah apakah masih ada sesuatu yang ingin kalian sampaikan sebelum berangkat?”
Sejenak kelima orang itu saling berpandangan. Kembali Ki Rangga yang menjawab, “Ampun Ki Patih, kelihatannya kami sudah siap untuk berangkat,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Kami berlima segera mohon diri.”
“Silahkan,” jawab Ki Patih, “Semoga Yang Maha Agung senantiasa melindungi hambaNYa dalam setiap langkah dan usaha untuk menciptakan kedamaian di bumi Mataram ini.”
Demikianlah sejenak kemudian lima ekor kuda segera berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan regol istana Kepatihan. Kuda-kuda itu berderap di jalan-jalan kota yang sudah mulai ramai. Sesekali mereka berpapasan dengan pedati-pedati yang sarat memuat hasil bumi dari luar kota menuju pasar besar yang terletak di dekat alun-alun. Tak jarang mereka juga bertemu dengan para prajurit yang sedang menjaga sudut-sudut jalan untuk mencegah segala sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
“Mengapa para prajurit itu disiagakan di sudut-sudut jalan?” bertanya Ki Waskita yang berkuda di sebelah Ki Rangga, “Apakah tidak cukup menempatkan mereka di gardu-gardu penjagaan saja? Sedang di malam hari mereka memang dibutuhkan untuk meronda ke seluruh sudut kota.”
Ki Rangga tersenyum mendapat pertanyaan Ki Waskita. Sambil berpaling sekilas  dia menjawab, “Prajurit-prajurit yang bersiaga di sudut-sudut jalan itu selain memberikan rasa aman kepada kawula Mataram, mereka juga mengawasi setiap gerak-gerik orang yang lalu lalang di jalan. Beberapa saat yang lalu memang telah tumbuh kelompok-kelompok anak muda yang meresahkan dan mengganggu keamanan. Mereka menamakan kelompok-kelompok itu dengan nama yang menyeramkan seperti, Sidat macan, Kelabang Ireng dan lain-lain. Mereka sering membuat onar dengan tingkah yang aneh-aneh. Walaupun perbuatan mereka itu masih dapat digolongkan sebagai kenakalan anak-anak muda, namun jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan mereka akan terjerumus dalam perbuatan yang mengarah pada tindak kejahatan.”
Orang-orang yang mendengar keterangan Ki Rangga itu tampak mengangguk-angguk. Sedangkan Glagah Putih yang berkuda di samping Ki Jayaraga hanya tersenyum- senyum saja.
Tanpa terasa perjalanan mereka telah mencapai pintu gerbang kota sebelah utara. Karena Ki Rangga dan Glagah Putih tidak mengenakan pakaian keprajuritan, tanpa menarik perhatian mereka segera keluar melalui pintu gerbang untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menghubungkan kota Mataram dengan padukuhan terdekat.
Dalam pada itu di Ndalem Kapangeranan, seorang pelayan dalam dengan sangat hati-hati telah mengetuk pintu bilik Pangeran Pati.
“Siapa?” terdengar suara Pangeran Pati dari dalam bilik.
“Hamba Pangeran, pelayan dalam,” jawab pelayan dalam itu dengan suara rendah.
Sejenak kemudian terdengar langkah-langkah kaki mendekat sebelum akhirnya terdengar selarak pintu diangkat dan pintu bilik itupun terbuka.
“Ada apa sepagi ini engkau menghadap?” bertanya Pangeran Pati yang berdiri di tengah-tengah pintu bilik.
“Ampun Pangeran,” jawab pelayan itu, “KI Tanpa Aran mohon menghadap.”
Sejenak Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Adalah bukan kebiasaan Ki Tanpa Aran menghadap di saat seperti itu. Jika Pangeran Pati dan Ki Tanpa Aran akan membicarakan sesuatu hal yang berhubungan dengan kawruh kehidupan, biasanya mereka akan bertemu ketika waktu menjelang sepi uwong.
“Di manakah  Ki Tanpa Aran?” bertanya Pangeran Pati itu kemudian.

“Ampun Pangeran, Ki Tanpa Aran menunggu di pringgitan.”
Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sampaikan kepadanya untuk menunggu sebentar. Aku akan berbenah.”
“Sendika Pangeran,” jawab pelayan dalam itu sambil menyembah dan kemudian mengundurkan diri.
Beberapa saat kemudian, Pangeran Pati pun telah hadir di pringgitan untuk menemui Ki Tanpa Aran.
Setelah menanyakan keselamatan dan kesehatan masing-masing, Pangeran Pati pun mulai menanyakan keperluan Ki Tanpa Aran menghadap pagi itu.
“Ampun Pangeran,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian, “Untuk beberapa hari ke depan, mungkin satu atau dua pekan, hamba mohon ijin untuk mengurus sebuah keperluan. Jika Pangeran memerlukan hamba dalam waktu dekat ini, mungkin hamba tidak ada di tempat.”
Untuk beberapa saat Pangeran Pati termenung. Hampir saja Pangeran Pati menanyakan apa keperluan Ki Tanpa Aran, namun pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya itu segera ditelannya kembali. Maka jawabnya kemudian, “KI Tanpa Aran tinggal di Ndalem Kapangeranan ini adalah atas permintaanku, sehingga jika Ki Tanpa Aran mempunyai keperluan khusus dan akan bepergian untuk beberapa hari kedepan, aku tidak mempunyai kewenangan untuk mencegah apalagi melarang.”
“Ah,” desah Ki Tanpa Aran, “Ampun Pangeran, bukan maksud hamba untuk memaksakan kehendak, namun karena suatu urusan pribadi yang sangat penting, hamba mohon ijin meninggalkan Ndalem Kapangeranan  untuk beberapa hari saja.”
Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Silahkan Ki, semoga urusan pribadi Ki Tanpa Aran segera selesai dan kembali dengan selamat ke Ndalem Kapangeranan,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Tanpa Aran akan menempuh perjalanan bersama Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya? Mereka rencananya pagi ini akan berangkat dari Istana Kepatihan menuju ke gunung Tidar.”
Tiba-tiba wajah Ki Tanpa Aran yang biasanya tenang dan sareh itu berubah tegang. Namun perubahan itu hanya sekejap. Dengan tertawa Ki Tanpa Aran pun kemudian menjawab, “Tentu tidak Pangeran. Hamba mempunyai keperluan yang berbeda dengan mereka.”
Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun hanya sekejap, perubahan wajah Ki Tanpa Aran itu sempat ditangkap oleh pewaris Trah Mataram itu.
“Baiklah Ki,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Silahkan mengurus keperluan pribadi Ki Tanpa Aran. Semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik sesuai dengan harapan kita.”
“Terima kasih Pangeran. Hamba mohon diri,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian.
“Kapan Ki Tanpa Aran akan berangkat?” bertanya Pangeran Pati sambil bangkit dari duduknya diikuti oleh Ki Tanpa Aran.
“Hari ini  juga Pangeran,”  jawab Ki tanpa Aran.
”Hari ini juga?” bertanya Pangeran Pati dengan wajah keheranan, “Begitu tergesa-gesa?”
“Hamba Pangeran. Hamba berharap semakin cepat hamba mengurus keperluan pribadi ini, akan semakin cepat pula urusan ini selesai.”
“Baiklah, Ki,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil berjalan ke arah pintu pringgitan, “Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi perjalanan Ki Tanpa Aran.”
“Terima kasih Pangeran,” jawab Ki Tanpa Aran sambil mengikuti langkah Pangeran Pati menuju pintu yang membatasi pringgitan dengan pendapa.
Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Sinarnya yang garang terasa mulai menggatalkan kulit. Lima ekor kuda berderap dengan kencang melintas di jalan tanah yang  berbatu-batu dan meninggalkan debu berhamburan yang membumbung tinggi ke udara.
“Apakah kita akan beristirahat sejenak di Kali Krasak, ngger?” bertanya Ki Waskita   kepada Ki Rangga  yang berkuda di sebelahnya.
Untuk sejenak Ki Rangga terdiam. Pandangan matanya terlempar jauh ke depan, ke titik-titik di kejauhan. Kenangannya pun terlempar ke beberapa saat yang lalu ketika menghadap Pangeran Pati di Ndalem Kapangeranan.
“Tumenggung Ranakusuma,” desis Ki Rangga dalam hati, “Dan Putri Triman itu. Aku benar-benar belum siap untuk mendapatkan kedua-duanya.”
“Bagaimana Kakang?” tiba-tiba Glagah Putih yang berkuda di belakangnya bertanya sehingga membuyarkan lamunannya.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu berpaling sekilas ke belakang. Jawabnya kemudian, “Sesuai pesan Ki Patih, ada baiknya kita beristirahat sebentar di tepian kali Krasak untuk sekedar memberi waktu kuda-kuda  minum dan merumput,” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sebentar. Sambil berpaling ke penunggang di sebelahnya dia melanjutkan, “Ki Waskita, ada baiknya kita memasuki Perdikan Matesih sebelum senja   agar tidak banyak menarik  perhatian.”
Ki Waskita tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak mengangguk-angguk. Sementara di belakangnya Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan tampak ikut mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Demikianlah ketika jalan yang mereka lalui mulai menurun dan menikung tajam, mereka pun segera menyadari bahwa tepian kali Krasak telah semakin dekat. Dengan segera mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka. Ketika tanah di bawah kaki kuda-kuda mereka itu mulai bercampur pasir dan bau khas air sungai serta gemuruh arus air mulai lamat-lamat terdengar , mereka pun segera menghentikan kuda-kuda mereka dan meloncat turun.
“Kita mencari tepian yang landai dan teduh,” berkata Ki Rangga sambil menuntun kudanya.
“Dan yang banyak batu-batu besarnya,” sahut Glagah Putih beberapa langkah di belakang Ki Rangga.
Ki Bango Lamatan yang berada di belakang Glagah Putih sejenak mengerutkan kening. Tanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Untuk apa?”
Ki Jayaraga yang mendengar pertanyaan Ki Bango Lamatan itu segera menyahut, “Untuk apa lagi kalau bukan untuk alas tidur?”
Mereka yang mendengar jawaban Ki Jayaraga itu tertawa kecuali Ki Bango Lamatan. Dia hanya menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Ki Bango Lamatan masih memerlukan waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan mereka.
Demikianlah ketika mereka menemukan tempat yang benar-benar nyaman untuk sekedar melepaskan lelah, kuda-kuda mereka pun sengaja di lepas agar dapat minum sepuas-puasnya serta merumput di tepian.
Glagah Putih yang melihat ada sebuah batu besar yang sedikit menjorok ke air segera meloncat ke atasnya. Sejenak kemudian anak laki-laki Ki Widura itu pun segera merebahkan dirinya dan mulai dibuai oleh rasa kantuk yang tak tertahankan.
Ketika rasa kantuk itu hampir saja membuatnya jatuh tertidur, tiba-tiba saja pendengarannya yang sangat terlatih telah mendengar sayup-sayup suara derap beberapa ekor kuda.
Pada awalnya Glagah Putih mengira suara derap kaki-kaki kuda itu berada di dalam alam mimpinya. Namun ketika suara derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin keras, Glagah Putih pun perlahan-lahan mulai menemukan kesadarannya kembali.
Dengan perlahan-lahan Glagah Putih bangkit dan kemudian duduk bersila. Ketika pandangan matanya menyapu ke sekitar tepian, tampak Ki Rangga dan yang lainnya masih tetap pada sikap mereka semula.
Ki Rangga masih tetap duduk di bawah sebatang pohon yang rindang ditemani Ki Waskita. Keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu hal dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Jayaraga justru sedang bermain mul-mulan dengan Ki Bango Lamatan. Mereka membuat garis-garis di atas tanah sebagai bidang permainan serta menggunakan batu-batu kecil sebagai alat bermain.
Glagah Putih tersenyum. Orang-orang tua  kadang bersikap seperti kanak-kanak kembali, bermain mul-mulan bahkan sesekali untuk mengurangi kejenuhan mereka juga senang bermain engklek bersama anak-anak di bawah siraman Bulan purnama.
Untuk beberapa saat Glagah Putih tidak tahu harus berbuat apa. Sementara suara derap kaki-kaki kuda itu semakin keras dan akhirnya dari tanggul seberang sungai yang cukup tinggi,  muncul tiga ekor kuda dengan penunggangnya.
Sejenak ketiga penunggang kuda itu segera mengekang tali kendali kuda masing-masing. Tanpa turun dari kuda, mereka mengamat-amati Ki Rangga dan kawan-kawannya yang sedang duduk-duduk melepaskan lelah di seberang tepian.
“Orang-orang miskin,” geram seorang yang bertubuh besar dan berjambang lebat.
“Belum tentu kakang,” jawab orang yang di sebelahnya, bertubuh pendek tapi terlihat sangat kekar, “Kelihatannya saja mereka miskin. Kuda yang kecil dan cenderung kurus, pakaian yang lusuh dan wajah-wajah tak bergairah. Namun siapa tahu mereka justru menyimpan kepingan uang emas serta keris-keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”
“Ah, macam kau!” geram orang yang dipanggil kakang itu, “Engkau selalu bermimpi yang muluk-muluk setiap kali kita bertemu dengan calon mangsa. Ingat, di saat terakhir kita menjumpai seorang pengembara tua itu, engkau bermimpi dia membawa emas berlian di balik baju kumalnya. Ternyata yang kita jumpai benar-benar seorang gelandangan yang hampir mati kelaparan.”
Orang ketiga yang sedari tadi diam saja telah tertawa. Sementara orang yang berperawakan pendek itu hanya dapat mendengus sambil bersungut-sungut.
“Sudahlah. Lupakan saja,”  berkata orang berjambang itu sambil bergerak menghela kudanya menjauhi tanggul.
“Kakang tunggu,” tiba-tiba orang yang pendek itu berbisik, “Lihatlah timang yang dipakai orang yang sedang bermain mul-mulan itu.”
Orang berjambang yang sudah memutar kudanya itu tertegun. Tanpa sadar dia menghela kudanya mendekati tanggul kembali. Ketika matanya yang tajam itu kemudian melihat ke arah pinggang Ki Bango Lamatan, hati orang berjambang itupun berdesir tajam. Timang itu tampak berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari yang sesekali menerobos rimbunnya dedaunan.
“Gila!” umpat orang berjambang itu kemudian, “Engkau benar. Mereka kelihatannya memang orang-orang kaya yang sedang berpura-pura miskin. Marilah. Ini kesempatan kita untuk mendapatkan hasil yang banyak dan akan semakin menambah  kepercayaan Ki Lurah kepada kita.”
“Dan di lain kesempatan kita akan dipercaya untuk melaksanakan  tugas  yang lebih menantang,” sahut orang yang ketiga.
Orang berjambang yang sudah menggerakkan kendali kudanya itu sejenak tertegun. Sambil berpaling kearah orang itu dia bertanya, “Apa maksudmu dengan tugas yang lebih menantang?”
Orang itu tersenyum. Jawabnya kemudian, “Aku sudah bosan menjadi penyamun. Mungkin sesekali kita diberi tugas untuk merampok rumah Ki Gede Matesih barangkali dan menculik anak gadisnya yang cantik itu.”
“Dan besoknya kepalamu akan dipenggal oleh Raden Mas Harya Surengpati,” geram  orang berjambang itu.
Selesai berkata demikian orang berjambang itu segera memutar kudanya menjauhi tanggul. Sedangkan kedua kawannya sejenak masih termangu-mangu sebelum akhirnya .bergerak ikut menuruni tanggul.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang sedari tadi mengawasi ketiga orang berkuda itu dengan sudut matanya telah menarik nafas dalam-dalam sambil memalingkan wajahnya ke arah kakak sepupunya. Namun tampaknya Ki Rangga dan Ki Waskita tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya karena sedang terlibat pembicaraan yang bersungguh-sungguh.
Glagah Putih yang tadi sempat mengetrapkan aji sapta pangrungu telah mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Ketiga orang berkuda itu kemungkinannya sedang mencari tanggul yang landai untuk mendekat ke arah mereka.
“Siapakah mereka itu?” bertanya Glagah Putih dalam hati sambil meluruskan kedua kakinya, “Mereka tidak mungkin hanya perampok kecil yang bernyali terlalu besar. Kelihatannya mereka tidak berdiri sendiri. Salah satu telah menyebut nama Ki Lurah dan seorang pemimpin yang agaknya sangat mereka segani, Raden Mas Harya Surengpati.”
Ada keinginan dari Glagah Putih untuk memberi tahu yang lain. Namun niat itu segera ditepisnya. Keempat orang itu adalah orang-orang yang linuwih, tentu mereka sudah mengetahui dan menyadari serta memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi.
“Di sebelah timur itu agaknya ada tanggul sungai yang agak rendah dan kelihatannya memang sudah menjadi jalur jalan selama ini,” berkata Glagah Putih dalam hati kemudian sambil mengawasi tanggul sebelah timur yang berjarak sekitar lima puluh tombak, “Kemungkinannya mereka akan lewat dari tanggul yang rendah itu.”
Ternyata dugaan Glagah Putih tidak meleset. Sejenak kemudian, ketiga penunggang kuda itupun telah muncul dari balik tanggul yang rendah dan segera menghela kuda-kuda mereka untuk menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa.
Ketika kaki-kaki kuda itu mulai menapak tanah berpasir di tepian, Glagah Putih pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan cepat dia segera meloncat turun dari batu besar yang didudukinya.
“Mereka telah tertarik dengan timang emas yang dipakai Ki Bango Lamatan,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Mungkin timang itu hadiah dari Pangeran Pati karena Ki Bango Lamatan telah diangkat menjadi pengawal pribadinya.”
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih melihat kuda-kuda itu berderap dengan lambat di atas tepian yang berpasir, namun ketiga penunggangnya dengan keras telah melecutnya. Sedangkan kuda-kuda Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah meringkik keras-keras  begitu kuda-kuda ketiga orang itu telah melangkah semakin dekat.
Ki Jayaraga yang duduk membelakangi arah datangnya kuda-kuda itu telah berpaling ke belakang. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi sudah melihat kedatangan kuda-kuda itu segera berdiri dari tempat duduknya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya yang kotor terkena pasir di tepian.
Ketika jarak kuda yang paling depan hanya tinggal lima langkah saja, barulah dengan malasnya Ki Jayaraga bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya.
“Selamat siang,” berkata orang yang berjambang itu sambil melompat turun dari kudanya dan diikuti oleh kedua kawannya, “Maaf jika kedatangan kami di tempat ini telah mengganggu istirahat Ki Sanak semuanya.”
Glagah Putih yang mendengar cara orang berjambang itu berbicara telah mengerutkan keningnya. Tingkah laku maupun nada suara orang berjambang itu cukup sopan dan mengenal unggah-ungguh. Padahal sewaktu di atas tanggul tadi, apa yang didengarnya sangatlah jauh berbeda. Mereka datang ke tempat itu hanyalah bertujuan untuk merampas barang-barang berharga yang dimiliki oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.
“O, tidak-tidak,” Ki Jayaraga lah yang menyahut sambil tersenyum lebar, “Marilah, silahkan duduk. Kami sudah terbiasa berbagi tempat. Demikian juga jika Ki Sanak sekalian membutuhkan bekal, kami juga ada. Kami membawa juadah bakar, ketela rebus yang dicampur dengan santan dan gula kelapa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tentu saja kuah santan gula kelapanya dibuat kental agar mudah membawanya.”
Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sekilas dia berpaling ke arah kawan-kawannya. Ketika orang yang pendek kekar itu menganggukkan kepalanya, orang berjambang itupun segera menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kedatangan kami ke tempat ini bukan untuk beristirahat. Kami telah cukup beristirahat di padukuhan Salam tadi,” orang berjambang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kedatangan kami adalah untuk mengajak kalian semua menyadari apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi di tanah ini, tanah tercinta kita ini.”
Dalam pada itu, Ki Rangga dan Ki Waskita agaknya mulai tertarik dengan percakapan itu sehingga keduanya telah berdiri dan berjalan mendekat.
“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sesampainya di samping Ki Jayaraga, “Kami sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Ki Sanak. Menurut hemat kami, di tanah ini tidak sedang terjadi apa-apa? Sejak kami dilahirkan kemudian menjadi setua ini, di tanah kita yang tercinta ini keadaannya tidak pernah ada bedanya. Dari hari ke hari, minggu menjadi minggu. Bahkan telah bertahun tahun kami menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, kami sama sekali tidak melihat adanya banyak perubahan.”
Untuk sejenak orang berjambang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang tajam ke arah Ki Rangga, dia pun bertanya, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”
“Kami adalah pedagang wesi aji dan perhiasan dari Prambanan,” sahut Ki Waskita yang juga telah berdiri di samping Ki Jayaraga, “Kami menjelajahi padukuhan-padukuhan untuk menawarkan barang dagangan kami,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun kami juga siap untuk membeli barang-barang berharga yang sekiranya menarik minat kami dari siapapun.”
Sejenak mata ketiga orang itu berbinar begitu mengetahui bahwa calon mangsa yang berdiri di hadapan mereka kali ini adalah pedagang weji aji dan barang-barang berharga.
“Ki Sanak,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami adalah anggota dari sekelompok orang-orang yang menginginkan perubahan. Wahyu keprabon di tanah ini seharusnya tetap tegak lurus dari Trah Majapahit. Namun pada kenyataannya wahyu keprabon sekarang telah dicuri oleh keturunan pidak pedarakan yang berasal dari Sela,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Sanak pernah mendengar sebuah cerita tentang buah kelapa milik Ki Ageng Giring? Nah, sudah waktunya wahyu keprabon saat ini kembali kepada yang berhak.”
Dengan nada sedikit ragu-ragu Ki Jayaraga pun kemudian bertanya, “Siapakah sebenarnya yang berhak atas wahyu keprabon itu?”
Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sebuah senyum menghiasi wajahnya. Jawabnya kemudian, “Siapa lagi kalau bukan keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen?”
Ki Rangga dan kawan-kawannya sejenak tertegun. Ternyata pengaruh Trah Sekar Seda Lepen itu telah jauh menyebar dan agaknya orang-orang semacam inilah yang telah berusaha dengan tak mengenal lelah untuk menyebar luaskan pengaruh itu.
“Maaf Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam, “Bukankah Harya Penangsang sebagai keturunan Sekar Seda Lepen telah gugur di pinggir Bengawan Sore? Sedangkan Harya Mataram telah hilang dan tidak ketahuan lagi rimbanya?”
“Itu bukan urusan Ki Sanak,” jawab orang berjambang itu, “Sekarang yang perlu kami ketahui adalah, apakah Ki Sanak mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk kembali menduduki tahta atau tetap mendukung keturunan para petani dari Sela itu?”
Untuk beberapa saat Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat diam termangu. Sementara Glagah Putih yang masih berdiri bersandaran pada batu sebesar kerbau itu tidak ingin ikut campur. Dia telah percaya sepenuhnya kepada Ki Rangga dan orang-orang tua itu.
“Ki Sanak,” akhirnya orang berjambang itu berkata untuk memecah kesunyian, “Kalian tidak harus bergabung dengan barisan kami jika memang ingin mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk menduduki Tahta kembali. Ki Sanak cukup menyumbangkan benda-benda berharga yang Ki Sanak miliki. Kami memerlukan dana yang sangat besar untuk mewujudkan tanah ini kembali gemah ripah loh jinawi sebagaimana di masa kejayaan Majapahit dahulu.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata itulah pokok permasalahan sebenarnya yang ingin disampaikan oleh orang berjambang itu, pengumpulan dana baik secara suka rela maupun paksaan untuk mewujudkan cita-cita kelompok mereka.
Selagi Ki Rangga berpikir untuk menyelesaikan persoalan itu tanpa menimbulkan kekerasan, tiba-tiba Ki Waskita telah maju dua langkah sambil kedua tangannya mengangsurkan sebuah keris berpendok emas dan bertretes berlian. Kata Ki Waskita kemudian, “Inilah Ki Sanak. Mungkin aku tidak bisa membantu dengan tenagaku yang sudah tua renta ini. Semoga keris ini akan bermanfaat bagi perjuangan kalian.”
Ketiga orang itu terkejut begitu melihat keris berpendok emas dan bertretes berlian di tangan Ki Waskita. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya telah mengerutkan kening mereka dalam-dalam, namun itu hanya terjadi sesaat. Sejenak kemudian tampak kepala mereka terangguk-angguk.
Dengan cepat orang berjambang itu meraih keris di tangan Ki Waskita. Katanya kemudian, “Terima kasih. Bantuan Ki Sanak tidak akan pernah kami lupakan,” orang itu berhenti sejenak. Katanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Bagaimana dengan Ki Sanak yang lain? Apakah tidak ingin menyumbangkan harta benda kalian demi sebuah perjuangan suci ini?”
Mendengar pertanyaan itu Ki waskita segera tanggap. Sambil berjalan menghampiri kawan-kawannya kecuali Glagah Putih, Ki Waskita pun berkata, “Tentu, tentu Ki Sanak. Dengan senang hati kawan-kawan kami akan ikut berderma untuk perjuangan ini.”
Segera saja di tangan Ki Waskita terkumpul beberapa benda berharga, sebuah timang emas, tiga buah cincin emas bermata merah delima dan beberapa batu permata.
Dengan sebuah senyum lebar orang berjambang itu menerima barang-barang tersebut dari tangan Ki Waskita. Kemudian katanya kepada kawannya yang bertubuh pendek kekar, “Masukkan semua ke dalam kantong di pelana kudamu. Hari ini kita benar-benar sangat beruntung.”
Kawannya segera maju untuk menerima barang-barang itu dan selanjutnya menyimpannya ke dalam sebuah kantong besar yang disangkutkan di pelana kudanya.
“Nah, Ki sanak semua,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami sangat berterima kasih atas semua bantuan kalian. Semua ini akan aku laporkan kepada Ki Lurah. Kelak jika perjuangan kami berhasil, kalian semua pasti akan ikut menikmatinya. Sebuah Kerajaan baru akan lahir dibawah pemerintahan seorang Raja yang adil dan bijaksana sehingga akan tercipta sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.
Ki Rangga dan kawan-kawannya tidak menyahut. Hanya kepala mereka saja yang terlihat terangguk-angguk.
“Nah, aku mohon diri. Semoga hari kalian menyenangkan.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, orang berjambang itu segera meloncat ke punggung kudanya dan diikuti oleh kawan-kawannya. Sejenak kemudian mereka segera menghela kuda masing-masing untuk berbalik arah dan kemudian berderap meninggalkan tempat itu.
Untuk beberapa saat ketiga kuda itu masih tampak menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa. Setelah kuda-kuda itu naik ke tepian dan kemudian hilang di balik tanggul yang rendah, barulah Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Ternyata Ki Waskita masih senang bermain-main dengan bayangan semu. Kita harus segera meninggalkan tepian ini sebelum mereka menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.”
“Marilah ngger,” sahut Ki Waskita kemudian, “Untung mereka tidak tertarik dengan kuda-kuda kita. Ternyata perhitungan Ki Patih Mandaraka benar.”
“Bukankah Ki Waskita juga mampu membuat bayangan semu seekor kuda atau bahkan lebih, seribu kuda barangkali?” bertanya Ki Jayaraga sambil melangkah mendekati kudanya.
“Membuat yang tidak ada menjadi seolah-olah ada, itulah ilmu bayangan semu yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sebentar sambil membenahi pelana kudanya. Lanjutnya kemudian, “Namun jika sudah ada lima ekor kuda dan kemudian aku harus membuat bayangan semu lima ekor kuda yang lain, bagaimana aku harus menyembunyikan lima ekor kuda yang sebenarnya dari penglihatan mereka?”
Mereka yang mendengar keterangan Ki Waskita itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Demikian juga Glagah Putih yang sedang sibuk mempersiapkan kudanya. Sementara Ki Bango Lamatan yang selama kejadian itu hanya berdiam diri saja, telah semakin mengerti dan mendalami akan kemampuan kawan-kawan seperjalanannya.
“Selama ini aku memang ibarat seekor katak dalam tempurung,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata Mataram memiliki sekumpulan orang-orang yang pilih tanding dan ngedab edabi,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Sambil berpaling sekilas ke arah Glagah Putih yang berkuda di sebelah Ki Jayaraga, dia kembali berkata dalam hati, “Anak muda itupun kelihatannya bukan anak muda sembarangan. Sorot matanya terlihat begitu meyakinkan serta gerak-geriknya penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi.”
Demikianlah, sejenak kemudian kelima ekor kuda itupun segera menyeberangi kali Krasak yang airnya cukup dangkal untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menuju ke padukuhan Ngadiluwih.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil berpaling kepada Ki Rangga yang berkuda di sebelahnya, “Sebaiknya sebelum mencapai hutan kecil di depan, kita mengambil jalan ke kiri menuju ke padukuhan Gesik. Setelah itu kita menyusuri tepian kali Praga sampai memasuki padukuhan Klangon. Sebaiknya kita menghindari padukuhan Salam.”
“Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga, “Ketiga orang tadi menyebut-nyebut padukuhan Salam dan agaknya sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Kemungkinannya mereka memang bersarang di sana.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya diikuti oleh yang lainnya.
“Apakah angger mempunyai dugaan siapakah yang dimaksud dengan Raden Mas Harya Surengpati?” bertanya Ki Waskita kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sewaktu masih di atas tanggul tadi, orang berjambang itu telah menyebut namanya.”
Ki Rangga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Mungkin banyak orang yang mengaku masih kerabat dekat dengan Sekar Seda Lepen dan bergabung dengan kelompok itu. Namun aku  yakin bahwa mereka masing-masing  mempunyai pamrih pribadi yang lebih kuat dibanding dengan apa yang mereka sebut sebagai sebuah perjuangan itu.”
Kembali Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya dan diikuti oleh yang lainnya.
“Kita harus membuat hubungan terlebih dahulu dengan para petugas sandi sebelum memasuki Perdikan Matesih,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Kita tidak tahu apakah pengaruh kelompok orang-orang yang menyebut dirinya pengikut  Trah Sekar Seda Lepen itu telah merambah sampai ke Perdikan Matesih.”
“Kemungkinan itu ada ngger,”  sahut Ki Waskita, “Tanah Perdikan Matesih letaknya tidak jauh di sebelah barat Gunung Tidar. Tidak menutup kemungkinan ada sebagian penduduk terutama para pemudanya yang menjadi murid Perguruan Sapta Dhahana.”
“Dan Perguruan Sapta Dhahana menurut keterangan para petugas sandi telah menjalin hubungan dengan Trah Sekar Seda Lepen,” Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki Rangga menyahut.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Menilik pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen sudah sampai di padukuhan Salam dan sekitarnya, kuat dugaanku Perdikan Matesih pun tidak luput dari pengaruh itu.”
“Jadi bagaimana kakang?” Glagah Putih yang sedari tadi hanya diam saja tidak mampu lagi menahan hati, “Apakah kita akan tetap bermalam di Perdikan Matesih?”
“Seperti yang telah aku katakan tadi, kita membuat hubungan dengan para petugas sandi terlebih dahulu,” jawab Ki Rangga kemudian, “Petugas sandi yang terdekat berada di padukuhan Klangon.”
Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan kakak sepupunya itu. Sementara yang lainnya pun  telah ikut mengangguk-angguk pula.
Demikianlah sejenak kemudian mereka segera memacu kuda masing-masing menyusuri bulak yang cukup panjang itu sebelum mencapai hutan kecil di pinggir padukuhan Ngadiluwih.
Dalam pada itu, orang berjambang dan kedua kawannya sedang  memacu kuda-kuda mereka keluar pintu gerbang padukuhan Ngadiluwih. Setelah melewati sebuah bulak pendek, mereka akan memasuki sebuah padukuhan kecil yang selama ini mereka pergunakan sebagai tempat tinggal sementara, Padukuhan Salam.
Perjalanan itu hanya memerlukan waktu yang sangat pendek. Ketika pintu gerbang padukuhan yang sangat sederhana telah mereka lalui, orang berjambang beserta kedua kawannya itu segera mengambil jalur ke kanan menyusuri sebuah jalan setapak.
Tidak banyak yang memperhatikan jalan setapak itu. Sebuah jalan setapak yang menembus pategalan yang sangat luas. Di kanan kiri jalan setapak itu tumbuh beberapa jenis pepohonan yang berkayu keras. Beberapa gerombol pohon pisang juga tampak tumbuh di beberapa tempat di sepanjang jalur jalan setapak itu.
 “Ki Lurah pasti akan terkejut melihat hasil kerja kita hari ini,” berkata orang berjambang itu kepada kedua kawannya yang berkuda di belakangnya, “Matahari baru mendekati puncaknya, namun kita sudah pulang dengan membawa hasil yang sedemikian banyaknya.”
Kedua kawannya tidak menyahut dan hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sadar salah seorang telah mendongakkan wajahnya ke langit. Di sela-sela rimbunnya dedaunan, tampak Matahari memang belum sampai pada puncaknya.
Untuk beberapa saat mereka masih menyusuri jalan setapak di pinggir pategalan yang tidak terurus itu. Kelihatannya pemilik pategalan itu sudah lama tidak menengoknya dan dibiarkan saja semak belukar tumbuh subur di pategalan itu. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka.  Masing-masing sedang berangan-angan untuk mendapatkan  hadiah dari pemimpin mereka serta di masa mendatang akan lebih dipercaya untuk melaksanakan tugas yang lebih besar.
Semakin lama jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit sehingga mereka harus berkuda berurutan. Setelah melewati sebuah pohon randu yang batangnya sebesar hampir dua pelukan orang dewasa, mereka pun kemudian berbelok ke kiri dan melalui jalan setapak yang mulai menurun.
“Kita hampir sampai,” berkata orang berjambang itu sambil berpaling sekilas ke belakang, “Aku tidak bisa membayangkan wajah Ki Lurah yang akan terheran-heran melihat hasil kerja kita hari ini.”
Kawannya yang bertubuh pendek dan berkuda tepat di belakangnya tersenyum mendengar angan-angan orang berjambang itu. Tanpa sadar tubuhnya agak membungkuk ke depan sambil tangan kirinya meraba kantong besar yang tersangkut di pelana kudanya.
Namun alangkah terkejutnya orang yang bertubuh pendek itu. Jantungnya bagaikan berhenti berdetak dengan tiba-tiba. Tangan kirinya yang meraba kantong itu tidak menemukan sesuatu apapun. Dicobanya sekali lagi untuk meremas-remas kantong itu, namun hasilnya tetap sama. Kantong itu sama sekali kosong dan tidak ada isinya.
“Kakang..!” terdengar suaranya gemetar memanggil orang berjambang di depannya.
Orang berjambang itu mengerutkan keningnya sambil menoleh. Tanyanya kemudian, “Ada apa?”
“Kantong itu..” orang bertubuh pendek itu tidak mampu menyelesaikan kata-katanya. Dadanya rasa-rasanya telah pepat seolah tertimbun bebatuan yang longsor dari puncak bukit.
Kembali orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Sekarang dia tidak hanya menoleh, namun telah menghentikan kudanya. Katanya kemudian setengah membentak, “Ada apa, he?!”
Orang yang bertubuh pendek itu sekarang benar-benar telah menggigil seperti orang kedinginan. Sambil gemetaran tangannya meraih kantong yang terikat di pelana kudanya dan kemudian diangkatnya. Katanya kemudian dengan suara yang memelas, “Kakang, barangnya tidak ada. Kantong ini kosong.”
“He?” bagaikan disambar petir di siang bolong orang berjambang itu berteriak sambil meloncat turun dari kudanya. Dengan tergesa-gesa dia segera melangkah mendekat.
Orang yang pendek dan orang yang satunya segera ikut meloncat turun. Sementara orang yang bertubuh pendek itu segera melepas tali yang mengikat kantong itu di pelana kudanya.
Tanpa menunggu waktu lagi orang berjambang itu segera menyambar kantong yang diangsurkan kepadanya. Dengan menggeram marah dibongkarnya kantong itu yang ternyata memang kosong melompong tidak ada isinya.
“Gila..!” umpat orang berjambang itu sambil membanting kantong itu ke tanah. Sejenak matanya yang memerah darah menatap tajam ke arah orang yang bertubuh pendek yang berdiri di hadapannya dengan tubuh gemetar. Tiba-tiba saja tangan kirinya mencengkeram leher orang itu.
“Kau? Kau?” geram orang berjambang itu dengan suara menggelegar, “Pengkhianat busuk! Di mana kau sembunyikan barang-barang itu, he?!”
Orang yang bertubuh pendek itu benar-benar telah kehilangan nyali. Nyawanya rasa-rasanya sudah berada di ubun-ubun, siap untuk meloncat keluar dari raganya. Sementara wajahnya pucat pasi dengan sekujur tubuh yang telah basah kuyup oleh keringat dingin.
“Aaku.. tidak tahu Kakang..” jawab orang itu terbata-bata.
“Bohoong..! Kau memang pantas mampus!” umpat orang berjambang itu sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap menghancurkan kepala orang yang bertubuh pendek itu.
“Kakang tunggu!” tiba-tiba orang ketiga yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat peristiwa itu segera berteriak sambil meloncat maju, “Pendek belum tentu bersalah. Aku sedari tadi berkuda di sampingnya dan kemudian di belakangnya. Aku tidak melihat dia menyentuh kantong itu kecuali beberapa saat tadi. Aku yakin, Pendek tidak akan mengkhianati perjuangan kita.”
Untuk beberapa saat orang berjambang itu masih tetap pada sikapnya. Namun tiba-tiba cengkeramannya di leher orang bertubuh pendek itu semakin keras sambil berteriak, “Kalian sengaja bersekongkol untuk menipu aku, he? Kalian akan mengangkangi barang-barang itu berdua saja dan menipu aku! Sebaiknya kalian berdua aku bunuh saja!”
Selesai berkata demikian, kembali tangan kanan orang berjambang itu terangkat tinggi-tinggi siap menghancurkan kepala orang yang selama ini telah menjadi kawan seperjuangannya.
“Kakang, ampun..kakang. Aku benar-benar tidak melakukannya..” rengek orang bertubuh pendek itu dengan suara memelas. Sementara orang yang satunya hanya dapat memandang peristiwa itu dengan wajah yang sangat tegang.
Tiba-tiba di saat yang menegangkan itu terdengar sebuah tawa terbahak-bahak memenuhi tempat itu.
Serentak ketiga orang itupun segera berpaling ke arah mana suara tawa itu berasal.
“Ki Lurah,” hampir bersamaan ketiga orang itu berseru tertahan.
Orang yang dipanggil Ki Lurah itu tersenyum sambil melangkah mendekat. Sambil memberi isyarat kepada orang yang berjambang itu dia berkata, “Jambang, lepaskan si Pendek.”
Dengan segera orang yang berjambang itu melepaskan cengkeramannya kepada Pendek. Begitu cengkeraman itu terlepas dari lehernya, Pendek segera menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur. Agaknya dia tidak ingin bermasalah lagi dengan si Jambang itu.
“Aku dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi pada kalian,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian telah menjadi korban permainan dari orang-orang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian kita akan menjadi lebih waspada.”
Ketiga orang itu sejenak saling pandang. Orang berjambang itu yang akhirnya bertanya mewakili kawan-kawannya, “Maaf Ki Lurah. Kami tidak mengerti maksud Ki Lurah. Kami merasa tidak pernah bertemu atau bahkan bertempur dengan orang-orang yang berilmu tinggi.”
“Kalian memang terlalu bodoh!” geram Ki Lurah, “Bukankah seseorang telah memberikan sesuatu yang menurut kalian itu merupakan barang-barang berharga?”
“Benar Ki Lurah,” serempak mereka menjawab. Sementara si Jambang segera meneruskan, “Kami bertemu lima orang di tepian kali Krasak. Ketika aku menjelaskan kepada mereka tentang perjuangan kami, dengan serta merta salah seorang dari mereka yang terlihat paling tua telah menyerahkan sebuah keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”
“Itulah,” sahut Ki Lurah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang tua itu pasti tukang sihir, dan kalian telah disihirnya,” Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah orang-orang yang lainnya juga menyerahkan barang-barang berharga mereka?”
Kembali ketiga orang itu saling berpandangan. Seingat mereka, orang-orang yang lainnya memang hanya berdiam diri saja. Orang yang paling tua itulah yang mengambil barang-barang berharga dari mereka dan kemudian menyerahkannya.
“Tidak Ki Lurah,” jawab si Jambang yang kini mulai menyadari kebodohannya, “Memang kita mendapat tambahan beberapa barang berharga lagi, namun orang tua itulah yang mengambil dari masing-masing orang dan menyerahkannya kepadaku.”
Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Kemanakah sebenarnya tujuan orang-orang itu?”
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang peristiwa yang baru saja mereka alami.
“Ki Lurah,” tiba-tiba orang yang bertubuh pendek itu membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya kita mengejar orang-orang yang telah mempermainkan kami itu?”
Ki Lurah menggeleng sambil tersenyum masam. Jawabnya kemudian, “Tidak ada gunanya. Mereka tentu sudah jauh dan jika kita dapat menemukan mereka, aku tidak yakin kekuatan kita akan mampu untuk menghadapi mereka.”
Ketiga orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka mendengar jawaban Ki Lurah. Memang segala sesuatunya harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum bertindak.
“Sudahlah,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian dapat beristirahat sebentar. Aku akan ke Perdikan Matesih untuk melaporkan kejadian ini kepada Raden Mas Harya Surengpati.”
Ketiga orang itu tidak menjawab dan hanya melangkah sambil menuntun kuda-kuda mereka mengikuti Ki Lurah menuju ke sebuah bangunan yang terletak tidak jauh dari tempat itu.
Tidak banyak yang memperhatikan bangunan itu. Sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari bambu dan beratap ilalang. Sebuah bangunan yang lebih cocok disebut sebuah gubuk dari pada sebuah rumah. Di gubuk itulah orang yang dipanggil Ki Lurah itu tinggal bersama mereka.
Dalam pada itu Ki Rangga dan kawan-kawannya telah sampai di Padukuhan Gesik, sebuah padukuhan kecil dan sepi. Mereka berlima sengaja tidak melewati jalan satu-satunya yang berada di padukuhan itu, namun mereka lebih senang menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat. Hutan itu melingkari Padukuhan Gesik dari sebelah selatan kemudian membujur ke arah sisi barat padukuhan.
Beberapa saat kemudian rombongan berkuda itu telah memasuki sebuah padang rumput yang luas di pinggir hutan sebelah barat Padukuhan Gesik. Rombongan itu pun segera keluar dari jalur jalan setapak yang menjelujur di pinggir hutan itu. Kuda-kuda itu pun kemudian  dapat berpacu dengan cepat di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu yang banyak tersebar di padang rumput itu.
Sesekali mereka tampak mendongakkan wajah mereka ke langit. Awan yang gelap mulai tampak bergerombol dan berarak-arak di cakrawala langit sebelah barat. Kelihatannya musim kemarau akan segera  berakhir dan sudah saatnya hujan turun membasahi bumi yang kering.
“Mungkin ini akan menjadi hujan yang pertama yang akan turun,” desis Ki Waskita yang berkuda di samping Ki Rangga.
Ki Rangga mendongakkan wajahnya sekilas. Jawabnya kemudian, “Semoga sebelum hujan kita sudah memasuki Padukuhan Klangon.”
Yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang berharap tidak sampai kehujanan di tengah perjalanan.
Ketika hutan di sebelah barat padukuhan  itu menjadi semakin tipis dan pohon-pohon yang besar telah berganti dengan tanaman perdu serta semak belukar, padang rumput yang mereka lalui itu pun telah menyempit. Sejenak kemudian di hadapan mereka telah terbentang tanah persawahan yang luas. Jalan setapak di pinggir hutan itu pun telah tersambung dengan sebuah bulak panjang. Di sepanjang bulak,  banyak pepohonan yang tumbuh atau memang sengaja ditanam di kiri kanan jalan. Sementara di langit awan hitam mulai bergerak menutupi sinar Matahari  sehingga  pemandangan di sepanjang bulak itu  terlihat  mulai remang-remang.
Sambil memperlambat laju kuda-kuda mereka, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun kemudian membelokkan arah kuda-kuda mereka ke bulak yang sangat panjang dan sekarang  terlihat agak gelap. Angin yang dingin dan basah mulai bertiup sedikit kencang menggugurkan daun-daun yang sudah menguning dari tangkainya. Di langit sesekali halilintar mulai bersabung. Suaranya terdengar menggelegar memekakkan telinga.
“Kelihatannya para petani sudah mulai mempersiapkan tanah mereka untuk digarap,” berkata Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki Rangga sambil mengamati orang-orang yang sedang bekerja di sawah. Sebagian tampak sedang memperbaiki tanggul, sebagian lainnya tampak sedang mencangkul.
“Ya, Ki Jayaraga,” sahut Ki Rangga sambil berpaling sekilas, “Apakah Ki Jayaraga tertarik untuk membantu?”
“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek.  Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Aku lupa membawa cangkul, Ki Rangga.”
Kali ini semua orang yang berada di dalam rombongan itu tertawa cukup keras sehingga membuat orang-orang yang bekerja di sawah itu telah berpaling.
Demikianlah rombongan berkuda itu pun kemudian tanpa berusaha menarik perhatian telah berpacu kembali di bulak panjang. Dari kejauhan tampak debu yang mengepul tinggi di belakang rombongan berkuda itu.
Ketika rombongan itu telah melewati tengah-tengah  bulak, dari kejauhan mereka melihat seseorang tampak sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah sebatang pohon di sebelah kiri jalan, hanya beberapa puluh tombak saja dari regol padukuhan Klangon.
Orang itu terlihat duduk bersila dengan kedua tangan  bersilang di dada serta kepala yang tertunduk dalam-dalam. Sebuah caping di atas kepalanya telah menutupi sebagian wajahnya.
Terasa dada Ki Rangga berdesir, demikian juga Glagah Putih. Sebagai prajurit mereka cukup mengenal tanda-tanda yang ditunjukkan oleh orang yang sedang beristirahat di tepi jalan itu.
Ki Rangga segera memberi isyarat untuk memperlambat kuda-kuda mereka begitu rombongan itu mendekati tempat orang bercaping itu duduk.
Ki Waskita sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berpaling ke arah Ki Rangga.  Ketika Ki Rangga kemudian mengangguk, barulah Ki Waskita  menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Glagah Putih yang berkuda di samping gurunya telah berkata dengan suara yang sedikit lantang, “Angin timur atau angin barat kah yang bertiup membawa hujan kali ini?”
Tidak terdengar suara jawaban sama sekali. Bahkan ketika rombongan berkuda itu telah tepat berhenti di depannya,  orang bercaping itu  tetap pada sikapnya semula, menunduk dengan caping menutupi sebagian wajahnya.
Sejenak Ki Rangga menjadi ragu-ragu. Namun segala sesuatunya harus segera diyakinkan. Maka dengan cepat Ki Rangga segera meloncat turun dari kudanya dan bergegas menghampiri  orang itu.
Ketika jarak Ki Rangga dengan orang itu tinggal selangkah, jantung Ki Rangga pun bagaikan berhenti berdetak. Ki Rangga melihat sesuatu yang janggal telah terjadi pada diri orang itu. Orang itu bagaikan sebuah patung yang diletakkan begitu saja di bawah pohon, sama sekali tidak bergerak. Bahkan gerakan tubuh yang menandakan bahwa dia masih bernafas pun tidak terlihat.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, dengan gerak cepat Ki Rangga maju selangkah sambil membungkuk.  Ketika tangan Ki Rangga kemudian terjulur untuk membuka caping itu, alangkah terkejutnya Ki Rangga. Terlihat sebuah paser kecil telah menancap dalam-dalam di leher orang itu.
“Gila!” geram Ki Rangga sambil berusaha meraba detak nadi di leher dan kedua pergelangan tangan orang itu. Namun Ki Rangga tidak menemukan apa yang dicarinya.
Perlahan Ki Rangga mengembalikan caping itu di atas kepala orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang berdebaran. Ketika Ki Rangga kemudian menegakkan tubuhnya dan berbalik, yang pertama-tama dilakukannya adalah menggeleng sambil berdesis, “Orang itu telah mati.”
“Mati?” hampir serentak mereka yang masih berada di atas punggung kuda itu mengulang. Dengan bergegas mereka pun kemudian segera berloncatan turun dari atas punggung kuda masing-masing.
Sejenak kemudian kelima orang itupun telah mengerumuni orang bercaping yang telah menjadi mayat dalam keadaan duduk dibawah sebatang pohon itu.
“Paser beracun,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati paser yang menancap dalam-dalam di leher orang itu.
“Ya Ki Waskita,” sahut Ki Rangga, “Kelihatannya seseorang dengan sengaja telah melontarkan paser kecil itu melalui sebuah sumpit,” Ki Rangga berhenti sejenak sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Lanjutnya kemudian, “Hanya orang yang mempunyai kemampuan  tinggi  yang mampu melakukan semua ini.”
Yang mendengar keterangan Ki Rangga telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tentu diperlukan tenaga yang sangat kuat untuk dapat melontarkan paser kecil itu sehingga menancap hampir seluruhnya di leher orang itu.
“Bagaimana kakang,” bertanya Glagah Putih kemudian, “Menilik ciri-cirinya, dia adalah petugas sandi Mataram. Apakah kita akan menguburkannya?”
Mendengar pertanyaan Glagah Putih, Ki Rangga segera menyingkap baju orang itu untuk melihat timang ikat pinggangnya. Dan apa yang diduga oleh Glagah Putih memang benar. Timang itu bagi orang kebanyakan memang tidak akan banyak berarti, namun bagi sesama petugas sandi atau prajurit Mataram, tanda yang berada di lempengan timang itu mengandung arti tersendiri.
“Seharusnya memang demikian,” jawab Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah adik sepupunya itu, “Namun kita harus mencari tempat yang layak dan tidak begitu banyak menarik perhatian  orang.”
“Baik kakang,” sahut Glagah Putih kemudian sambil maju mendekat untuk mengangkat tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
Namun sebelum Glagah Putih menyentuh tubuh itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan riuh rendah yang berasal dari arah regol padukuhan Klangon.
Serentak mereka berpaling. Tampak berpuluh-puluh orang  sedang berlari-larian dari arah regol padukuhan Klangon menuju ke tempat mereka berkerumun.
“Tangkap pembunuh..!” teriak beberapa orang dengan senjata yang teracu.

STSD Jilid 2

Bagian 1
“TANGKAP pembunuh..!!” yang lainnya pun ikut berteriak sambil mengangkat senjata di tangan kanan mereka tinggi-tinggi.
Untuk beberapa saat Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah membeku. Mereka tidak tahu apa yang harus  dilakukan dan hanya diam di tempat saja sambil menunggu.
Sejenak kemudian orang-orang yang berlari-larian itu telah sampai di tempat  Ki Rangga dan kawan-kawannya berdiri. Dengan  segera mereka berkerumun sambil mengacu-acukan senjata mereka.
Sekilas Ki Rangga dan kawan-kawannya segera melihat  bahwa mereka adalah sekumpulan orang-orang padukuhan yang masih lugu, dilihat dari jenis senjata yang mereka bawa. Kebanyakan dari mereka membawa parang pembelah kayu, linggis dan bahkan sabit rumput serta dua orang justru telah membawa cangkul.
Agaknya mereka begitu tergesa-gesa atau bahkan tidak menutup kemungkinan mereka sedang dalam perjalanan  ke sawah atau ke pategalan dan kemudian seseorang telah mempengaruhi mereka.
“Ki Sanak semua,” berkata Ki Waskita kemudian dengan suara sareh sambil maju selangkah, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi, sehingga Ki Sanak semua telah berbondong-bondong menuju ke tempat ini?”
“Tidak usah berpura-pura kakek tua!” geram seorang yang berperawakan tegap dan masih cukup muda sambil melangkah ke depan, “Kalian berlima akan kami bawa ke banjar padukuhan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian.”
“Sebentar Ki Sanak,” berkata Ki Waskita tetap dengan nada yang sareh, “Perbuatan apakah yang harus kami pertanggung-jawabkan?”
“Kalian telah membunuh orang itu!” bentak orang bertubuh kekar itu sambil menunjuk orang yang duduk di bawah pohon dan telah menjadi mayat.
“Kalian salah sangka,” jawab Ki Waskita, “Kami berlima justru terheran-heran mendapatkan orang itu telah menjadi mayat.”
“Bohong!” kembali orang berperawakan tegap itu membentak, “Ada seseorang yang telah memberitahu kami bahwa kalian lah yang telah membunuh orang itu.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya sejenak. Katanya kemudian, “Siapakah diantara kalian yang melihat kami telah membunuh orang itu?”
Serentak orang-orang yang berkerumun itu saling pandang sambil mencoba mengenali orang-orang yang berada di dekat mereka. Agaknya mereka sedang mencari seseorang diantara mereka.
“Dimana dia?” geram orang berperawakan tegap itu sambil menebarkan pandangannya ke sekeliling.
“Ya, mana orang tadi?” seseorang yang lain telah menyahut.
“Siapa?” yang lain justru balik bertanya
“Orang yang memberitahu  kita bahwa di bulak telah terjadi  rajapati,” sahut yang lain.
Segera saja terdengar suara bergeremang di antara mereka. Ternyata orang yang sedang mereka cari  itu  justru tidak ada di antara mereka.
“Gila!” kembali orang tegap itu menggeram, “Kemana perginya orang itu, he? Dia harus bertanggung jawab atas semua kejadian ini.”
“Maaf Ki Sanak,” kali ini Ki Rangga yang berkata, “Sesungguhnya kami berlima  bermaksud untuk menanyakan sesuatu kepada orang itu. Namun kami menjadi curiga begitu orang itu sama sekali tidak menjawab bahkan terlihat tidak bergerak sama sekali,” Ki Rangga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Kami menyangka orang itu sedang mengalami kesulitan atau menderita sakit. Maka kami memberanikan diri untuk mendekat dan memeriksanya. Ternyata orang itu telah meninggal.”
Beberapa orang tampak menarik nafas sambil mengangguk-angguk. Sedangkan orang berperawakan tegap itu masih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bertanya orang itu kemudian dengan nada yang mulai menurun, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak berlima ini?”
“Kami dari Prambanan dan sedang dalam perjalanan menuju ke tanah Perdikan Matesih,” jawab Ki Waskita, “Kami sangat jarang melakukan perjalanan jauh. Sehingga kami sering berhenti di suatu tempat dan menanyakan kembali arah perjalanan kami untuk meyakinkan bahwa kami tidak tersesat.”
Orang bertubuh tegap itu tampak ragu-ragu. Namun sebelum dia bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar langkah-langkah beberapa orang yang sedang berlari-larian menuju ke tempat itu Sejenak kemudian beberapa orang tampak muncul dari regol padukuhan.
“Ki Jagabaya!” hampir setiap mulut menyebut nama itu kecuali Ki Rangga dan kawan-kawannya.
Memang yang datang itu adalah Ki Jagabaya, perangkat padukuhan Klangon yang bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan padukuhan.
“Ada apa Ki Senggi?” bertanya Ki Jagabaya sesampainya dia di hadapan orang yang bertubuh tegap itu.
“Maaf Ki Jagabaya, kita sedang mengusut sebuah rajapati yang baru saja terjadi di bulak ini,” jawab orang bertubuh tegap itu yang ternyata bernama Ki Senggi.
Sejenak Ki Jagabaya mengerutkan keningnya sambil mengedarkan pandangan matanya ke wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Katanya kemudian, “Aku baru saja diberi tahu tentang rajapati ini. Nah, di mana jasad orang itu? Aku ingin melihatnya.”
Segera saja kerumunan itu menyibak dan memberi jalan Ki Jagabaya. Dengan langkah lebar Ki Jagabaya pun kemudian mendekati jasad orang yang masih terlihat duduk di bawah pohon itu.
Sambil membungkuk Ki Jagabaya mencoba membuka caping itu. Sejenak kerut merut yang dalam terlihat menghiasi kening Ki Jagabaya.
“Sebuah paser,” desis Ki Jagabaya perlahan sambil mengamat-amati sebuah paser yang menancap dalam-dalam di leher orang itu, “Tentu sebuah paser yang sangat beracun.”
Beberapa orang yang mendengar desis Ki Jagabaya itu mencoba mendekat. Dengan berdesak-desakan mereka mencoba melihat keadaan orang itu.
“Sudahlah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menegakkan tubuhnya dan berbalik, “Angkat jasad ini dan bawa ke banjar padukuhan. Kita harus segera menyelenggarakan pemakaman baginya sebelum hujan turun.”
Mendengar kalimat terakhir Ki Jagabaya, serentak mereka yang hadir mendongakkan kepala mereka ke langit. Mendung sudah sedemikian tebalnya serta angin yang bertiup keras terasa telah membawa titik-titik air.
“Bagaimana dengan Ki Sanak berlima ini, Ki Jagabaya?” bertanya Ki Senggi begitu melihat Ki Jagabaya tampak memperhatikan Ki Rangga dan kawan-kawannya yang berdiri termangu-mangu sambil memegang kendali kuda masing-masing.
Ki Jagabaya berpaling sekilas mendengar pertanyaan Ki Senggi. Bertanya Ki Jagabaya kemudian, “Siapakah mereka?”
“Maaf Ki Jagabaya,” Ki Waskita lah yang mendahului menjawab sambil melangkah mendekat dengan tetap memegangi kendali kudanya, “Kami berlima berasal dari Prambanan dan sedang dalam perjalanan menuju ke Perdikan Matesih,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Beberapa saat tadi kami menemukan orang itu sudah dalam keadaan tidak bernyawa di bawah pohon.”
Ki Jagabaya tidak segera menanggapi kata-kata Ki Waskita. Sepasang matanya yang mirip sepasang mata burung hantu itu menatap tajam ke wajah Ki Waskita.
Agaknya Ki Waskita dapat menjajagi isi hati Ki Jagabaya. Maka katanya kemudian sambil balas menatap mata Ki Jagabaya, “Apakah Ki Jagabaya meragukan keterangan kami?”
Ki Jagabaya terkejut. Sepasang mata Ki Waskita yang balik menatapnya itu bagaikan menyala dan telah membuat sepasang matanya menjadi pedas bahkan mulai berair.
“Gila!” geram Ki Jagabaya dalam hati sambil melemparkan pandangan matanya ke arah Ki Senggi. Katanya kemudian, “Ada hubungan apakah mereka berlima dengan peristiwa rajapati ini?”
Ki Senggi beringsut setapak. Jawabnya kemudian, “Seseorang telah memberitahukan kepada kami bahwa mereka berlima itulah pembunuh yang sebenarnya.”
Untuk ke sekian kalinya Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Di mana orang itu sekarang?”
“Dia tidak ada di sini, Ki Jagabaya.”
Merah padam wajah Ki Jagabaya. Katanya kemudian dengan suara sedikit keras, “Panggil orang itu ke sini sekarang juga!”
“Aku tidak mengenalnya, Ki Jagabaya.”
“He?” seru Ki Jagabaya keheranan, “Bagaimana mungkin? Bukankah Ki Senggi mengenal hampir semua penghuni padukuhan Klangon ini?”
“Ya, Ki Jagabaya,” jawab Ki Senggi cepat, “Namun kami tidak sempat menanyakan jati diri orang itu, karena berita rajapati itu telah mengejutkan kami.”
“Ki Senggi benar Ki Jagabaya,” sahut yang lain, “Pada saat kami akan berangkat ke sawah, di tengah perjalanan seseorang telah memberitahu kami tentang rajapati ini.”
“Dan tidak ada seorang pun dari kalian yang mengenal orang itu?’ sela Ki Jagabaya cepat.
Hampir bersamaan orang-orang padukuhan Klangon yang hadir di tempat itu menggeleng.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil menatap satu-satu wajah yang tertunduk itu Ki Jagabaya pun kemudian bertanya, “Atas dasar apa kalian seenaknya saja menuduh Ki Sanak berlima ini sebagai pelakunya?”
Wajah-wajah lugu penghuni padukuhan Klangon itupun semakin tertunduk dalam-dalam.
“Untunglah seseorang telah memberitahu aku tentang peristiwa di depan regol padukuhan ini, sehingga kesalah-pahaman ini dapat dihindarkan,” berkata Ki Jabagaya kemudian setelah sejenak mereka terdiam. Lanjut Ki Jagabaya kemudian, “Marilah kita segera menyelenggarakan jasad orang itu. Siapapun dia sebenarnya, karena dia telah meninggal di padukuhan Klangon, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelenggarakan pemakamannya.”
Setiap kepala yang hadir di tempat itu pun tampak terangguk-angguk.
Kemudian kepada Ki Rangga dan kawan-kawannya, Ki Jagabaya berkata, “Marilah Ki Sanak, kami persilahkan Ki Sanak berlima untuk sekedar mampir di padukuhan Klangon. Kalian dapat bermalam di banjar padukuhan karena sebentar lagi kelihatannya hujan akan turun, dan sebaiknya Ki Sanak mencari tempat berteduh.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya saling pandang. Segera saja mereka memaklumi ajakan Ki Jagabaya itu. Walaupun tidak secara langsung orang yang bertanggung jawab atas keamanan padukuhan Klangon itu mencurigai mereka, namun ajakan untuk bermalam di padukuhan Klangon itu perlu diwaspadai. Secara tidak langsung ajakan itu mengisyaratkan bahwa Ki Rangga berlima masih dalam pengawasan atas peristiwa rajapati itu.
“Terima kasih Ki Jagabaya,” akhirnya Ki Waskita lah yang menjawab mewakili yang lain, “Kami sangat bersyukur mendapat tempat bermalam di padukuhan Klangon. Semoga kehadiran kami tidak merepotkan para penghuni padukuhan.”
“O, tidak..tidak,” jawab Ki Jagabaya dengan serta merta, “Marilah kita berangkat sebelum hujan benar-benar turun,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah kami dapat meminjam salah satu kuda kalian untuk membawa jasad orang itu?”
“O, tentu..tentu,” dengan tergopoh-gopoh Ki Waskita segera menyerahkan kendali kudanya, “Kami akan berjalan kaki bersama-sama kalian ke banjar padukuhan.”
“Terima kasih,” jawab Ki Jagabaya sambil menerima kendali kuda.
Sejenak kemudian, salah satu penghuni padukuhan Klangon segera menaikkan jasad itu ke atas punggung kuda Ki Waskita. Setelah menerima kendali kuda dari Ki Jagabaya, dengan perlahan kuda itu pun dihelanya maju. Sementara dua orang menjaga di kiri kanan jasad yang terlelungkup di atas punggung kuda itu.
Demikianlah iring-iringan itu pun segera bergerak menuju ke banjar padukuhan Klangon. Sepanjang jalan hampir tidak ada seorang pun yang berbicara. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angan mereka sendiri-sendiri. Sementara di langit sesekali terdengar petir bersabung disertai dengan air hujan yang mulai turun menetes satu persatu.
Rombongan itu segera mempercepat langkah mereka. Ketika titik-titik hujan mulai terasa semakin deras, beberapa orang bahkan telah mulai berlari-lari kecil.
Untunglah banjar padukuhan itu sudah mulai terlihat di ujung kelokan jalan. Begitu mereka mencapai pendapa banjar padukuhan, jasad itu segera diangkat dan kemudian diletakkan di tengah-tengah pendapa. Sejenak kemudian, hujan pun turun bagaikan dicurahkan dari langit.
“Marilah Ki Sanak sekalian,” berkata Ki Jagabaya kemudian kepada Ki Waskita, “Biarlah kuda-kuda kalian dirawat oleh penjaga banjar ini,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah kalian sudah mengambil perbekalan masing-masing?”
“Sudah Ki Jagabaya,” jawab Ki Waskita sambil menunjukkan buntalan pakaian di tangan kirinya diikuti oleh yang lainnya, “Jika diijinkan kami akan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum berganti pakaian.”
“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jagabaya cepat, “Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kalian dapat beristirahat di ruang dalam banjar. Aku akan mempersiapkan pemakaman jenazah sambil menunggu hujan reda.”
Demikianlah kelima orang itu segera memasuki banjar padukuhan Klangon. Seorang yang berpakaian serba hitam dengan rambut yang sudah mulai memutih telah menunjukkan ruang dalam tempat mereka untuk beristirahat.
Untuk beberapa saat mereka masih menunggu hujan agak mereda untuk pergi ke pakiwan secara bergantian. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Rangga untuk membicarakan rencana mereka selanjutnya.
“Kelihatannya sekarang ini kita diterima sebagai tamu,” berkata Ki Rangga memulai pembicaraan, “Namun aku merasa kita selalu diawasi sehingga kita ini seperti menjadi tawanan saja.”
“Angger benar,” sahut Ki Waskita, “Aku tadi sempat melihat beberapa pengawal padukuhan Klangon telah berdatangan bersamaan dengan turunnya hujan.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah Glagah Putih. Agaknya Glagah Putih pun tanggap dengan maksud kakak sepupunya itu. Maka katanya kemudian sambil bangkit berdiri, “Aku akan melihatnya kakang.”
“Berhati-hatilah,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Jayaraga berpesan.
“Ya Guru,” jawab Glagah Putih sambil melangkah ke pintu.
Begitu bayangan Glagah Putih hilang di balik pintu, Ki Rangga pun segera meneruskan kata-katanya.
“Malam ini kita akan membagi tugas untuk menyelidiki padukuhan ini,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kita ingin mengetahui, sejauh mana padukuhan ini telah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”
“Kemungkinan itu memang ada. Ngger,” berkata Ki Waskita menanggapi, “Terbukti salah satu petugas sandi Mataram telah menjadi korban.”
“Agaknya mereka juga senang bermain-main dengan racun,” Ki Jayaraga memberikan pendapatnya.
Sejenak Ki Rangga terdiam. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki Bango Lamatan yang terlihat hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Apakah Ki Bango Lamatan mempunyai sebuah gagasan?,” tiba-tiba Ki Rangga mengajukan sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunan Ki Bango Lamatan.
Untuk sejenak Ki Bango Lamatan masih menarik nafas dalam sambil menegakkan punggungnya. Jawabnya kemudian, “Ki Rangga, kedudukanku dalam kelompok ini hanyalah sebagai pelengkap. Aku dititipkan oleh Pangeran Pati atas persetujuan KI Patih Mandaraka. Sehingga apapun rencana Ki Rangga, aku akan mengikutinya.”
“Ah,” desah Ki Rangga sambil tertawa pendek, “Aku ditunjuk sebagai pemimpin kelompok ini bukan berarti aku mempunyai kekuasan mutlak untuk menjalankan rencana sesuai dengan hasil pemikiranku sendiri. Setiap anggota di dalam kelompok ini berhak untuk mengajukan pendapatnya.”
“Ki Rangga benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Setiap orang dalam kelompok ini dapat mengusulkan sebuah rencana yang disesuaikan dengan keadaan. Rencana manakah yang akan kita pakai nantinya, tergantung dari hasil kesepakatan kita.”
Semua yang hadir di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka tak terkecuali Ki Bango Lamatan.
Pembicaraan itu terhenti ketika terdengar pintu berderit dan Glagah Putih muncul dari balik pintu. Sementara hujan di luar kelihatannya sudah mulai mereda. Bunyi air hujan yang memukul-mukul atap banjar padukuhan sudah tidak sekeras dan sesering seperti beberapa saat tadi.
“Masuklah,” berkata Ki Rangga begitu melihat adik sepupunya itu masih termangu-mangu di tengah-tengah pintu, “Apakah engkau melihat sesuatu yang perlu mendapat perhatian?”
“Jenazah itu akan diberangkatkan,” jawab Glagah Putih sambil melangkah mendekat dan kemudian duduk di sebelah gurunya, “Banjar ini rasa-rasanya telah terkepung dari segala penjuru. Aku melihat banyak pengawal yang berjaga-jaga di seputar banjar.”
“Apakah tidak sebaiknya kita ikut mengantarkan jenazah itu, ngger?” sela Ki Waskita sambil berpaling ke arah Ki Rangga.
Sejenak Ki Rangga termenung. Namun jawabnya kemudian, “Aku kira tidak perlu Ki Waskita. Kita tidak usah menunjukkan kedekatan kita dengan orang yang sudah meninggal itu. Sebaiknya kita tetap di banjar ini.”
Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk.
Untuk sejenak mereka yang berada di dalam ruang itu terdiam. Sementara bunyi titik-titik air hujan yang menimpa atap banjar padukuhan sudah tidak terdengar lagi. Berkata Ki Rangga kemudian, “Nah, hujan sudah benar-benar reda. Siapakah yang akan ke pakiwan terlebih dahulu?”
Tanpa menunggu jawaban yang lainnya, ternyata Glagah Putih telah berdiri kembali. Sambil melangkah ke pintu dia berkata, “Aku akan menimba air terlebih dahulu. Silahkan jika ada yang akan membersihkan diri.”
“Benar-benar anak yang baik,” sahut Ki Jayaraga yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya.
Demikianlah ketika Glagah Putih kemudian membuka pintu butulan dan turun ke halaman belakang, secara tidak mencolok tampak beberapa pengawal duduk-duduk bergerombol di teritisan sebelah kiri sambil bersenda-gurau. Di hadapan mereka tampak beberapa mangkuk minuman panas dan penganan.
Glagah Putih pura-pura tidak memperhatikan mereka. Diayunkan langkahnya menuju ke perigi. Setelah melepas tali senggot yang diikatkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di sebelah perigi, sejenak kemudian Glagah Putih pun telah tenggelam dalam keasyikannya menimba air.
Dalam pada itu, di pendapa banjar padukuhan jenazah petugas sandi Mataram itu telah diberangkatkan. Beberapa orang penghuni padukuhan Klangon tampak ikut mengantar jenazah itu ke tanah pekuburan bersama dengan beberapa pengawal padukuhan. Selain pengawal padukuhan Klangon, Ki Jagabaya pun tampak ikut berjalan di antara mereka.
Tiba-tiba seseorang yang rambutnya sudah putih semua dengan memakai ikat kepala yang agak rendah tanpa menarik perhatian telah berjalan menjajari langkah Ki Jagabaya.
“Ki Jagabaya,” bisik orang itu, “Apakah benar ada lima orang yang bermalam di banjar sekarang ini?”
Ki Jagabaya terkejut. Dengan cepat dia segera berpaling. Sejenak Ki Jagabaya ragu-ragu, dia hampir tidak mengenali orang itu. Namun ketika orang itu kemudian tersenyum ke arahnya, barulah Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam.
“Benar Ki Gede,” jawab Ki Jagabaya kemudian juga dengan berbisik sambil mengiringi langkah orang yang dipanggilnya Ki Gede itu.
Orang yang dipanggil Ki Gede itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang ke titik-titik di kejauhan dia berdesis, “Usahakan untuk mengetahui jati diri mereka. Agaknya mereka itu orang-orang yang sedang menyamar. Tidak menutup kemungkinan mereka adalah para petugas sandi Mataram. Aku memerlukan datang ke sini untuk bisa bertemu dengan mereka. Mudah-mudahan dugaanku ini tidak keliru, namun jangan sampai menimbulkan kesan kepada para pengikut Raden Mas Harya Surengpati yang banyak tersebar di padukuhan ini.”
“Akan aku usahakan, Ki Gede,” sahut Ki Jagabaya, “Namun aku tidak yakin jika mereka itu para petugas sandi Mataram yang sedang menyamar. Jika mereka adalah para prajurit sandi Mataram, beberapa di antaranya sudah terlalu tua untuk disebut sebagai seorang prajurit.”
Orang yang dipanggil Ki Gede itu tertawa pendek sehingga orang-orang yang berjalan di depannya telah berpaling sekilas. Namun Ki Gede tidak mempedulikan mereka. Lanjutnya kemudian, “Mungkin yang tua-tua itu adalah para prajurit yang sudah purna namun tenaganya masih dibutuhkan sehingga tidak menutup kemungkinan mereka diperbantukan dalam tugas rahasia ini,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah para penghuni padukuhan Klangon ini ada yang dapat mengenali aku?”.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekitarnya, dengan nada sedikit ragu dia menjawab, “Sejauh ini belum ada yang mengenali dan memperhatikan Ki Gede. Dalam pakaian yang sangat sederhana ini, kemungkinannya sangat kecil untuk mengenal Ki Gede. Kecuali orang-orang terdekat yang sudah terbiasa bergaul dengan Ki Gede.”
Orang yang dipanggil Ki Gede itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Ki Jagabaya. Dalam hati dia membenarkan pendapat Ki Jagabaya itu. Betapapun sempurnanya dia melakukan penyamaran, namun orang-orang terdekatnya terutama istri dan kedua anaknya tentu dapat mengenali dari bentuk tubuh, gerak-gerik serta hal-hal lain yang tidak pernah terbaca oleh orang lain kecuali hanya keluarga terdekatnya saja.
Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang kelima orang asing itu. Sementara langkah-langkah mereka telah semakin mendekati tanah pekuburan.
“Usahakan mereka tidak keluar dari banjar malam ini,” berkata Ki Gede kemudian ketika iring-iringan jenazah itu sudah memasuki gerbang tanah pekuburan, “Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui mereka. Aku sudah muak dengan segala tingkah polah para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Ki Jagabaya yang berjalan di samping Ki Gede tampak mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Bagaimana jika dugaan Ki Gede justru sebaliknya? Mereka ternyata justru utusan Raden Wirasena yang selama ini belum pernah kita lihat? Atau bahkan tidak menutup kemungkinan justru salah satu dari mereka itu adalah Raden Wirasena sendiri.”
Berdesir jantung Ki Gede. Kemungkinan itu memang ada. Dan jika kemungkinan itulah yang akan terjadi, tentu lehernya sendiri yang akan menjadi taruhannya.
Untuk beberapa saat kedua orang itu kembali terdiam sambil berjalan di antara sela-sela batu nisan. Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti di depan liang lahat yang telah disediakan, kedua orang itu pun segera menepi dan berdiri di bawah sebatang pohon Kamboja.
“Apakah kita akan mendekat, Ki Gede?” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Gede yang berdiri di sebelahnya.
“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “Aku khawatir jika terlalu dekat dengan mereka, mungkin salah satu dari mereka akan ada yang mengenaliku.”
Ki Jagabaya tersenyum. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan tadi, penyamaran Ki Gede cukup sempurna. Namun jika Ki Gede berbicara, tentu orang akan dapat mengenali Ki Gede dari suara itu.”
Ki Gede tersenyum, betapapun masamnya. Katanya kemudian, “Untuk itulah kita tidak perlu mendekat. Jika seseorang kemudian bertanya sesuatu kepadaku, walaupun tanpa kesengajaan dan maksud tertentu, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk menyembunyikan suaraku yang asli.”
Ki Jagabaya kembali tersenyum. Sambil melemparkan pandangan matanya ke arah kerumunan orang di seputar liang lahat itu, dia kemudian bergumam perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Siapakah sebenarnya orang itu? Dia mati tanpa meninggalkan ciri-ciri yang dapat dijadikan sebagai pancadan untuk menelusuri jati dirinya.”
Ki Gede yang mendengar gumam Ki Jagabaya telah menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Tentu bukan pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku justru cenderung menduga dia adalah salah satu dari petugas sandi yang telah disebar oleh Mataram. Kemungkinannya orang itu ada hubungannya dengan kedatangan kelima orang yang sekarang berada di banjar.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar dugaan Ki Gede. Namun semua dugaan itu masih harus dibuktikan.
Demikianlah ketika liang lahat itu telah selesai ditimbun tanah dan seseorang yang dianggap sesepuh padukuhan Klangon telah selesai memanjatkan doa, orang-orang yang hadir di tanah pekuburan itu pun segera membubarkan diri.
 “Marilah Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Sebaiknya kita ikut meninggalkan tempat ini.”
Ki Gede mengangguk sambil melangkahkan kakinya. Ketika pandangan matanya melihat beberapa pengawal padukuhan yang berjalan beriringan sambil bersenda gurau, Ki Gede pun segera membisikkan sebuah pertanyaan kepada Ki Jagabaya.
“Mengapa begitu banyak pengawal yang datang melayat? Aku tadi juga sempat melihat banyak pengawal yang bersiaga di banjar padukuhan. Apakah ini ada hubungannya dengan kedatangan kelima orang itu?”
Ki Jagabaya menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu, Ki Gede. Mungkin Ki Dukuh telah mendapat laporan dan menyuruh para pengawal padukuhan untuk bersiaga.”
Ki Gede menarik nafas panjang. Bertanya Ki Gede kemudian, “Apakah Ki Dukuh Klangon masih sering mengadakan hubungan dengan pengikut Trah Sekar Seda Lepen?”
K Jagabaya mengangguk sambil berdesis, “Orang yang mengaku bernama Raden Mas Harya Surengpati itulah yang sering mengunjungi Ki Dukuh dan kemudian membuat hubungan kerja sama dan janji-janji dengan mengatas-namakan kakaknya, Raden Wirasena.”
Ki Gede kembali menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Agaknya Ki Dukuh Klangon telah termakan janji-janji dari Raden Mas Harya Surengpati.”
“Kemungkinannya memang demikian Ki Gede,” sahut Ki Jagabaya.
“Apakah semua perangkat padukuhan telah terpengaruh?” bertanya Ki Gede selanjutnya.
Ki Jagabaya menggeleng, “Aku tidak tahu Ki Gede. Yang jelas aku tetap bersetia kepada Mataram. Namun hal ini tidak aku tunjukkan dengan semata-mata. Aku masih memikirkan keselamatan keluargaku.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertimbangan yang sangat berat adalah permasalahan yang menyangkut keluarga. Bagaimanapun juga jika keluarga terancam keselamatannya, tentu akan berpikir seribu kali untuk menentang pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu.
Tak terasa langkah mereka telah sampai di persimpangan jalan. Kedua orang itu pun kemudian memutuskan untuk segera berpisah.
“Kita bertemu lagi saat sirep uwong,” berkata Ki Gede, “Aku akan berusaha memasuki banjar lewat belakang. Aku akan menunggu di dekat perigi. Lontarkanlah sebuah isyarat jika memang kelima orang itu berada di pihak kita. Namun jika ternyata kelima orang itu justru orang-orangnya Raden Mas Harya Surengpati, aku harus segera menyelamatkan diri.”
“Baik Ki Gede,” jawab Ki Jagabaya.
Demikianlah akhirnya kedua orang itu pun kemudian segera berpisah. Ki Gede dengan langkah yang tergesa-gesa telah mengambil jalur jalan yang lurus untuk meninggalkan tempat itu, sementara dengan langkah satu-satu Ki Jagabaya mengambil jalur jalan yang satunya untuk kembali menuju ke banjar padukuhan.
Dalam pada itu, walaupun hujan telah berhenti, namun di langit masih menyisakan mendung yang bergelayutan. Matahari tidak menampakkan sinarnya sama sekali. Walaupun hari belum menjelang petang, namun suasananya benar-benar sudah seperti menjelang malam.
Di banjar padukuhan, Ki Rangga dan kawan-kawannya telah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Mereka pun kemudian segera berkumpul kembali di ruang dalam, ruang yang diperuntukkan bagi mereka untuk bermalam.
“Sebentar lagi Matahari akan terbenam,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membetulkan letak duduknya, “Selepas makan malam sebaiknya kita menyusun rencana.”
“Ya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku menyarankan sebagian dari kita duduk-duduk saja di pendapa. Siapa tahu Ki Jagabaya berkenan hadir dan menemani kita berbincang.”
“Ya, aku setuju,” sahut Ki Jayaraga, “Sementara sebagian dari kita berbincang di pendapa, yang lainnya melakukan penyelidikan di padukuhan Klangon ini.”
“Tepatnya di sekitar rumah Ki Dukuh Klangon,” dengan serta-merta Glagah Putih mengajukan sebuah usul.
Semua orang menengok ke arah suami Rara Wulan itu. Ki Rangga lah yang kemudian bertanya, “Apa pertimbanganmu Glagah Putih?”
Glagah Putih menggeser duduknya sejengkal. Jawabnya kemudian, “Aku mempunyai dugaan, jika padukuhan ini telah terpengaruh oleh orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen, tentu dimulai dari pemimpinnya , dalam hal ini adalah Ki Dukuh.”
Mereka yang hadir mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju dengan pendapat Glagah Putih kecuali Ki Bango Lamatan. Berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Belum tentu Ki Dukuh telah terpengaruh oleh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Bisa saja Ki Dukuh sedang dalam tekanan dan ancaman orang-orang terdekatnya yang telah terpengaruh terlebih dahulu. Jika hal ini yang terjadi, kita harus melindungi Ki Dukuh.”
Kembali mereka mengangguk-angguk. Berkata Ki Rangga kemudian, “Kedua kemungkinan itu bisa saja terjadi, dan sebaiknya kita memang mengadakan penyelidikan di sekitar rumah Ki Dukuh Klangon.”
“Benar, ngger,” Ki Waskita menambahi, “Namun harus tetap kita usahakan jangan sampai jati diri kita terungkap. Dan yang lebih penting lagi, jangan sampai apa yang terjadi nantinya di padukuhan Klangon ini akan membangunkan perguruan Sapta Dhahana yang selama ini masih belum menyadari akan kehadiran kita.”
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Memang sasaran mereka yang utama adalah memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana dengan orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen. Namun agaknya pengaruh itu sudah cukup meluas sehingga telah sampai di padukuhan Klangon tempat mereka bermalam.
“Marilah,” tiba-tiba Ki Waskita berkata memecah kesunyian, “Matahari sudah terbenam dan sudah terdengar panggilan untuk menunaikan kewajiban kita kepada Yang Maha Agung.”
Hampir bersamaan mereka mengangguk-angguk. Secara bergantian mereka pun kemudian memerlukan pergi ke pakiwan untuk mensucikan diri sebelum menunaikan kewajiban sebagai tanda syukur atas nikmat dan karunia dari Sang Maha Pencipta.
Dalam pada itu Ki Gede yang sedang menyusuri bulak panjang yang menghubungkan padukuhan Klangon dengan Tanah Perdikan Matesih telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang di atas tanggul.
Pada awalnya Ki Gede menduga orang itu hanyalah seorang petani yang sedang melepaskan lelah sehabis membenahi sawahnya. Musim hujan memang telah datang dan agaknya para petani sudah mulai ancang-ancang untuk menggarap sawah mereka kembali.
“Mungkin hanya seorang petani yang kebetulan belum pulang dari sawahnya,” berkata Ki Gede dalam hati sambil memandang bayangan hitam yang berdiri di atas tanggul sebelah kiri beberapa puluh tombak di depan. Matahari memang baru saja terbenam namun karena langit masih menyisakan mendung yang bergelayutan, sehingga suasana pun terlihat cukup gelap.
“Mengapa akhir-akhir ini aku menjadi cepat berprasangka buruk terhadap seseorang.?” bertanya Ki Gede dalam hati sambil terus mengayunkan langkah, “Mungkin kehadiran orang-orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu yang membuatku selalu bercuriga.”
Ketika langkah Ki Gede semakin dekat dengan orang yang berdiri di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun berdentang semakin keras. Orang itu tidak tampak sebagaimana petani biasanya yang memanggul cangkul di pundaknya dan menyelipkan sabit di pinggangnya. Orang itu justru telah berdiri sambil bertolak pinggang dan terlihat dengan sengaja memang sedang menunggu kedatangannya.
“Apa boleh buat,” geram Ki Gede dalam hati sambil meraba pinggangnya. Ketika tangan kanannya menyentuh sebuah keris pusaka turun-temurun kebanggaan Tanah Perdikan Matesih yang terselip di pinggang kanannya, hatinya pun menjadi sedikit tenang.
Dengan langkah satu-satu Ki Gede berjalan terus tanpa meninggalkan kewaspadaan. Malam yang baru saja mulai itu terasa sangat sepi. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam yang mulai memperdengarkan nyanyian dalam irama ajeg. Sementara di langit yang kelam kelelawar dan burung-burung malam mulai beterbangan hilir mudik mencari mangsa.
Semakin dekat jarak Ki Gede dengan orang di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun rasa-rasanya telah berpacu semakin kencang. Betapa pun Ki Gede berusaha menepis syak wasangka di dalam hatinya, namun sikap orang di atas tanggul itu memang terasa sangat mendebarkan.
Ternyata apa yang menjadi dugaan Ki Gede itu benar adanya. Ketika jarak mereka berdua tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan dan tertahan-tahan dari orang yang berdiri di atas tanggul itu. Agaknya itu adalah sebuah isyarat bahwa orang di atas tanggul itu memang sengaja menunggu Ki Gede. Maka Ki Gede pun segera menghentikan langkahnya.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Sudah tidak terdengar lagi suara tawa yang memuakkan itu. Masing-masing terlihat saling menahan diri dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Diam-diam Ki Gede telah menggeser kedudukan keris pusakanya ke depan. Tangan kanannya pun telah menggenggam hulu keris itu, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Suasana benar-benar sangat mencekam. Masing-masing mencoba menilai keadaan, namun tidak ada yang berani mengambil keputusan untuk bergerak terlebih dahulu. Masing-masing hanya menunggu dan menunggu.
Tiba-tiba suasana yang mencekam itu telah dipecahkan kembali oleh suara tawa orang yang berdiri di atas tanggul itu. Suara tawa yang terdengar dalam nada rendah dan berkepanjangan. Benar-benar sebuah tawa yang terdengar sangat memuakkan di telinga Ki Gede.
“Diam!” tiba-tiba Ki Gede yang sudah tidak dapat menahan hatinya itu telah membentak dengan suara yang menggelegar.
Orang di atas tanggul itu tampak terkejut dan segera menghentikan tawanya. Untuk beberapa saat dia hanya dapat berdiri diam termangu-mangu.
“Apakah Ki Gede merasa terganggu?” tiba-tiba orang di atas tanggul itu bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan dalam.
Berdesir dada Ki Gede mendengar pertanyaan itu. Orang itu agaknya telah mengenal dirinya. Jantung Ki Gede pun menjadi semakin berdebaran.
Ki Gede tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengenali bayangan yang berdiri bertolak pinggang di atas tanggul itu. Namun kegelapan yang menyelimuti tempat itu telah menghalangi Ki Gede untuk melihat wajahnya dengan jelas, walaupun Ki Gede telah mengerahkan kemampuannya untuk menajamkan pandangan matanya.
“Bagaimana Ki Gede?” kembali terdengar suara orang di atas tanggul itu, “Mengapa Ki Gede diam saja?” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ki Gede tidak perlu menghunus pusaka kebesaran Tanah Perdikan Matesih. Tidak akan banyak berarti bagiku.”
“Sombong!” sergah Ki Gede dengan serta merta. Namun dalam hati Ki Gede mengakui ketajaman mata orang itu. Maka katanya kemudian sambil melepaskan pegangan pada hulu kerisnya dan menunjuk ke arah orang itu, “Turunlah! Jangan menjadi pengecut yang hanya berani bertempur dari atas tanggul. Jika Ki Sanak tetap bertahan, jangan salahkan aku jika aku akan memaksamu turun dengan caraku.”
“O?” terdengar orang itu kembali tertawa, tawa yang memuakkan, “Tidak ada seorang pun yang dapat memaksa aku untuk turun dari tanggul ini. Ki Gede Matesih pun tidak,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalau Ki Gede tidak percaya, silahkan! Aku berjanji tidak akan menggerakkan tubuhku untuk melawan atau pun menghindar, walaupun hanya ujung ibu jari kakiku.”
Kata-kata itu benar-benar telah membuat darah Ki Gede mendidih. Rasa-rasanya kemarahan Ki Gede telah sampai ke ubun-ubun. Sebuah penghinaan yang luar biasa telah dengan sengaja ditujukan kepada dirinya, penguasa tertinggi Tanah Perdikan Matesih.
Dengan menggeram marah Ki Gede segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan puncak ilmu warisan turun-temurun leluhur Perdikan Matesih. Sebuah ilmu yang bersumber dari perguruan Pandan Alas dari cabang Gunung Kidul. Namun dalam perkembangannya, sepeninggal Ki Demang Sarayudha, murid pertama Ki Ageng Pandan Alas, ilmu cabang Perguruan Ki Pandan Alas itu telah mengalami kemunduran yang cukup memprihatinkan.
Segera saja Ki Gede bergeser ke samping setapak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Disalurkan segala tenaganya yang dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik dari Perguruan Pandan Alas.
Orang di atas tanggul itu terkejut begitu menyadari Ki Gede telah mengungkapkan ilmu pamungkasnya. Namun sebagaimana janji yang telah diucapkan sebelumnya, orang di atas tanggul itu tidak akan menggerakkan tubuhnya untuk melawan atau pun menghindar, walaupun hanya ujung ibu jari kakinya.
Sejenak kemudian terdengar teriakan menggelegar dari Ki Gede. Tubuhnya melesat bagaikan tatit yang meloncat di udara. Tangan kanan yang terjulur lurus itu dengan kekuatan penuh menghantam dada orang yang berdiri di atas tanggul itu.
Akibatnya sangat dahsyat. Tubuh Ki Gede bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Kekuatan yang tersalur pada telapak tangan kanannya membalik membentur dadanya sendiri sehingga tubuhnya terpental ke belakang dan melayang jatuh terjerembab di tanah yang berdebu. Terdengar sebuah keluhan pendek sebelum akhirnya Ki Gede jatuh pingsan.
Sedangkan orang yang berdiri di atas tanggul itu sejenak bagaikan membeku di tempatnya. Walaupun kekuatan aji Cunda Manik itu tidak mampu menggetarkan tubuhnya, namun untuk beberapa saat jalan nafasnya terasa bagaikan telah tersumbat.
“Sayang,” desis orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya, “Aji Cunda Manik ini tinggal kulitnya saja. Seandainya Ki Gede mampu mendalami dan mematangkannya, menghadapi orang yang menyebut dirinya Raden Mas Harya Surengpati itu bukanlah suatu hal yang menakutkan.”
Dengan perlahan orang itu pun kemudian melangkahkan kakinya menuruni tanggul.
“Seandainya Ki Ageng Pandan Alas masih hidup dan beliau sendiri yang melontarkan Aji Cunda Manik ini, aku tidak yakin kalau aku akan mampu bertahan,” gumam orang itu kemudian sambil melangkah ke tempat Ki Gede terbaring.
Sesampainya orang itu di sebelah tubuh Ki Gede, segera saja dia mengambil tempat di sebelah kirinya dan kemudian duduk bersila di atas tanah yang berdebu.
Untuk beberapa saat orang itu masih merenungi tubuh Ki Gede yang terbujur diam. Kemudian dengan perlahan dirabanya pergelangan tangan Ki Gede, kemudian berpindah ke dada dan terakhir orang itu memiringkan tubuh Ki Gede untuk meraba punggungnya.
“Untung hanya pingsan saja,” desis orang itu, “Tidak ada luka dalam. Semoga ini menjadi pelajaran bagi Ki Gede untuk memacu semangatnya dalam mendalami dan menyempurnakan ilmu kebanggaan Perguruan Pandan Alas ini.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, orang itu pun kemudian mulai memijat tengkuk Ki Gede. Sejenak kemudian, terdengar keluhan tertahan yang keluar dari mulut Ki Gede.
“Ki Gede,” desis orang itu perlahan ketika melihat Ki Gede mulai membuka kedua matanya, “Tidak ada yang perlu dirisaukan. Anggap saja apa yang baru saja terjadi ini adalah bentuk dari perkenalan kita.”
Ki Gede yang belum menemukan kesadarannya secara utuh itu tidak menjawab. Pendengaran dan penglihatannya belum pulih dan bekerja sebagaimana biasa. Sementara dadanya terasa nyeri dan tulang-tulang rusuknya bagaikan berpatahan.
“Duduklah Ki Gede,” bisik orang itu sambil membantu menyangga punggung Ki Gede.
Ki Gede masih berusaha memperjelas penglihatan kedua matanya. Dengan mengerjap-kerjapkan kelopak kedua matanya beberapa kali, akhirnya penglihatan Ki Gede pun menjadi semakin terang dan jelas.
Begitu kesadarannya mulai pulih kembali, tanpa sadar Ki Gede telah berpaling. Namun alangkah terkejutnya Ki Gede. Darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun begitu kedua matanya menatap  wajah orang yang berada di sebelah kirinya itu.
Kalau saja Ki Gede tidak menguatkan hatinya, tentu dia sudah berteriak ketakutan melihat raut wajah orang yang berada di sebelahnya itu. Seraut wajah yang rata, tidak tampak adanya sepasang mata, hidung atau pun mulut. Seraut wajah yang benar-benar tampak mengerikan.
Namun Ki Gede bukanlah anak kemarin sore yang ketakutan seperti melihat orang-orangan pengusir burung di sawah. Menurut dugaannya, orang itu pasti menggunakan sejenis topeng tipis dari kulit binatang yang disamak dengan halus sehingga terlihat seperti kulit wajah manusia. Berpikir sampai disitu, dengan mengendapkan hatinya yang sempat bergejolak, Ki Gede pun segera bergerak meraih topeng yang menutupi wajah orang itu.
Namun sebelum tangan Ki Gede sempat meraih wajah orang itu, tiba-tiba saja dirasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga. Tulang-belulangnya pun bagaikan terlepas dari persendian. Bersamaan dengan itu, terasa telapak tangan orang bertopeng itu mengusap tengkuknya.
Sejenak kemudian, Ki Gede merasakan kantuk yang luar biasa beratnya dan tak tertahankan.. Namun sebelum Ki Gede jatuh tertidur, terdengar orang bertopeng itu membisikkan sesuatu di telinganya.
Demikianlah akhirnya, Ki Gede yang telah siuman dari pingsannya itu telah tak sadarkan kembali, namun kali ini Ki Gede merasakan ketenangan yang luar biasa dalam tidurnya.
Ketika Ki Gede kemudian terbangun dari tidur nyenyaknya, dia mendapatkan dirinya sedang terbaring di bawah sebatang pohon di sebelah perigi.
“He?” desis Ki Gede sambil bangkit dan bertelekan pada kedua tangannya, “Di mana aku? Apa sebenarnya yang telah terjadi?”
Perlahan-lahan Ki Gede mencoba merangkai ingatannya kembali. Segera saja ingatan Ki Gede tertuju pada seraut wajah yang mengerikan, wajah yang tampak rata tak berbentuk bagaikan sebuah dinding batu saja.
“Mengapa orang bertopeng itu membawaku kemari?” bertanya Ki Gede dalam hati sambil memperbaiki duduknya, “Orang yang aneh, namun kesaktiannya benar-benar ngedab-edabi,” Ki Gede berhenti berangan-angan sejenak. Kemudian lanjutnya, “Atau aku saja yang terlalu malas untuk mendalami Aji Cunda Manik?”
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja terbesit niat di dalam hati Ki Gede untuk menjalani laku yang sudah ditentukan dalam menyempurnakan puncak ilmunya.
“Namun guru sudah lama meninggal,” kembali Ki Gede berangan-angan, “Aku tidak berani menjalani laku terakhir itu tanpa bimbingan seorang guru.”
Niat yang sudah menggebu-gebu di dalam hatinya itu tiba-tiba saja surut kembali bagaikan sinar sebuah dlupak yang kehabisan minyak.
“Ah, sudahlah,” desah Ki Gede kemudian, “Itu akan aku pikirkan kemudian. Kelihatannya sekarang sudah mendekati waktu sepi uwong. Aku telah berjanji dengan Ki Jagabaya untuk bertemu di banjar.”
Sambil berpegangan pada sebatang pohon sawo kecik di sebelahnya, Ki Gede pun kemudian mencoba untuk bangkit. Diedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya yang menjadi sedikit kotor. Hujan memang telah berhenti sejak sore tadi, namun tanah tempat Ki Gede terbaring masih terasa basah.
“Hem,” desah Ki Gede sambil mengamat-amati lampu dlupak yang disangkutkan di teririsan. Tampak beberapa orang pengawal sedang tidur silang melintang. Bahkan ada yang bersandaran tiang di teritisan itu.
“Banjar padukuhan Klangon,” desis Ki Gede dalam hati dengan jantung yang berdebaran begitu mengenali tempat itu, “Para pengawal itu seharusnya berjaga-jaga, namun mengapa mereka justru telah tertidur?”
Dengan tetap tidak meninggalkan kewaspadaan, ki Gede pun mulai melangkahkan kakinya menuju banjar padukuhan.
“Mereka tidur dalam keadaan tidak sewajarnya,” kembali Ki Gede berkata dalam hati begitu dia sampai di dekat teritisan, “Sebaiknya aku tidak perlu mengusik mereka. Aku akan masuk dan menemui kelima perantau itu.”
Dengan sedikit bergegas Ki Gede pun segera membuka pintu butulan dan melangkahkan kakinya memasuki dapur.
Di dalam dapur itu ternyata tidak ada sebuah dlupak pun yang menyala sehingga suasana benar-benar gelap. Untunglah Ki Gede bukan orang kebanyakan. Dengan mengerahkan kemampuannya untuk mempertajam pandangan matanya, Ki Gede pun tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk melintasi dapur dan menuju ke ruang tengah.
Begitu Ki Gede membuka pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah, sepercik sinar segera saja menyambarnya. Ternyata di ruang tengah itu ada sebuah dlupak yang diletakkan di ajug-ajug. Walaupun sinarnya tidak begitu terang, namun sudah cukup untuk menerangi ruang tengah yang cukup luas itu.
Demikian Ki Gede melangkah memasuki ruang tengah, lamat-lamat dia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap.
“Mereka agaknya di pringgitan,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mengayunkan langkahnya.
Namun tiba-tiba saja sebuah keragu-raguan telah menyelinap di hatinya sehingga ki Gede telah menghentikan langkahnya.
“Bagaimana jika orang bertopeng itu sengaja menjebakku?” pertanyaan itu telah berputar-putar di benak Ki Gede.
Memang sebelum jatuh tertidur beberapa saat tadi, Ki Gede sempat mendengar bisikan orang bertopeng itu di telinganya, “Bergabunglah dengan kelima orang di banjar itu, Ki Gede. Sesungguhnya mereka orang-orang yang dapat dipercaya.”
Pesan singkat itu memang sangat jelas. Namun tidak menutup kemungkinan jika yang terjadi kemudian adalah justru sebaliknya. Mereka adalah para pengikut Trah Sekar Seda Lepen, atau bahkan salah satu dari mereka adalah Raden Wirasena sendiri.

STSD jilid 2 Bagian 2

Namun ketika lamat-lamat Ki Gede mendengar suara tawa Ki Jagabaya, keragu-raguan itu pun segera sirna bagaikan  kabut dini hari yang tertimpa sinar Matahari pagi.
“Agaknya Ki Jagabaya mulai akrab dengan mereka,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Persoalan yang sedang bergolak di Perdikan Matesih harus segera dituntaskan.”
Demikianlah, Ki Gede segera membuang jauh-jauh semua keraguan yang membelit hatinya. Dengan langkah mantap Ki Gede pun menuju ke pringgitan.
Dalam pada itu, ketika malam telah melewati sepi uwong dan hampir mencapai tengah malam, tampak seseorang yang berwajah keras, sekeras batu-batu padas di gerojogan sedang berjalan mendekati pintu gerbang Tanah Perdikan Matesih.
Beberapa pengawal yang sedang berjaga segera berloncatan ke tengah-tengah pintu gerbang begitu melihat bayangan seseorang yang berjalan menuju ke arah mereka.
“Siapa?” bertanya salah seorang pengawal sambil mengamat-amati wajah keras itu di bawah siraman oncor yang tersangkut di pojok atas gerbang.
“Aku,” terdengar suara parau mirip suara burung gagak, “Apakah mata kalian sudah lamur sehingga tidak mengenali aku lagi?”
“O, maafkan kami Ki Lurah,” jawab salah satu pengawal itu sambil memberi isyarat kawan-kawannya untuk memberi jalan, “Sesuai pesan Raden Mas Harya Surengpati, kita diperintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan. Berita terbunuhnya  seseorang yang diduga telik sandi dari Mataram di Dukuh Klangon sore tadi telah sampai kemari.”
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku tadi  sempat singgah di padukuhan Klangon dan telah mendapat laporan dari Ki Dukuh,” Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku akan menghadap Raden Mas Harya Surengpati malam ini.  Ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin aku laporkan.”
Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Ada keinginan untuk menanyakan berita apakah yang dibawa oleh Ki Lurah itu? Namun ternyata pertanyaan itu hanya mereka simpan di dalam hati saja.
“Marilah,” berkata Ki Lurah kemudian begitu melihat para pengawal itu hanya berdiri termangu-mangu. Lanjutnya kemudian sambil melangkah, “Berhati-hatilah terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya Mataram sudah mulai mencium gerakan kita.”
“Baik Ki Lurah,” hampir bersamaan mereka menjawab.
“Apakah Ki Lurah tidak memerlukan kawan?” tiba-tiba salah seorang pengawal itu menyeletuk.
Ki Lurah yang sudah mengayunkan langkahnya itu berhenti sejenak. Sambil memandang wajah pengawal itu Ki Lurah tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku tahu maksudmu. Bukankah  jalan menuju rumah yang ditempati Raden Mas Harya Surengpati ini melewati rumahmu?”
“Ah,” terdengar gelak tawa kawan-kawannya, namun dengan cepat pengawal itu menyahut, “Barangkali Ki Lurah memerlukan kawan untuk berbincang sekalian menjaga segala kemungkinan di perjalanan?”
“Terima kasih, aku dapat menjaga diriku sendiri,” jawab Ki Lurah sambil kembali mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Lurah telah berjalan menyusuri lorong-lorong jalan yang telah sepi.  Ki Lurah harus melewati padukuhan kecil yang merupakan bagian dari Tanah Perdikan Matesih yang luas sebelum memasuki padukuhan induk. Antara padukuhan kecil dengan padukuhan induk itu dihubungkan dengan sebuah bulak yang tidak begitu panjang.
Ketika rumah terakhir telah dilewatinya, kini di hadapan ki Lurah terhampar tanah persawahan yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah persawahan itu tampak jalur jalan yang menjelujur dalam keremangan malam.
Tiba-tiba dada Ki Lurah berdesir tajam. Sebagai orang yang telah kenyang malang-melintang dalam dunia kekerasan, hatinya seolah-olah telah menerima isyarat tentang bahaya yang  mungkin sedang menghadang di depannya.
“Persetan!” geram Ki Lurah mengeraskan hatinya, “Aku bukan anak kemarin sore yang baru belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan. Siapa yang tidak mengenal gegedug dari Dukuh Salam? Baru menyebut namanya saja orang-orang sudah mati berdiri.”
Dengan berbekal keyakinan itulah, Ki Lurah pun kemudian meneruskan langkahnya menyusuri jalur jalan yang terlihat sangat sepi dan mendebarkan.
Ketika Ki Lurah baru saja menempuh perjalanan beberapa tombak jauhnya, firasatnya mengatakan bahwa ada seseorang yang sedang mengikuti perjalanannya.
Dengan cepat Ki Lurah berpaling ke belakang. Namun tidak tampak sesuatu pun di belakangnya selain kegelapan malam. Dicobanya mengerahkan kemampuan untuk mempertajam penglihatannya. Namun Ki Lurah benar-benar tidak melihat apapun kecuali hanya kegelapan.
“Gila!” geram ki Lurah sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Mengapa aku sekarang ini menjadi seorang pengecut?”
Dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, Ki Lurah kembali berjalan menyusuri jalur jalan yang terasa sangat ngelangut dan sepi.
Namun baru saja Ki Lurah berjalan lagi beberapa langkah, kali ini pendengaran ki Lurah dikejutkan oleh suara orang terbatuk-batuk beberapa langkah saja di belakangnya.
Bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, Ki Lurah pun terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memutar tubuhnya dan memasang kuda-kuda. Siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun yang terlihat di hadapan Ki Lurah hanyalah kegelapan malam. Tidak tampak sesuatu pun yang mencurigakan sehingga Ki Lurah menjadi ragu-ragu sendiri dengan pendengarannya.
“Hantu?” kata itulah yang kini menyelinap di dalam hati Ki Lurah.
“Ah, tidak mungkin. Seumur hidupku aku belum pernah melihat seekor hantu dan aku memang tidak percaya dengan keberadaan para hantu itu sendiri,” berkata Ki Lurah dalam hati mencoba untuk menenangkan hatinya. Namun Ki Lurah tidak dapat memungkiri bahwa pendengarannya benar-benar telah menangkap suara orang terbatuk-batuk.
Setelah beberapa saat Ki Lurah tidak melihat sesuatu  yang mencurigakan, dengan perlahan-lahan Ki Lurah pun kemudian memutar tubuhnya.
Namun kali ini jantung ki Lurah bagaikan terlepas dari tangkainya. Belum sepenuhnya Ki Lurah memutar tubuhnya, terasa sebuah tangan telah mengusap tengkuknya.
“Iblis!” teriak Ki Lurah sekeras-kerasnya sambil meloncat menjauh. Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, dengan cepat Ki Lurah memutar tubuhnya. Sebuah pedang berukuran cukup besar telah tergenggam di tangan kanannya.
Namun kembali Ki Lurah hanya dapat mengumpat-umpat dengan umpatan yang sangat kotor. Kembali yang terbentang di hadapannya hanyalah kegelapan malam yang sepi.
Kali ini hati Ki Lurah benar-benar tinggal semenir. Betapapun Ki Lurah mencoba menyangkal akan keberadaan segala jenis hantu, gendruwo, ilu-ilu banaspati, engklek-engklek balung atandak dan sebangsanya, namun kenyataan yang dihadapinya sekarang ini benar-benar berada diluar jangkauan nalarnya.
“Tidak mungkin seseorang mampu melakukan ini semua, walaupun orang itu memiliki kesaktian yang tiada taranya. Dia pasti memerlukan waktu yang cukup untuk menghindar dari pandangan mataku,” berkata Ki Lurah dalam hati dengan jantung yang berdentangan. Begitu dahsyatnya suara dentangan itu sehingga dadanya seolah-olah akan meledak.
Untuk beberapa saat Ki Lurah masih menunggu. Dicobanya  menarik nafas dalam-dalam beberapa kali sekedar untuk menurunkan gejolak di dalam dadanya. Namun rasa-rasanya perasaan takut  yang mulai menjalari otaknya telah membuat tubuh ki Lurah menjadi menggigil kedinginan.
Sambil meningkatkan kemampuan panca inderanya, Ki Lurah mencoba membaca segala mantra-mantra yang pernah dipelajarinya. Dulu sewaktu dia berguru pada seseorang yang sakti, yang dianggap menguasai dunia kasar maupun dunia halus, dia telah diajari bagaimana caranya menolak segala jenis makhluk halus yang datang mengganggu.
Sambil meludah tiga kali ke tanah, Ki Lurah pun kemudian menggores-goreskan ujung pedangnya ke tanah yang telah basah oleh ludahnya.
Setan ora doyan demit ora ndulit!” geram Ki Lurah sambil memutar pedangnya dengan deras di atas kepala. Seolah-olah Ki Lurah sudah yakin dengan keberadaan lawannya dan akan segera ditebasnya dengan senjata di tangannya.
Demikianlah dengan teriakan menggelegar, pedang di tangan kanannya bergerak membabat kesana-kemari tanpa arah yang jelas. Ki Lurah yakin dengan demikian jika ada sebangsa makhluk halus yang berada di sekitarnya, mereka akan berlarian tunggang langgang karena takut terkena sabetan pedang yang telah diberinya  mantra.
Namun yang terjadi kemudian justru telah membuat sekujur tubuh Ki Lurah kaku tak mampu bergerak. Jantungnya kini benar-benar berhenti berdetak. Sepasang matanya melotot dengan mulut ternganga lebar-lebar. Wajahnya pucat pasi bagaikan tak dialiri oleh darah setetes  pun.
Memang ketika dengan penuh semangat yang membara Ki Lurah sedang mengayun-ayunkan senjatanya tadi, tiba-tiba saja pedang yang berukuran cukup besar di tangan kanannya itu terlepas begitu saja. Seolah-olah ada kekuatan yang luar biasa kuatnya menarik pedang itu. Dan sebagai gantinya, pedang itu sekarang justru telah bergerak-gerak sendiri dan justru mengancam ke arah dadanya.
Penalaran ki Lurah pun kini benar-benar telah menjadi buram. Perlahan-lahan kesadarannya pun mulai kabur dan pandangan matanya mulai gelap. Namun sebelum Ki Lurah benar-benar jatuh tak sadarkan diri, lamat-lamat dia mendengar sebuah bisikan di telinganya.
“Tidurlah Ki Lurah,”  terdengar bisikan itu sangat dekat sekali di telinga kanannya.
Diantara kesadarannya yang mulai menghilang,  Ki Lurah mencoba mengenali siapa pemilik suara itu dengan memalingkan wajahnya. Namun sekali lagi terasa sebuah tangan mengusap tengkuknya dan segala sesuatunya pun menjadi gelap.
Namun sebelum tubuh Ki Lurah benar-benar terjatuh, tiba-tiba sepasang tangan yang kekar muncul begitu saja dari dalam kegelapan malam dan menahan tubuh yang sudah hampir menyentuh tanah itu. Sejenak kemudian, perlahan-lahan dari dalam kegelapan malam muncul seseorang yang bertubuh tinggi besar sambil sepasang tangannya menahan tubuh Ki Lurah.
“Dengan memutus jalur ini, semoga orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu tidak akan  mendengar berita yang terjadi di padukuhan Klangon,” gumam orang tinggi besar itu perlahan sambil mengangkat tubuh ki Lurah dan kemudian memanggulnya. Sejenak kemudian orang tinggi besar itupun segera meninggalkan tempat itu.
Dengan langkah lebar  namun terlihat  ringan, orang tinggi besar itu segera meloncati parit dan kemudian menyusuri pematang. Batang-batang padi memang belum ditanam karena hujan memang baru turun sore tadi. Namun para petani telah menyiapkan tanah garapan mereka dengan sebaik-baiknya.
Beberapa saat kemudian,  orang itu telah mencapai pematang yang paling ujung dari tanah persawahan yang luas itu. Kini di hadapannya terbentang tebing sebuah sungai yang tidak begitu curam. Dengan sangat cekatan dan terampil orang itu pun kemudian mulai menuruni tebing.
Sesampainya di tepian sungai, ternyata seseorang sedang menunggunya sambil duduk di atas sebuah batu.
“Engkau berhasil Ki Bango Lamatan?” bertanya orang itu sambil bangkit dari duduknya.
“Ya, Ki Gede,” jawab orang itu yang ternyata adalah Ki Bango Lamatan, “Orang ini akan sangat berbahaya jika sampai melaporkan kedatangan kami kepada orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu.”
“Engkau benar Ki,” sahut Ki Gede memandang sesosok tubuh yang menggelantung di pundak Ki Bango Lamatan. Kemudian sambil melangkah mendekat, Ki Gede melanjutkan, “Marilah kita bawa orang ini ke Padukuhan induk Perdikan Matesih. Biarlah dia ditempatkan di salah satu bilik yang ada di gandhok kanan rumahku. Para pengawal akan menjaganya siang dan malam.”
Ki Bango Lamatan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun beberapa saat kemudian kening Ki Bango Lamatan tampak berkerut merut. Bertanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Ki Gede, apakah para perangkat tanah Perdikan Matesih masih bisa dipercaya?”
Ki Gede menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak semuanya bisa dipercaya. Untunglah keluargaku belum terpengaruh oleh rayuan Raden Mas Harya Surengpati. Namun untuk saat ini yang menjadi beban pikiranku justru Ratri, anak perempuanku satu-satunya.”
Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat tadi ketika Ki Gede telah bertemu dengan Ki Rangga dan kawan-kawan di banjar padukuhan Klangon, Ki Gede telah menyebut permasalahan yang sedang dialaminya itu. Salah satunya adalah hubungan yang sedang terjalin antara Ratri dengan Raden Mas Harya Surengpati itu.
“Dunia anak muda memang menggairahkan, apalagi kalau sudah menyangkut masalah asmara,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati. Walaupun Ki Bango Lamatan sendiri semasa mudanya tidak begitu tertarik dengan perempuan, namun di usianya yang sudah mendekati senja, hati Ki Bango Lamatan justru telah tertarik kepada seorang perempuan muda yang sangat cantik.
“Rara Anjani,” desah Ki Bango Lamatan dalam hati menyebut sebuah nama sambil menengadahkan wajahnya. Sekilas dipandanginya angan gelap yang masih bergelantungan di langit. Terbayang di rongga matanya seraut wajah perempuan muda  cantik jelita yang kini telah dipersunting oleh Pangeran Pati.
“Aku memang harus tahu diri,” berkata Ki Bango Lamatan kembali dalam hati, “Tidak sepantasnya aku memendam keinginan gila ini di dalam hatiku. Apa yang diajarkan oleh Ki Ajar Mintaraga beberapa saat yang lalu seharusnya telah mengendapkan hatiku ini dari segala keinginan duniawi.”
Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang, panjang sekali. Kemudian dihembuskannya kuat-kuat melalui kedua lobang hidungnya. Seolah-olah ingin dibuangnya segala keinginan yang ngayawara itu bersama dengan hembusan nafasnya.
“Buwenging bawana gung mung kacekan lepasing wardaya,”  gumam Ki Bango Lamatan dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang wejangan Ki Ajar Mintaraga itu sangat membekas di hatinya. Luasnya dunia ini sesungguhnya masih lebih luas dari  hati sanubari yang tak bertepi.
Sejenak kemudian mereka berdua telah menyusuri tepian sungai yang tidak begitu lebar. Keduanya berjalan sambil berdiam diri. Masing-masing sedang asyik tenggelam dalam dunia angan-angan.
Sambil mengayunkan langkahnya, beberapa kali Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ingatannya kembali ke beberapa saat yang lalu ketika waktu sudah memasuki sirep uwong. Dengan berbekal keyakinan akan pesan singkat yang diterimanya dari orang bertopeng itu, Ki Gede pun tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya memasuki pringgitan.
“Silahkan Ki Gede,” sambut Ki Jagabaya pada saat itu sambil tersenyum dan bangkit berdiri. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun ikut berdiri.
Sejenak kemudian, satu-persatu secara bergantian orang-orang yang hadir di ruangan itu menyalami Ki Gede. Sambutan yang ramah itu terasa menyejukkan hati Ki Gede yang pada awalnya sempat dihinggapi sepercik keragu-raguan.
“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian setelah semuanya kembali duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih bersih, “Sebelumnya aku akan memperkenalkan para sahabat kita dari Prambanan ini.”
Mendengar Ki Jagabaya menyebut Prambanan, tampak kening Ki Gede berkerut merut. Namun segera saja sebuah senyum menghiasi bibirnya begitu Ki Jagabaya meneruskan kata-katanya, “Setidaknya itulah pengakuan mereka, para perantau yang berasal dari daerah sekitar Prambanan.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat saling berpandangan sambil menahan nafas.
“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya, “Di sebelah kanan Ki Gede adalah Ki Waskita, kemudian Ki Sedayu, Ki Jayaraga, dan yang termuda diantara mereka bernama Glagah Putih. Sedangkan yang terakhir adalah Ki Bango Lamatan.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi satu persatu orang-orang yang disebut Ki Jagabaya. Dalam hati Ki Gede mulai menduga-duga. Mungkinkah orang bertopeng yang menemuinya sore tadi itu adalah salah satu dari mereka?
Namun pertanyaan itu masih disimpannya saja di dalam hati. Suatu saat nanti jika waktunya telah  tiba,  segala sesuatunya pasti akan terungkap.
Ketika pandangan mata Ki Gede menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu, sejenak Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Matesih itu mengerutkan keningnya. Ada sebuah kesan tersendiri begitu ki Gede Menatap mata Ki Rangga, sepasang mata yang terlihat sangat meyakinkan, penuh percaya diri namun tidak tersirat sedikit pun sifat adigang, adigung, adiguna.
Sedangkan Ki Rangga yang menyadari dirinya sedang di perhatikan  menjadi berdebar-debar. Apakah Ki Gede mencurigainya? Ki Rangga memang sengaja memperkenalkan dirinya sebagai Ki Sedayu, nama dirinya yang sebenarnya tanpa menyertakan pangkat keprajuritannya.
“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian membuyarkan lamunan Ki Gede, “Para sahabat kita ini bersedia untuk membantu Ki Gede dalam mengatasi permasalahan yang sedang terjadi di Perdikan Matesih.”
Untuk sejenak Ki Gede masih terlihat ragu-ragu. Entah apa yang terlintas di dalam benaknya. Namun akhirnya Ki Gede pun berkata, “Ki Sanak berlima. Aku tidak peduli siapakah Ki sanak berlima ini sebenarnya. Jika Ki sanak berlima ini ternyata adalah para petugas sandi dari Mataram, aku malah bersyukur.  Tanah Perdikan Matesih memang sedang menghadapi sebuah permasalahan yang besar. Aku katakan masalah ini sangat besar karena menyangkut masa depan Tanah Perdikan Matesih ini sendiri,” Ki Gede berhenti sebentar untuk mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Aku menganggap permasalahan ini besar karena jika Mataram telah mengetahui kegiatan di Perdikan Matesih dan dari pihak Mataram kurang mendapatkan keterangan yang memadai, Perdikan Matesih ini akan dianggap sedang mempersiapkan diri dalam sebuah kegiatan makar terhadap Mataram.”
Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perbuatan makar terhadap sebuah pemerintahan yang syah akan dapat mengakibatkan hancurnya masa depan Tanah Perdikan Matesih itu sendiri.
Namun lamunan Ki Gede itu menjadi terputus ketika tiba-tiba saja terdengar Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan di sebelahnya itu bertanya, “Ki Gede, sungai ini sudah mulai menyempit. Apakah tidak sebaiknya kita naik ke tanggul?”
Ki Gede tidak segera menjawab. Diamat-amatinya pohon Lo yang tumbuh di tebing sungai sebelah kiri. Pohon Lo itu tumbuh menjulang tinggi dan terlihat bagaikan raksasa yang sedang berdiri di tengah kegelapan malam.
“Setelah pohon Lo ini,  beberapa puluh langkah lagi sungai akan membelok ke kanan,” jawab Ki Gede kemudian, “Kita akan naik ke atas tanggul setelah melewati kelokan itu.”
Ki Bango Lamatan tampak mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian segera meneruskan langkah mereka.
Demikianlah, setelah melewati sebuah kelokan sungai yang tidak begitu tajam, mereka berdua segera mendaki tanggul sebelah kanan sungai yang cukup landai. Begitu mereka muncul di atas tanggul, beberapa ratus tombak  di hadapan mereka telah terbentang padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih. Dalam kegelapan malam,  tampak padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih itu bagaikan raksasa yang sedang tidur lelap.
“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita berjalan agak melingkar untuk menghindari para peronda. Dalam keadaan seperti ini, kita belum tahu mana yang bisa menjadi kawan dan mana yang justru akan menjadi lawan.”
Ki Bango Lamatan tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.
Dalam pada itu, malam telah mencapai puncaknya. Para peronda di gardu-gardu telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. Sementara itu di banjar padukuhan Klangon, Ki Waskita tampak masih bercakap-cakap dengan Ki Rangga Agung Sedayu di pringgitan. Sedangkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah masuk ke ruang dalam untuk beristirahat.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah meneguk wedang sere yang sudah dingin, “Ki Gede Matesih memang sedang dalam bahaya, bahaya yang mengancam Tanah Perdikannya maupun bahaya yang mengancam keluarganya.”
Sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai pertimbangan sedang hilir-mudik dalam benaknya. Tugas yang diemban mereka berlima dari Ki Patih Mandaraka ternyata tidak sesederhana seperti  yang mereka bayangkan sebelumnya. Walaupun mereka menyadari, tugas menggempur perguruan Sapta Dhahana tentu memerlukan perhitungan yang cermat serta kekuatan yang memadai. Namun ternyata permasalahan itu sudah berkembang sedemikian jauhnya. Pengaruh orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu sudah menyebar sampai di Tanah Perdikan Matesih dan padukuhan-padukuhan sekitarnya.
“Ki Waskita,” akhirnya Ki Rangga membuka suaranya, “Menurut pertimbanganku. Apakah tidak sebaiknya kita langsung saja menghancurkan sumber masalah itu? Sebagaimana yang telah kita pertimbangkan sebelumnya, kita secara diam-diam akan memasuki Perguruan Sapta Dhahana dan kemudian memancing para pemimpinnya untuk berperang tanding. Terutama pemimpin perguruan Sapta Dhahana yang memang merasa mempunyai urusan denganku.”
“Memang demikian sebaiknya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku percaya jika Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan berdua akan mampu menebarkan sirep yang sangat tajam sehingga tidak akan banyak murid-murid perguruan Sapta Dhahana yang akan terlibat,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dengan demikian kita akan berurusan hanya dengan orang-orang yang mempunyai kelebihan. Namun yang menjadi persoalannya sekarang adalah, kita tidak tahu kapan mereka semua akan berkumpul di padepokan Sapta Dhahana, terutama orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu. Seperti yang telah disampaikan oleh Ki Gede Matesih beberapa saat yang lalu, adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu sekarang bertempat tinggal di Perdikan Matesih. Sedangkan Raden Wirasena sendiri menurut keterangan Ki Gede belum pernah menampakkan dirinya sama sekali  sampai saat ini.”
Kembali Ki Rangga termenung. Jika memungkinkan memang sebaiknya mereka menggempur padepokan Sapta Dhahana itu pada saat semua orang yang berkepentingan sedang berkumpul, walaupun dengan demikian kekuatan mereka akan menjadi diluar dugaan.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti saja saran ki Gede Matesih sambil menunggu perkembangan selanjutnya?”
Sejenak ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Memang beberapa saat tadi ketika Ki Gede Matesih dan Ki Jagabaya membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, mereka mengusulkan Ki Rangga dan kawan-kawan sebaiknya bertempat di kediaman Ki Gede saja. Mereka akan mengaku sebagai kerabat Ki Gede dari daerah sekitar Prambanan dan sedang ada keperluan keluarga. Namun dengan demikian secara tidak langsung mereka berlima telah menyatakan diri mereka dan siap berhadapan dengan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.
“Ngger,” jawab Ki Waskita kemudian setelah sejenak menimbang, “Bukankah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah berurusan dengan Angger? Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dia akan mengenal angger dengan baik. Benturan langsung pun tidak dapat dihindarkan dan penyamaran kita akan dengan mudah tersingkap.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyadari itu Ki Waskita. Jika orang yang disebut Eyang Guru itu ada diantara mereka, tentu dengan mudah akan mengenali aku. Selain itu kita tidak akan dapat melaksanakan pesan Ki Patih untuk tidak melibatkan Mataram dalam persoalan ini.”
“Tetapi jika keadaan ternyata telah berkembang diluar perhitungan kita, apa boleh buat,” sahut Ki Waskita.
Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Waskita. Jawabnya kemudian, “Akan tetapi harus ada bukti nyata bahwa mereka telah memberontak terhadap pemerintahan yang sah, yaitu Mataram,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sementara ini Tanah Perdikan Matesih yang diharapkan akan menjadi tumpuan perjuangan mereka, ternyata masih belum menentukan sikap secara terang-terangan. Bahkan kita mendengar sendiri beberapa saat tadi, sewaktu Ki Gede Matesih hadir di sini, dia  telah menyatakan sikapnya untuk tetap setia kepada Mataram.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang persoalannya menjadi semakin rumit. Jika terang-terangan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu sudah melakukan sebuah gerakan yang mengarah pada sebuah pemberontakan, tentu Ki Rangga akan segera mengirim Glagah Putih untuk melaporkan hal itu kepada Ki Patih. Dengan demikian Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh akan dapat menggerakkan pasukan segelar sepapan untuk menumpas pemberontakan itu.
“Trah Sekar Seda Lepen itu baru mulai menanamkan pengaruh mereka,” tanpa sadar Ki Waskita bergumam, “Mereka mencoba mempengaruhi para penghuni Tanah Perdikan Matesih, terutama para perangkatnya. Sedangkan Ki Gede agaknya terlalu sulit untuk dipengaruhi.”
“Untuk itulah Raden Mas Harya Surengpati  mencoba melunakkan hati Ki Gede melalui  putri satu-satunya Ki Gede,” sahut Ki Rangga dengan serta merta.
Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja dada ayah Rudita itu berdesir tajam mendengar Ki Rangga menyebut hubungan yang sedang dijalin oleh Raden Mas Harya Surengpati dengan putri satu-satunya Ki Gede itu.
“Ngger,” akhirnya Ki Waskita berkata setelah gejolak di dalam dadanya mereda, “Aku mempunyai panggraita tentang hubungan kedua orang itu. Panggraitaku mengatakan bahwa orang yang bernama Raden Mas Surengpati itu belum tentu dengan hati yang tulus menjalin hubungan dengan putri Ki Gede. Aku justru mencurigai adanya pamrih tersembunyi di balik semua itu.”
Untuk sejenak Ki Rangga tertegun mendengar kata-kata Ki Waskita. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya, namun Ki Rangga masih berdiam diri dan hanya menyimpannya saja di dalam hati.
Melihat Ki Rangga hanya diam termangu-mangu, Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya kita terima saja saran Ki Gede untuk berkunjung ke kediaman Ki Gede sebagai tamu atau kerabat jauh. Selain kita memang punya rencana tersendiri, kita juga berkewajiban melindungi keluarga Ki Gede jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sebaiknya yang datang berkunjung cukup tiga orang saja. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih.”
“Bagaimana dengan kita berdua?” bertanya Ki Rangga dengan serta merta.
Ki Waskita tidak segera menjawab. Hanya senyumnya saja yang tampak mengembang di bibirnya.
Agaknya Ki Rangga tanggap dengan maksud Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Kita berdua memang tidak perlu menampakkan diri. Dengan demikian jika orang yang disebut Eyang Guru itu sekarang ini sedang berada di Perdikan Matesih, aku akan luput dari pengamatannya.”
“Demikianlah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Sementara itu kita berdua akan mengadakan penyelidikan di sekitar padepokan Sapta Dhahana dan juga rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh Raden Mas Surengpati di Perdikan Matesih.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Namun di dalam hati kecilnya, terasa ada suatu yang kurang pada tempatnya sehubungan dengan rencana yang disampaikan oleh Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, Kita datang ke padukuhan Klangon ini berlima, sedangkan yang akan berkunjung ke kediaman Ki Gede Matesih hanya bertiga. Apa kata Ki Dukuh Klangon nanti jika dia mendapat laporan tentang hal ini?”
“O, masalah itu sudah aku pikirkan, ngger,” jawab Ki Waskita, “Besuk pagi-pagi sekali kita berdua harus sudah meninggalkan tempat ini. Akan ada seseorang yang menjemput kita karena ada keluarga kita di Prambanan yang sedang sakit.”
“Siapakah yang akan menjemput kita berdua besuk pagi-pagi sekali?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga.
Mendapat pertanyaan itu, Ki Waskita kembali tidak menjawab. Hanya senyumnya saja yang kembali menghiasi bibirnya.
Melihat ayah Rudita itu hanya tersenyum ke arahnya, Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Secara samar Ki Rangga dapat meraba maksud Ki Waskita. Tentu dengan mengetrapkan bayangan semu, Ki Waskita akan mempengaruhi para pengawal yang berjaga di gardu depan sehingga mereka berdua akan dapat lolos dari banjar padukuhan Klangon besuk pagi-pagi sekali.
“Jika tidak ada perubahan rencana, Ki Jagabaya akan datang bersama utusan dari Ki Gede Matesih besuk pagi menjelang pasar temawon,” berkata Ki Waskita kemudian membuyarkan lamunan Ki Rangga.
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Marilah, Ki Waskita. Kita bergabung dengan yang lainnya di ruang dalam. Kita perlu menyampaikan rencana kita kepada mereka.”
“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil bangkit berdiri dan kemudian mengikuti Ki Rangga yang telah melangkah meninggalkan pringgitan.
Setibanya mereka berdua di ruang dalam, ternyata ki Jayaraga dan Glagah Putih belum tidur. Mereka berdua tampak sedang berbincang-bincang.
“Silahkan,” berkata Ki Jayaraga sambil menggeser duduknya, “Kita sedang membicarakan sesuatu yang tidak sewajarnya yang ada di ruangan ini.”
“Apakah itu, Ki?” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita bertanya.
Ki Jayaraga tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah dinding sebelah utara, “Lihatlah. Di sudut dinding sebelah utara itu ada sebuah lubang yang kelihatannya memang sengaja dibuat.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Ki Jayaraga. Dengan bergegas keduanya pun segera menghampiri tempat itu. Benar saja, sebuah lubang yang tidak begitu besar agaknya dengan sengaja telah dibuat di sudut dinding sebelah utara itu.
“Lubang ini kelihatannya belum lama dibuat,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati lubang di sudut dinding itu, “Mungkin lubang ini dibuat pada saat kita di pringgitan bersama Ki Gede dan Ki Jagabaya.”
“Dugaanku juga demikian Ki,” sahut Ki Jayaraga yang kemudian juga ikut mendekat dan mengamat-amati lubang itu, “Namun apakah tujuan sebenarnya?”
“Untuk membunuh kita,” jawab Ki Rangga yang membuat semua orang terperanjat. Glagah Putih pun ikut berdiri dan mendekat.
“Ya, untuk membunuh kita atau paling tidak salah satu dari kita,” berkata Ki Rangga selanjutnya begitu melihat orang-orang itu hanya berdiri diam termangu-mangu.
“Paser beracun,” tiba-tiba hampir bersamaan terdengar mereka berdesis perlahan.
“Ya, paser beracun,” berkata Ki Rangga. Kemudian sambil tangannya menunjuk lubang di sudut dinding itu Ki Rangga melanjutkan, “Dari lubang inilah sumpit itu akan dimasukkan. Sementara kita sedang tertidur lelap, sebuah paser beracun akan mematuk dada salah satu dari kita, atau bahkan mungkin orang itu akan meniup sumpitnya berkali-kali untuk menghabisi kita semua.”
“Curang!” geram Glagah Putih, “Ini pasti pekerjaan orang yang telah membunuh petugas sandi kita di bulak siang tadi. Kita harus membuat perhitungan.”
Orang-orang tua yang mendengar Glagah Putih menggeram telah tersenyum. Mereka bisa memaklumi perasaan Glagah Putih. Kematian salah satu petugas sandi dari Mataram itu agaknya telah membuat Glagah Putih waringuten.
“Sebaiknya kita segera tidur,” berkata Ki Rangga sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Kemudian sambil melangkah ke tengah-tengah ruangan dia melanjutkan, “Aku akan berbaring di sisi paling utara. Silahkan yang lainnya menyesuaikan.”
Agaknya orang-orang itu segera memahami maksud Ki Rangga. Mereka sengaja memancing kehadiran orang itu. Maka sejenak kemudian orang-orang itu pun mulai menempatkan diri untuk tidur berjajar-jajar di tengah-tengah ruangan itu. Tidur hanya dengan beralaskan tikar.
Glagah Putih yang tidur di paling ujung berseberangan dengan kakak sepupunya masih sempat menggerutu sebelum membaringkan tubuhnya.
“Orang-orang padukuhan Klangon memang keterlaluan,” geram suami Rara Wulan itu sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain panjang, “Tidak ada amben, tidur hanya beralaskan tikar usang, banyak nyamuknya lagi!”
Mereka yang mendengar gerutu Glagah Putih hanya dapat menahan senyum. Sementara Ki Rangga yang berbaring di sisi paling utara bersebelahan dengan Ki Waskita segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian ruang dalam itu pun segera menjadi sunyi. Yang terdengar kemudian hanyalah suara tarikan nafas yang teratur diselingi oleh suara dengkuran Glagah Putih.
Dalam pada itu malam telah jauh meninggalkan pusatnya. Angin yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Sesekali di langit terdengar petir bersabung di udara. Agaknya hujan  akan turun lagi karena sisa mendung yang bergelayutan di langit terlihat semakin hitam menggumpal.
Ketika tetes-tetes air hujan satu-persatu mulai berjatuhan, sesosok bayangan tampak berjalan mengendap-endap mendekati dinding ruang dalam sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan.
Semua orang yang berada di dalam ruang dalam itu dengan jelas dapat mendengar desir langkah seseorang di balik dinding sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan. Namun ternyata Ki Rangga Agung Sedayu mendengar desir yang lain yang sangat lembut hampir tidak tertangkap oleh pendengaran, walaupun dengan mengetrapkan aji sapta pangrungru sekalipun.
Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Orang kedua yang datang kemudian ini benar-benar luar biasa. Ki Rangga yakin, kemampuan orang ini tentu ngedab-edabi.
“Siapakah orang yang datang kemudian ini?” berkata Ki Rangga dalam hati, “Apakah yang lain juga mendengar desir yang kedua ini?”
Untuk meyakinkan, Ki Rangga segera mengirim aji pameling kepada Ki Waskita yang berbaring di sebelahnya.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga dalam aji pamelingnya, “Apakah Ki Waskita mendengar desir langkah yang lain selain orang yang pertama?”
“Aku tadi juga sempat mendengar sekilas, ngger,” jawab Ki Waskita juga dalam aji pameling, “Namun sekarang desir itu telah menghilang. Aku tidak mampu lagi untuk memantaunya.”
Berdesir tajam dada Ki Rangga mendengar jawaban Ki Waskita. Ternyata dugaannya benar. Orang yang datang kemudian ini mempunyai kemampuan yang ngedab-edabi.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sekilas juga sempat mendengar desir langkah yang lain setelah orang yang pertama ternyata juga telah kehilangan jejak.
“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati, “Aku tidak mampu memantaunya lagi. Semoga Ki Waskita atau Ki Rangga mampu memantau kedatangan orang yang kedua ini. Kalau yang aku dengar tadi adalah benar-benar desir langkah seseorang, alangkah dahsyatnya kemampuan orang itu?”
Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengetrapkan aji pameling kepada muridnya, ternyata Glagah Putih sama sekali tidak mendengar desir langkah yang datang kemudian.
“Yang mana guru?” bertanya Glagah Putih juga dengan aji pameling, “Aku tidak mendengar desir langkah kecuali orang yang sedang bersembunyi di balik dinding itu.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemampuan olah kanuragan muridnya itu memang sudah tinggi, namun jiwanya masih sangat muda. Glagah Putih masih belum mampu menguasai gejolak jiwa mudanya sehingga ketajaman mata hatinya memang masih perlu untuk diasah.
Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi dan mencekam. Orang yang berada di balik dinding itu agaknya sedang mengintip suasana di ruang dalam melalui lubang di sudut dinding itu. Dengan jelas orang-orang yang berada di dalam ruangan itu mendengar sesuatu sedang dimasukkan melalui lubang di sudut dinding itu.
“Orang itu agaknya sedang memasukkan sumpit melalui lubang di sudut dinding itu,” semua orang di dalam ruangan itu berkata dalam hati. Namun mereka tetap berusaha bersikap wajar, sebagaimana sewajarnya orang yang sedang tidur nyenyak.
“Siapakah yang akan menjadi sasaran yang pertama?” hampir setiap dada bertanya-tanya menunggu  paser pertama yang akan meluncur ke arah salah satu dari mereka.
Dalam pada itu Ki Rangga yang sedang memantau keberadaan orang yang datang kemudian itu pada akhirnya ternyata juga telah kehilangan jejak,  walaupun Ki Rangga telah mengetrapkan aji sapta pangrungu setinggi-tingginya.
“Luar biasa,” berkata Ki Rangga dalam hati. Sepercik kegelisahan mulai merayapi jantungnya. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya.
“Siapakah orang kedua itu? Mungkinkah Eyang Guru itu telah mengetahui keberadaanku, atau mungkin Raden Wirasena sendiri, ataukah yang lainnya?” menduga Ki Rangga dengan jantung yang berdebaran.
Tiba-tiba Ki Rangga teringat akan Ki Bango Lamatan yang sedang mengantar Ki Gede pulang ke tanah Perdikan Matesih.
“Mungkin Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Rangga dalam hati. Namun dugaan itu segera ditepisnya sendiri. Jika yang datang itu Ki Bango Lamatan, tentu Ki Rangga tidak akan kehilangan jejak, demikian juga dengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga.
“Walaupun Ki Bango Lamatan mengetrapkan aji halimunannya, pada dasarnya wadagnya masih ada dan tidak menghilang sepenuhnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Dia hanya bersembunyi saja dan aku sudah tahu bagaimana cara memecahkan ilmu itu.”
Namun Ki Rangga tidak berputus asa. Dengan mengetrapkan aji sapta panggraita, Ki Rangga pun mulai meraba alam sekitarnya tidak dengan meningkatkan kemampuan panca inderanya, namun dengan meningkatkan ketajaman mata hatinya.
Demikianlah akhirnya, lambat laun Ki Rangga mulai mampu meraba keberadaan orang kedua itu kembali. Walaupun orang yang datang kemudian itu berusaha mengaburkan keberadaannya dengan cara mengetrapkan ilmu yang mampu menyerap segala bunyi yang berada di sekitarnya. Namun kemampuan ilmu orang itu tidak mampu mengelabuhi ketajaman mata hati Ki Rangga.
Dengan semakin meningkatkan  getar-getar isyarat yang mengalir melalui detak jantungnya, Ki Rangga segera mengetahui keberadaan orang kedua itu. Ternyata orang itu sudah berada hanya beberapa langkah saja di belakang orang yang datang pertama kali. Sementara orang yang sedang memasang sumpitnya itu agaknya tidak menyadari akan kehadiran orang lain yang tepat berada di belakangnya. Dengan asyiknya dia telah memasang sebuah paser beracun di sumpitnya dan siap untuk membidik sasaran yang pertama.
Sejenak kemudian kembali suasana mencekam dirasakan oleh orang-orang yang berada di ruang dalam itu. Seolah-olah mereka sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati saja, namun tidak tahu, siapakah yang akan terlebih dahulu menerima hukuman itu.
Namun ke empat orang yang berada di dalam ruang dalam itu diam-diam menjadi heran. Setelah beberapa saat menunggu, ternyata belum terjadi sesuatu apa pun. Bahkan kini mereka tidak mendengar lagi desah nafas tertahan-tahan dari orang yang bersembunyi di balik dinding itu.
Sedangkan Ki Rangga yang telah berhasil memantau keberadaan orang yang datang kemudian itu menjadi berdebar-debar. Dalam rabaan mata hatinya, orang yang datang kemudian itu ternyata telah menggerakkan kedua tangannya dari arah belakang untuk menyumbat jalan pernafasan orang pertama dengan cara mencekik lehernya.
Hampir saja Ki Rangga terpancing dan meloncat bangun untuk menolong orang yang sedang dalam bahaya itu, namun naluri keprajuritannya telah mencegahnya. Ki Rangga belum tahu pasti, berdiri di pihak manakah orang yang datang kemudian itu.
Tidak ada kesempatan bagi orang yang sedang mengarahkan sumpitnya itu untuk meronta maupun melawan. Cengkeraman itu begitu kuatnya dan datang dengan tiba-tiba sehingga  telah menyumbat jalan nafasnya dan sekaligus mematahkan lehernya.
“Benar-benar iblis!” geram Ki Rangga dalam hati. Panggraitanya masih dapat meraba gerakan orang itu setelah mencekik korbannya. Agaknya orang itu telah bergeser mundur dengan cepat  sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
Ketika tiba-tiba saja terdengar tetes-tetes air hujan yang turun dengan derasnya memukul-mukul atap banjar padukuhan, Ki Rangga pun ternyata telah kehilangan pengamatan atas kepergian orang itu. Perhatian Ki Rangga telah terpecah dengan turunnya hujan yang bagaikan dicurahkan dari langit.
“Orang itu telah pergi,” perlahan Ki Rangga berdesis sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengurai sepasang tangannya yang bersilang di dada. Dengan bertelekan pada kedua tangannya, Ki Rangga pun kemudian bangkit dan duduk bersila.
Yang lain pun segera mengikuti Ki Rangga untuk bangkit dan duduk bersila. Kini mereka berempat telah duduk melingkar di atas tikar yang usang.
“Orang itu seperti nya telah mati tercekik,” berkata Glagah Putih, “Aku sempat mendengar desah nafasnya yang tiba-tiba saja telah terputus. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan orang itu. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya?”
“Benar ngger,” Ki Waskita lah yang kemudian menjawab, “Seseorang yang mempunyai kemampuan linuwih telah membunuhnya. Beberapa saat tadi aku memang telah kehilangan jejak akan keberadaan orang yang datang kemudian itu. Namun di saat dia mencekik orang yang pertama, agaknya dia lupa menyembunyikan suara yang ditimbulkan akibat gesekan tangannya dengan leher orang yang pertama itu. Di saat itulah aku mampu memantau kembali keberadaannya.”
Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Ki Rangga justru telah termenung sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang sedang merisaukan hatinya, namun Ki Rangga merasa enggan untuk mengungkapkannya.
“KI Rangga,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita melihat keadaan orang di balik dinding itu?”
KI Rangga memandang ke arah Ki Waskita untuk meminta pertimbangan. Ketika Ki Waskita kemudian mengangguk, Ki Rangga pun akhirnya menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit dari duduknya. Katanya kemudian, “Marilah kita lihat orang itu. Barangkali kita akan mendapatkan sebuah petunjuk.”
Yang lain pun segera bangkit dan mengikuti langkah Ki Rangga yang telah berjalan terlebih dahulu keluar dari ruang dalam.
Ketika mereka telah keluar lewat pintu butulan yang terdapat di lorong tengah, dengan bergegas mereka pun segera berbelok ke kanan dan memasuki longkangan. Apa yang mereka dapatkan kemudian adalah sangat mengejutkan. Sesosok tubuh tampak meringkuk dengan kepala yang terkulai. Sementara ketika Ki Rangga kemudian membungkuk untuk mencoba mengamati lebih teliti lagi, tampak sebuah paser menancap dalam-dalam di leher mayat itu.
“Mengapa?” pertanyaan itu muncul di benak mereka masing-masing.
“Agaknya orang itu ingin memberikan kesan bahwa orang ini telah mengalami kejadian yang sama dengan petugas sandi Mataram itu, mati karena paser beracun,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menegakkan tubuhnya.
“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita, “Agaknya memang itulah kesan yang ingin ditunjukkan oleh pembunuh orang yang malang ini.”
“Dan sumpit orang itu pun ternyata juga telah lenyap,” seru Glagah Putih agak sedikit keras sambil mencari-cari sumpit yang akan digunakan orang itu, namun Glagah Putih tidak  menemukan apa yang dicarinya.
Hampir berbareng mereka telah menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat kemudian orang-orang itu tampak masih merenungi sesosok mayat yang meringkuk di longkangan itu.
“Ki Rangga,” tiba-tiba suara Ki Jayaraga membuyarkan lamunan mereka, “Apakah langkah kita selanjutnya? Besuk pagi pasti akan terjadi kegemparan lagi karena sekali lagi telah terjadi  rajapati di padukuhan Klangon ini. Dan tempatnya justru di banjar padukuhan, di balik dinding tempat kita menginap.”
Tanpa sadar mereka telah mengangkat kepala dan saling pandang begitu mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Setiap dada yang ada di longkangan itu pun telah berdesir. Tidak menutup kemungkinan tuduhan pembunuhan itu akan kembali diarahkan kepada mereka.
“Apakah tidak sebaiknya kita menyingkir saja, ngger?” bertanya Ki Waskita kemudian kepada Ki Rangga yang terlihat termenung.
Sejenak Ki Rangga menimbang-nimbang. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Ki Waskita, pada awalnya kita akan menerima tawaran ki Gede untuk tinggal di kediamannya dengan dalih kita adalah tamu-tamu yang masih terhitung kerabat jauh dari Prambanan,” Ki Rangga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Kemudian timbul pemikiran untuk memecah kekuatan kita. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih saja yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Matesih. Sedangkan kita berdua seolah-olah pulang kembali ke Prambanan karena suatu kepentingan. Namun ternyata keadaan telah berkembang semakin rumit, dan jika kita menyingkir dari tempat ini, bagaimana dengan keselamatan Ki Gede Matesih dan keluarganya? Para pengikut Trah Sekar Seda Lepen pasti akan menangkap Ki Gede dan keluarganya serta menyandera mereka sebagai alat untuk memaksa kita menyerahkan diri.”
Sejenak mereka menjadi bimbang. Namun di tengah-tengah ketidak-pastian itu, tiba-tiba saja Ki Waskita berdesis perlahan, “Marilah kita singkirkan saja mayat ini jauh-jauh dan jangan sampai ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali hanya kita.”
Bagaikan baru saja tersadar dari sebuah mimpi buruk, Ki Rangga pun segera berkata, “Glagah Putih, angkatlah mayat ini. Mari kita bawa mayat ini  ke hutan kecil di sebelah barat padukuhan Klangon. Kita akan menguburkannya di sana.”
“Baik Kakang,” jawab Glagah Putih sambil bersiap untuk mengangkat mayat yang meringkuk di longkangan itu.
Namun belum sempat Glagah Putih menyentuh mayat itu, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam telah mendengar langkah-langkah yang menuju ke tempat itu.
Segera saja suasana menjadi tegang kembali. Namun agaknya Ki Rangga telah mengenal langkah-langkah itu, maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Sepertinya Ki Bango Lamatan telah selesai mengantar Ki Gede.”
 “Oh,” yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata hati  mereka terlalu tegang dengan adanya peristiwa pembunuhan itu.
Demikianlah sejenak kemudian terdengar langkah itu semakin jelas mendekati bangunan induk banjar padukuhan dari arah samping kiri.
“Kami di sini Ki Bango Lamatan,” desis Ki Rangga perlahan memberi-tahukan keberadaan mereka begitu langkah-langkah itu semakin jelas terdengar.


STSD jilid 2 Bagian 3

Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan dalam gelapnya malam menuju ke pintu butulan samping itu telah tersenyum mendengar bisikan Ki Rangga. Segera saja diayunkan langkahnya menuju ke longkangan.
Namun alangkah terkejutnya Ki Bango Lamatan begitu menyadari ada sesuatu yang aneh sedang terjadi di longkangan itu. Ki Rangga dan yang lainnya tampak sedang mengerumuni seseorang yang sedang meringkuk tak bergerak di dalam longkangan itu.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Rangga.
“Seseorang telah mati di longkangan ini,” jawab Ki Rangga, “Lebih baik segera kita singkirkan saja mayat ini sebelum ada orang yang mengetahuinya.”
“Aku akan mengambil cangkul di dapur dulu,” sela  Glagah Putih kemudian sambil setengah berlari menuju ke ruang tengah melalui pintu butulan.
“Biarlah Glagah Putih aku kawani,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangkat mayat itu di pundaknya.
“Ki Bango Lamatan,” dengan serta merta Ki Rangga mencoba untuk mencegah, “Biar Glagah Putih saja yang membawa mayat ini.”
Ki Bango Lamatan tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Rangga, Glagah Putih biar membawa peralatan saja.”
“Aku ikut,” tiba-tiba saja Ki Jayaraga menyela, “Aku sudah tidak bisa tidur lagi di sisa malam ini.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa sejak tadi panggraitanya telah mengisyaratkan sesuatu, namun Ki Rangga belum mampu menguraikannya.
Melihat kebimbangan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera berbisik, “Apakah angger merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan?”
Sejenak Ki Rangga ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Entahlah Ki Waskita. Mungkin hanya kekhawatiran yang tidak beralasan.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Sebagai orang yang menimba ilmu pada sumber yang sama, Ki Waskita segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada diri Ki Rangga sehubungan dengan ilmu yang sedang di pelajari dan disempurnakannya, aji pengangen-angen. Maka katanya kemudian, “Sebaiknya biarlah Ki Jayaraga saja yang menemani Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih. Aku dan Ki Rangga masih ada urusan yang harus diselesaikan di banjar ini.”
Ki Rangga akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera maklum dengan maksud Ki Waskita.
Demikianlah begitu Glagah Putih telah muncul dengan sebuah cangkul di pundaknya, mereka bertiga pun kemudian dengan penuh kewaspadaan telah menyelinap ke halaman belakang banjar dan kemudian keluar lewat pintu butulan yang terdapat di dinding bagian belakang banjar.
“Para pengawal itu kelihatannya masih tertidur nyenyak,” desis Ki Jayaraga sambil membuka pintu butulan itu.
“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil sedikit membungkuk agar mayat yang dipanggulnya tidak tersangkut pintu butulan yang agak rendah.  Lanjutnya kemudian sambil melangkahi tlundak, “Tadi sewaktu aku mengantar Ki Gede lewat halaman belakang ini, mereka juga tampak tertidur pulas. Ki Gede sempat bercerita kepadaku sewaktu Ki Gede datang ke tempat ini, mereka pun sudah tertidur pulas. Agaknya telah terjadi sesuatu yang tidak wajar pada mereka.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Glagah Putih masih sempat berpaling sekilas ke teritisan tempat para pengawal itu tertidur silang melintang sebelum menutup pintu itu kembali dan kemudian menghilang ditelan kegelapan malam.
Dalam pada itu, hujan deras yang sempat turun  beberapa saat tadi  telah berhenti dan hanya menyisakan titik-titik air hujan yang sesekali masih menetes dari langit. Sepeninggal ketiga orang itu, Ki Waskita dan Ki Rangga pun segera kembali ke dalam banjar.
“Ngger,” berkata ki Waskita kemudian begitu mereka berdua telah duduk bersila kembali di ruang dalam, “Sedari tadi aku merasakan sepertinya ada sebuah kegelisahan yang sedang membebani pikiranmu.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil membetulkan letak duduknya. Jawabnya kemudian dengan setengah berbisik, “Ki Waskita, aku mempunyai firasat, sepertinya  orang itu akan kembali lagi.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Juga sambil berbisik, Ki Waskita pun kemudian bertanya, “Mengapa angger mempunyai dugaan seperti itu?”
“Entahlah Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil menggeleng perlahan, “Namun ada baiknya jika aku mencoba untuk melacak keberadaannya lagi.”
“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Mumpung malam masih panjang. Sebaiknya angger mengetrapkan aji pengangen-angen untuk melacak keberadaan orang itu.”
Untuk sejenak Ki Rangga tertegun. Tanyanya kemudian, “Apakah itu perlu Ki Waskita?”
“Ya ngger,” jawab Ki Waskita mantap, “Dengan demikian angger tidak hanya melacak keberadaan pembunuh itu, namun jika memungkinkan angger sekalian dapat melumpuhkannya.”
Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Mengetrapkan aji pengangen-angen  bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pemusatan nalar dan budi sampai ke titik yang tertinggi. Selain itu, selama Ki Rangga dalam puncak semedinya, raganya akan sangat lemah, selemah selembar daun yang tergeletak di atas tanah.
Agaknya Ki Waskita dapat membaca keragu-raguan Ki Rangga. Maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Jangan khawatir, ngger. Selama engkau dalam puncak samadimu, aku akan menjaga ragamu dengan taruhan nyawaku sendiri.”
Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga segera membaringkan dirinya di atas tikar yang terbentang di tengah-tengah ruangan itu. Kedua tangannya segera bersilang diatas dada. Beberapa saat kemudian, terdengar aliran nafas Ki Rangga semakin lama semakin halus dan pelan. Ki Rangga pun telah memasuki puncak samadinya. Sementara Ki Waskita dengan sabar dan penuh kewaspadaan duduk bersila berjaga di samping Ki Rangga.
Dalam pada itu, begitu hujan reda, seseorang tampak bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon yang rindang. Pohon itu terletak di pinggir jalan menuju banjar padukuhan. Kira-kira diperlukan waktu sepemakan sirih untuk berjalan dari tempat itu sampai ke banjar padukuhan Klangon.
“Semoga saja berita yang aku terima dari Raden Wirasena itu benar,” berkata orang itu dalam hati sambil menegakkan tubuhnya. Ditengadahkan wajahnya untuk melihat langit yang kelam. Lanjutnya kemudian, “Salah satu dari kelima orang yang bermalam di banjar itu adalah Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Untuk beberapa saat orang itu tampak termenung. Dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan yang tampak  hitam kelam tanpa batas.
“Jika apa yang aku dengar selama ini memang benar, tentu orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu pasti mengetahui kehadiranku beberapa saat tadi,” gumam orang itu kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Namun jika apa yang diberitakan orang-orang selama ini ternyata terlalu dilebih-lebihkan, agul-agulnya Mataram itu pasti akan kebingungan mendapatkan orang di balik dinding itu tiba-tiba saja sudah tak bernyawa.”
Sambil mengayunkan langkahnya, tampak bibir orang itu menyunggingkan sebuah senyuman, senyum  yang menandakan kemenangan yang seolah-olah sudah berada di dalam genggaman tangannya.
“Tidak perlu Raden Wirasena sendiri yang turun tangan,” kembali orang itu berangan-angan, “Cukup Ki Kebo Mengo yang akan mrantasi semua penghalang.”
Namun tiba-tiba panggraita  orang yang bernama Ki Kebo Mengo itu merasakan akan kehadiran seseorang di tempat itu.
Dengan segera dia menghentikan langkahnya. Dalam sekejap Ki Kebo Mengo telah memusatkan nalar dan budinya dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Sejenak kemudian, panggraitanya telah menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri melekat pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan hanya beberapa langkah saja dari tempatnya berdiri.
“Keluarlah Ki Sanak,” berkata Ki Kebo Mengo kemudian dengan suara yang berat dan dalam sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Tidak ada gunanya Ki Sanak bersembunyi lagi. Aku tidak pernah mengampuni para pengecut yang beraninya hanya main petak umpet. Aku lebih senang membunuh dari pada berbantah yang tidak ada ujung pangkalnya.”
Namun jantung Ki Kebo Mengo itu bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Bayangan yang melekat pada sebatang pohon itu sama sekali tidak bergerak. Seakan-akan tidak menanggapi apa yang telah dikatakan oleh Ki Kebo Mengo.
“Hem,” geram Ki Kebo Mengo sambil berusaha menajamkan pandangan matanya. Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo menjadi ragu-ragu sendiri dengan pengamatannya.
“Siapa berani mempermainkan Ki Kebo Mengo, he?!” teriak Ki Kebo Mengo dengan suara menggelegar. Untunglah jalan yang menuju ke banjar padukuhan itu keadaannya sangat sepi. Beberapa rumah letaknya  berjauhan serta tempat Ki Kebo Mengo berhenti itu adalah tanah kosong yang membujur sepanjang jalan dan belum didirikan sebuah bangunan pun di atasnya.
Ketika melihat bayangan itu sama sekali tidak bergerak, Ki Kebo Mengo menjadi gusar. Dengan segera diayunkan langkahnya mendekat.
Ketika jarak Ki Kebo Mengo dengan pohon tempat bayangan itu berdiri  tinggal tiga langkah, tiba-tiba bayangan itu hilang begitu saja bagaikan sinar sebuah dlupak yang padam karena tertiup angin kencang.
“Iblis!” teriak Ki Kebo Mengo sambil meloncat ke depan. Tangannya terayun deras menghantam batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu.
Akibatnya adalah sangat dahsyat. Pohon itu memang tetap berdiri tegak, hanya batangnya saja yang tampak bergetar hebat. Namun seluruh daun-daunnya telah rontok dan berguguran jatuh ke tanah bagaikan baru saja dilanda angin puting beliung.
“Aji rog-rog asem,” tiba-tiba terdengar suara perlahan beberapa langkah saja di belakang Ki Kebo Mengo yang sedang asyik menikmati hasil kedahsyatan ilmunya.
Bagaikan disengat seribu kalajengking, Ki Kebo Mengo pun terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memutar tubuhnya. Tampak seseorang yang berperawakan sedang namun tegap telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.
Sejenak Ki Kebo Mengo bagaikan membeku di tempatnya, namun itu hanya sekejap. Sesaat kemudian terdengar tawanya yang berderai-derai memecah kesunyian malam.
“O, alangkah sombongnya,” katanya kemudian disela-sela suara tertawanya, “Seseorang telah dengan deksura mencoba mempermainkan Ki Kebo Mengo. Hanya orang-orang yang mempunyai nyawa rangkap tujuh sajalah, yang berani mempermainkan Ki Kebo Mengo.”
Namun jawaban bayangan itu justru sangat menyakitkan. Berkata bayangan itu kemudian, “Ki Sanak benar, aku memang mempunyai nyawa rangkap tujuh. Namun aku hanya memerlukan satu nyawa saja untuk menangkap orang yang bernama Kebo Mengo.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo dengan muka merah padam, “Jangan hanya bersembunyi di balik bayangan semu, tidak akan ada artinya bagiku. Keluarlah, kita akan bertempur secara jantan.”
Namun jawaban bayangan itu kembali terdengar menyakitkan di telinga Ki Kebo Mengo, “Sudah aku katakan Ki Sanak, aku hanya memerlukan satu nyawa saja untuk menangkap Ki Kebo Mengo, dan inilah yang aku sebut dengan satu nyawaku itu. Aku tidak perlu menghadirkan wadagku untuk sekedar menangkap seekor kerbau!”
“Gila!” kembali Ki Kebo Mengo membentak, “Untuk apa aku melayani sebuah bayangan semu yang tak berarti? Aku tahu Ki Sanak sedang bersembunyi di sekitar tempat ini dan aku akan menemukanmu. Hanya membutuhkan waktu tidak lebih lama dari mijet wohing ranti untuk menemukan persembunyianmu.”
Selesai berkata demikian Ki Kebo Mengo segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan wajahnya. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan Ki Kebo Mengo itu sendiri. Panggraitanya telah menemukan getaran orang yang dicarinya itu berada tidak jauh di hadapannya.
“Hem!” geram Ki Kebo Mengo sambil mengurai kedua tangan dan mengangkat wajahnya. Dipandangi bayangan semu yang berdiri beberapa langkah di hadapannya itu dengan raut wajah yang terheran-heran. Menurut panggraitanya, yang berdiri di hadapannya sekarang ini bukanlah hanya sebuah bayangan semu belaka, namun benar-benar seseorang dalam ujud yang sebenarnya.
“Aneh,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Seumur hidup aku belum pernah menjumpai ilmu sejenis ini. Namun aku yakin, sebenarnya ini hanya sejenis ilmu untuk bersembunyi sebagaimana ilmu halimunan atau sejenisnya. Aku pasti akan dapat menemukan kelemahannya.”
Berpikir sampai disitu, Ki Kebo Mengo segera maju selangkah. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak, kita akan bertempur. Aku tidak peduli lagi berapa nyawa yang akan Ki Sanak pergunakan untuk melawanku. Namun yang jelas, aku telah mengetahui kelemahan ilmumu ini, sebuah ilmu untuk bersembunyi. Di mana pun Ki Sanak bersembunyi, aku pasti akan menemukannya.”
Bayangan itu tampak menarik nafas dalam-dalam. Entah apa yang sedang ada dalam benaknya. Namun yang jelas bayangan itu segera mundur selangkah sambil berkata, “Ki Kebo Mengo, sebenarnya aku bukan orang yang suka dengan keributan. Aku menghadang Ki Kebo Mengo di tempat ini hanya untuk menuntut pertanggung-jawaban Ki Kebo Mengo atas rajapati yang baru saja terjadi.”
Terkejut Ki Kebo Mengo mendengar ucapan bayangan itu. Sebenarnya bukan kebiasaan Ki Kebo Mengo untuk berlama-lama berbantah. Dia tidak peduli siapa orang yang akan dibunuhnya dan atas dasar apa dia melakukan pembunuhan itu. Baginya membunuh itu memang sudah menjadi kebiasaan dan kadang cukup menyenangkan. Namun bayangan itu telah menyebut rajapati yang baru saja terjadi. Dengan demikian Ki Kebo Mengo dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa yang sekarang berdiri di hadapannya itu, apapun bentuknya tentulah salah satu dari orang yang sedang bermalam di banjar padukuhan Klangon.
Maka dengan suara berat dan dalam, Ki Kebo Mengo pun kemudian berdesis, “Apakah aku sedang berhadapan dengan agul-agulnya Mataram Ki Rangga Agung Sedayu?”
Bayangan itu sejenak termangu-mangu. Ada sedikit keseganan untuk menyebut namanya. Justru karena dia selalu berusaha menghindari kesan  yang  berlebihan jika seseorang mengetahui jati dirinya.
Namun akhirnya bayangan itu tampak menganggukkan kepalanya.
Berdesir dada Ki Kebo Mengo begitu menyadari sekarang ini dia sedang berhadapan dengan agul agulnya Mataram, walaupun hanya dalam bentuk ujud semu.
“Ujud semu tidak akan mempunyai pengaruh apapun selain menyesatkan pandangan sehingga penalaran pun akan menjadi buram,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Ilmu ini sebenarnya tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Manakala aku mampu memecahkan rahasianya, aku akan dapat menemukan tempat persembunyiannya dan sekaligus menghancurkannya.”
Ketika keyakinan itu mulai tumbuh di dalam hatinya, Ki Kebo Mengo pun mulai menggeser kedudukannya, siap untuk melancarkan serangan penjajagan.
Namun tiba-tiba sepercik keragu-raguan muncul kembali di dalam dadanya.
“Bayangan semu tidak akan mampu melukai dan dilukai. Jadi untuk apa aku harus bertempur melawan bayangan semu?” tiba-tiba pertanyaan itu menyelinap di dalam hatinya.
Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo justru hanya berdiri termangu-mangu. Berbagai pertimbangan bergolak di dalam dadanya.
“O,” gumam Ki Kebo Mengo dalam hati. Akhirnya sebuah kesadaran rasa-rasanya telah mengencerkan otaknya yang beku, “Aku tahu maksud Ki Rangga dengan menampilkan bayangan semunya ini. Ki Rangga berharap aku terpancing untuk bertempur sampai tenagaku terkuras habis. Pada saat itulah ujud aslinya akan muncul dan kemudian  menangkapku dengan sangat mudahnya.”
Sejenak Ki Kebo Mengo menarik nafas dalam-dalam. Kesimpulan terakhir ini agaknya yang masuk akal. Namun jika memang demikian keadaannya, yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu kemunculan ujud asli lawannya.
“Lebih baik aku meneruskan perjalananku ke banjar padukuhan,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Jika aku tidak mampu menemukan persembunyian Ki Rangga di sekitar tempat ini, kemungkinannya dia telah mampu melontarkan ilmu bayangan semunya itu dari jarak jauh, dari banjar padukuhan Klangon.”
Berpikir sampai disitu, tanpa menghiraukan ujud semu lawannya, Ki Kebo Mengo pun segera mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
“Ki Kebo Mengo,” tiba-tiba saja terdengar suara bayangan itu memanggilnya, “Berhentilah! Urusan kita belum selesai. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa pergi?”
Namun Ki Kebo Mengo tidak menjawab, bahkan berpaling pun tidak. Tekadnya sudah bulat untuk tidak melayani permainan lawannya. Tujuannya hanya satu, segera sampai di banjar padukuhan Klangon dan membuat perhitungan dengan ujud asli Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ki Kebo Mengo!” kembali terdengar bayangan itu berteriak memanggilnya, kali ini lebih keras, “Berhentilah atau aku akan menghentikanmu dengan caraku!”
Namun Ki Kebo Mengo benar-benar sudah bulat tekadnya untuk segera menyingkir dari tempat itu. Dia benar-benar sudah muak dengan permainan yang disangkanya hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang baru saja belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan.
Ketika melihat Ki Kebo Mengo sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan sebuah teriakan peringatan, bayangan itu melesat menghantam punggung Ki Kebo Mengo.
Ki Kebo Mengo terkejut bukan buatan ketika merasakan ada sebuah sambaran angin yang cukup deras mengarah ke punggung. Namun semua itu sudah terlambat bagi ki Kebo Mengo untuk memutar tubuh. Yang mampu dilakukan oleh ki Kebo Mengo kemudian adalah dengan tergesa-gesa mengetrapkan ilmu pertahanan dirinya, walaupun tidak sempat sampai ke puncak untuk melindungi punggungnya.
Benturan yang terjadi kemudian memang tidak terlalu keras. Apa yang ingin ditunjukkan oleh Ki Rangga hanyalah sebatas pengetahuan bagi lawannya, bahwa ujud semu yang sedang dihadapinya bukanlah ujud semu sebagaimana biasanya.
Yang terdengar kemudian adalah sebuah umpatan yang sangat kotor dari mulut Ki Kebo Mengo. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan, walaupun tidak sampai terjatuh. Namun kenyataan yang dihadapinya itulah yang telah membuat jantungnya hampir meledak. Ternyata bayangan semu Ki Rangga mempunyai kemampuan sebagaimana ujud wadag aslinya, mampu menyentuh bahkan melukai sasarannya.
Begitu pengaruh tenaga lontaran lawannya itu telah menghilang, dengan cepat Ki Kebo Mengo berbalik. Sejenak dipandanginya ujud semu Ki Rangga yang hanya berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.
“Sebuah ilmu iblis!” geram Ki Kebo Mengo sambil menahan gejolak di dalam dadanya, “Dari mana engkau dapatkan ilmu iblis itu, he?!”
“Sudahlah Ki Kebo Mengo,” jawab bayangan itu, “Bukankah engkau tadi sudah mengatakan tidak suka berbantah? Menyerahlah. Engkau akan aku hadapkan kepada Ki Jagabaya dukuh Klangon untuk mempertanggung-jawabkan segala perbuatanmu.”
“Diam..!” bentak Ki Kebo Mengo dengan raut wajah merah padam, “Tidak seorang pun yang akan mampu menangkap Ki Kebo Mengo, agul-agulnya Mataram pun tidak. Apalagi ki Jagabaya dukuh Klangon. Bersiaplah Ki Rangga, aku akan segera menemukan kelemahan ilmumu. Dan disaat itulah harapanmu untuk menghirup udara esok pagi sudah tidak ada lagi.”
Selesai berkata demikian, tanpa didahului oleh sebuah ancang-ancang, Ki Kebo Mengo begitu saja melontarkan tubuhnya menerjang bayangan semu Ki Rangga.
Namun alangkah terkejutnya Ki Kebo Mengo begitu mendapatkan bayangan lawannya sama sekali tidak bergerak untuk menghindar. Serangannya yang berlandaskan pada kekuatan penuh itu menembus bayangan lawannya bagaikan menerjang angin saja. Ki Kebo Mengo justru telah terdorong oleh kekuatannya sendiri. Sejenak kemudian Ki Kebo Mengo harus menguasai lontaran tubuhnya sendiri yang meluncur dengan deras ke depan.
Disaat tubuh Ki Kebo Mengo itu terhuyung-huyung ke depan karena pengaruh dorongan kekuatannya sendiri, tiba-tiba saja bayangan Ki Rangga dengan cepat berbalik dan kali ini sebuah hantaman yang cukup  keras kembali telah melanda punggung Ki Kebo Mengo.
Tubuh Ki Kebo Mengo yang sedang terhuyung ke depan itu bagaikan mendapat dorongan dua kali lipat dari kekuatannya sendiri. Akibatnya benar-benar telah membuat tubuh Ki Kebo Mengo  kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah yang mulai basah oleh embun malam.
“Setan, demit, iblis, gendruwo, tetekan!” sumpah serapah pun meluncur dari mulut Ki Kebo Mengo. Sambil berguling ke samping kanan untuk menghindari kemungkinan serangan susulan lawan, dengan sigap Ki Kebo Mengo pun segera melenting berdiri.
Sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan debu, terdengar Ki Kebo Mengo menggeram, “Ki Rangga, aku mengakui kedahsyatan ilmumu, namun jangan berbangga dulu. Rahasia ilmu petak umpetmu ini sebentar lagi akan kau temukan dan kebesaran nama Ki Rangga Agung Sedayu, agul-agulnya Mataram hanya akan tinggal nama saja.”
Tampak bayangan itu seolah menarik nafas panjang. Berkata bayangan itu kemudian, “Terima kasih atas pujian Ki Kebo Mengo. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu Ki Kebo Mengo menemukan rahasia ilmuku.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo sambil kembali melontarkan serangan. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tidak ingin mengulangi kesalahannya. Serangannya yang meluncur deras itu hanya sekedar sebagai pancingan saja.
Diam-diam dalam hati Ki Kebo Mengo tersenyum gembira begitu melihat bayangan lawannya diam tak bergerak. Dengan demikian Ki Kebo Mengo berharap kejadian sebelumnya akan berulang. Serangannya hanya akan menembus bayangan kosong. Pada saat tubuhnya meluncur ke depan, begitu kakinya menginjak tanah, dia sudah berencana untuk melenting  ke samping sehingga jika bayangan lawannya itu balik menyerangnya, dia sudah siap untuk membenturkan ilmunya.
“Bayangan semu Ki Rangga akan menampakkan kekuatannya jika dia menyerang,” demikian Ki Kebo Mengo mengambil kesimpulan di dalam hati, “Jika aku ingin menyentuhnya sebagaimana menyentuh bentuk wadagnya, aku harus membenturkan kekuatanku justru pada saat dia menyerang.”
Berbekal keyakinan itulah Ki Kebo Mengo tidak mengerahkan kekuatan penuh pada saat dia menyerang. Kakinya yang terjulur lurus mengarah dada itu meluncur tanpa kekuatan penuh.
Namun yang terjadi kemudian kembali membuat Ki Kebo Mengo harus mengumpat dengan umpatan sekotor-kotornya. Agaknya bayangan lawannya itu mampu mengetahui kekuatan yang tersimpan dalam serangannya berdasarkan desir angin yang mendahuluinya. Dengan mengerahkan kekuatan yang cukup besar, bayangan Ki Rangga itu justru telah membenturkan kekuatannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Akibatnya serangan  Ki Kebo Mengo bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Tubuh Ki Kebo Mengo pun terlempar ke belakang dan melayang bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin puyuh, sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.
Entah sudah untuk ke berapa kalinya Ki Kebo Mengo mengeluarkan umpatan yang sangat kasar. Dadanya rasa-rasanya bagaikan meledak mendapatkan dirinya menjadi bulan-bulanan lawannya. Sambil melenting berdiri dan kemudian berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, Ki Kebo Mengo mulai menilai  kekuatan ilmu lawannya yang ternyata sangat ngedab-edabi itu.
“Hem,” desah Ki Kebo Mengo dalam hati sambil mencoba menguasai gejolak di dalam dadanya, “Ternyata ilmu Ki Rangga benar-benar ngedab-edabi. Jika dalam waktu dekat aku belum bisa menemukan kelemahannya, aku hanya akan menjadi bulan-bulanan saja seperti seekor tikus pithi di tangan seekor kucing yang garang.”
Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo tidak tahu harus berbuat apa. Dari pengalamannya melakukan serangan sebanyak dua kali, semuanya berakhir dengan kegagalan yang memalukan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, apa yang telah terjadi itu merupakan aib yang akan mencoreng nama besarnya.
“Pantas bayangan Ki Rangga ini hanya menunggu serangan,” kembali Ki Kebo Mengo berkata dalam hati, “Disitulah letak kunci rahasianya. Dia hanya menunggu lawan untuk menyerangnya dan kemudian dia akan menjebak lawannya dengan kemampuan ilmunya yang mampu mengelabuhi itu.”
Dalam pada itu, selagi Ki Kebo Mengo masih menduga-duga rahasia di balik aji pengangen-angen Ki Rangga Agung Sedayu, dua pasang mata tampak sedang mengawasi mereka dari tempat yang cukup jauh.
“Raden,” bisik seseorang yang tampak sudah sangat tua renta namun terlihat sangat sehat dan kuat, “Aku pernah menghadapi dan merasakan langsung kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu. Ilmu itu kelihatannya merupakan perkembangan dari ilmu bayangan semu. Sudah sangat jarang orang yang mampu menguasai ilmu itu untuk saat ini. Selama ini memang pernah ada cerita tentang kesaktian tokoh-tokoh di masa lalu. Mereka itu dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan. Namun apakah mereka itu juga mempunyai kekuatan yang sama dengan ujud aslinya, itu yang belum pernah aku dengar.”
Orang yang berdiri di sebelahnya tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Cerita itu memang pernah aku dengar, salah satunya adalah Maha Patih Gajah Mada. Bahkan menurut cerita yang tidak jelas sumbernya, Panembahan Senapati juga mampu melakukan hal itu walaupun kebenarannya sangat meragukan.”
“Raden benar,” sahut orang tua itu, “Memang pernah tersebar cerita tentang Panembahan Senapati yang mampu berada di beberapa tempat di saat yang bersamaan. Namun aku cenderung menganggap itu cerita ngayawara dari orang-orang Mataram sendiri yang sengaja ingin membesar-besarkan nama Panembahan Senapati.”
Sejenak kedua orang itu terdiam. Perhatian mereka kembali tertuju kepada Ki Kebo Mengo yang tampak mulai mempersiapkan diri untuk kembali menyerang bayangan semu Ki Rangga Agung Sedayu. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tampak masih berputar-putar saja dan belum mulai menyerang. Agaknya dia sedang membuat perhitungan-perhitungan dengan mencoba untuk memancing lawannya agar menyerang terlebih dahulu.
“Ki Kebo Mengo hanya membuang-buang waktu saja,” desis orang tua renta itu kemudian begitu melihat Ki Kebo Mengo mulai bergerak berputar-putar.
“Eyang Guru,” berkata orang yang di sebelahnya itu kemudian, “Dimana kah sebenarnya kelemahan ilmu Ki Rangga itu?”
“Raden,” jawab orang tua renta yang ternyata adalah Eyang Guru, “Sangat sulit untuk mengalahkan sebuah bayangan semu. Jika ingin menghancurkan ilmu itu, kita harus menghancurkan sumbernya.”
Orang yang dipanggil Raden itu mengerutkan keningnya. Dengan nada sedikit ragu dia kemudian bertanya, “Maksud Eyang Guru, kita langsung menyerang ujud asli Ki Rangga? Tapi bukankah kita tidak tahu di mana dia sekarang ini sedang bersembunyi?”
Eyang Guru tersenyum menanggapi pertanyaan orang yang dipanggilnya Raden itu. Jawabnya kemudian, “Memang agak rumit dan membutuhkan waktu untuk melacak keberadaan ujud asli Ki Rangga. Harus melalui benturan ilmu yang berkali-kali. Namun sekarang kita tidak perlu melakukan itu. Kita dapat langsung mencari ujud asli Ki Rangga dan langsung membunuhnya.”
Kembali orang yang dipanggil Raden itu memandang ke arah Eyang Guru dengan sorot mata ragu-ragu.
Agaknya Eyang Guru tidak mau berteka-teki terlalu lama. Maka katanya kemudian, “Marilah kita menuju ke banjar padukuhan Klangon. Aku yakin bayangan semu itu dipancarkan dari arah sana. Bukankah menurut berita telik sandi kita, ada lima orang asing yang sedang bermalam di banjar padukuhan Klangon?” Eyang Guru berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin Ki Rangga sekarang ini sedang dalam puncak samadinya. Jika kawan-kawannya yang lain mungkin melindunginya, itu menjadi tugasku untuk menyingkirkan mereka. Sementara Raden dapat membunuh Ki Rangga dengan sangat mudahnya. Tubuh Ki Rangga akan sangat lemah tanpa perlindungan sama sekali ketika sedang dalam puncak samadinya.”
Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Eyang Guru mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat ini, dengan bergegas dia pun segera mengikuti langkah orang tua itu.
“Kita berjalan agak melingkar agar tidak terpantau oleh Ki Rangga,” berkata Eyang Guru kemudian sambil menyusup gerumbul liar di sisi jalan.
“Bagaimana dengan Ki Kebo Mengo?” bertanya orang yang dipanggil Raden itu sambil ikut berjalan merunduk-runduk.
Sejenak Eyang Guru menegakkan tubuhnya untuk melihat keadaan Ki Kebo Mengo yang terlihat mulai terlibat dalam pertempuran. Jawabnya kemudian, “Biarlah untuk sementara Ki Kebo Mengo meladeni bayangan semu Ki Rangga. Dengan demikian Ki Rangga akan lengah dan tidak menyadari bahwa bahaya sedang menuju ke tempat samadinya.”
“Eyang Guru,” bertanya kembali orang yang dipanggil Raden itu, “Apa yang akan terjadi jika Ki Rangga menyadari bahwa bahaya sedang mengancam jiwanya?”
“Dia akan menghentikan samadinya sehingga kita akan berhadapan langsung dengan wadag Ki Rangga, dan itu akan sama berbahayanya dengan bayangan semunya itu,” sahut Eyang Guru cepat.
Orang yang dipanggil Raden itu mengerutkan keningnya sambil mengikuti kembali langkah Eyang Guru. Agaknya masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Maka tanyanya kemudian, “Bayangan semu Ki Rangga memang tidak dapat tersentuh, namun ujud wadagnya berbeda, kita dapat menyentuh bahkan melukainya. Apa sebenarnya yang perlu kita takutkan?”
Eyang Guru sekilas berpaling ke belakang sambil tertawa perlahan. Jawabnya kemudian, “Raden Surengpati, dalam ujud aslinya Ki Rangga memiliki ilmu kebal yang sangat sulit untuk ditembus. Selain itu Ki Rangga telah menguasai ilmu kakang pembarep dan adi wuragil yang hampir sempurna. Maksudku, kedua ujud semunya itu akan mempunyai kekuatan yang sama dengan aslinya sehingga jika Ki Rangga mengetrapkan ilmu itu, kita akan bertempur seperti melawan tiga orang Ki Rangga sekaligus.”
Berdesir dada Raden Mas Harya Surengpati. Begitu dahsyatnya ilmu-ilmu yang tersimpan dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu itu.
“Pantas Ki Rangga menjadi agul-agulnya Mataram,” berkata Raden Surengpati dalam hati, “Jika Eyang Guru saja menghindari bertemu langsung dengan Ki Rangga, siapa lagi di antara kita yang akan mampu menahan agul-agulnya Mataram itu?”
Tiba-tiba Raden Mas Harya Surengpati teringat akan Kakandanya yang sampai saat ini masih belum hadir di antara para pengikutnya.
“Kakangmas Wirasena sedang membuat hubungan dengan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Raden Surengpati dalam hati sambil terus berjalan mengikuti langkah Eyang Guru, “Jika perguruan Sapta Dhahana tidak berkeberatan membantu perjuangan kami, tentu Kiai Damar Sasangka pemimpin perguruan Sapta Dhahana akan mampu mengimbangi kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu.”
Sejenak kemudian kedua orang itu harus berjalan menjauhi lingkaran pertempuran antara Ki Rangga melawan ki Kebo Mengo. Sesekali mereka berdua harus meloncati pagar halaman yang cukup tinggi dan melintasi halaman-halaman yang sepi.
“Eyang Guru,” berkata Raden Surengpati kemudian sambil terus mengikuti langkah Eyang Guru, “Selain berita dari telik sandi sore tadi, aku juga menerima berita dari orang-orangnya gegedug Dukuh Salam yang biasa dipanggil dengan sebutan Ki Lurah itu,” Raden Surengpati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menurut orang-orangnya Ki Lurah, salah satu dari kelima orang itu ada yang mempunyai kemampuan bermain sihir. Kejadian itu mereka alami ketika mereka sedang mengumpulkan derma di sekitar Kali Krasak. Salah satu dari kelima orang itu telah menyumbangkan berbagai perhiasan emas dan sebuah keris berpendok emas. Namun ternyata mereka telah menjadi korban permainan sihir.”
Eyang Guru tidak menjawab. Sambil berjalan terbungkuk-bungkuk dia dengan cepat melintasi halaman sebuah rumah yang tampak kosong, tidak ada seberkas sinar pun yang terlihat menembus keluar dari sela-sela dinding rumah yang terbuat dari bambu itu.
“Eyang Guru?” Raden Mas Harya Surengpati mengulangi pertanyaannya dengan suara sedikit keras.
“Aku sudah dengar, Raden!” sahut Eyang Guru dengan nada sedikit kesal tanpa menghentikan langkahnya, “Aku tidak peduli siapa kelima orang itu, dan sampai setinggi apa kemampuan mereka, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Permainan sihir bagiku tak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak.”
Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung di dalam dadanya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak. Sebenarnya dia ingin menyampaikan sesuatu yang menurut pertimbangannya sangat penting. Namun agaknya Eyang Guru sama sekali tidak peduli. Sifat orang yang disebut Eyang Guru itu memang agak aneh. Karena usianya yang sudah sangat tua, kadang-kadang dia menjadi sedikit pikun dan mudah tersinggung serta menjengkelkan.
Tidak terasa kedua orang itu sudah cukup jauh meninggalkan medan pertempuran antara Ki Kebo Mengo melawan Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika kedua orang itu telah melintasi sebuah halaman yang cukup luas dari sebuah rumah yang cukup bagus, keduanya pun kemudian memutuskan untuk kembali ke jalur jalan Padukuhan Klangon kembali.
“Eyang Guru,” bertanya Raden Surengpati kemudian sekali lagi untuk menyampaikan sesuatu yang membebani hatinya, “Bagaimana kita harus menghadapi orang-orang di banjar padukuhan itu? Mereka berlima dan kita hanya berdua saja.”
Eyang Guru menghentikan langkahnya sebelum mencapai regol halaman rumah itu. Jawabnya kemudian sambil memutar tubuhnya, “Raden, sudah aku katakan sedari tadi. Aku tidak peduli dengan kelima orang itu, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Bagiku tidak ada kekuatan orang-orang Mataram yang perlu diperhitungkan kecuali hanya Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Bagaimana dengan Ki Juru Mertani?” desak Raden Surengpati.
Untuk sejenak Eyang Guru justru terdiam. Hanya sepasang matanya saja yang menatap tajam ke arah Raden Surengpati. Namun pada akhirnya Eyang Guru itu pun menjawab juga, “Ki Juru Mertani dikenal karena olah pikirnya saja yang sangat cerdas. Perhitungan-perhitungannya selalu berdasarkan atas penalaran serta pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi sangat tajam dan terpercaya. Namun kemampuan ilmu olah kanuragannya sendiri aku tidak yakin sedahsyat dan sebanding dengan Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan di Pajang, walaupun dapat dikatakan mereka pernah menimba ilmu dari sumber yang sama.”
Sekarang giliran Raden Surengpati yang termenung. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dadanya. Namun akhirnya Raden Surengpati pun menyampaikan juga apa yang selama ini membebani hatinya, “Eyang Guru, aku justru mencurigai salah satu dari mereka adalah Ki Juru Mertani sendiri.”
“He?!” bagaikan disengat ribuan kalajengking Eyang Guru terperanjat mendengar kata-kata Raden Surengpati, “Apa pertimbangan Raden?”
Raden Mas Harya Surengpati menarik nafas dalam-dalam sambil melemparkan pandangan matanya ke kejauhan. Jawabnya kemudian dengan perlahan, “Aku hanya menduga-duga saja sesuai dengan cerita orang-orangnya Ki Lurah gegedug dukuh Salam. Di antara kelima orang itu ada seseorang yang tampak sudah sangat tua namun terlihat masih kuat dan sehat. Orang tua itulah yang dikatakan mampu bermain sihir. Mungkin saja orang tua itu adalah Ki Juru Mertani.”
Sejenak Eyang Guru bagaikan membeku di tempatnya. Bagaimana pun juga, dugaan akan kehadiran Ki Juru Mertani di antara kelima orang itu harus diperhitungkan. Jika semula dia menganggap hanya Ki Rangga yang perlu mendapat perhatian, kini dugaan adanya Ki Juru Mertani yang ikut bermalam di banjar padukuhan Klangon itu telah membuat jantung tuanya berdetak semakin cepat.
“Apa boleh buat!’ geram Eyang Guru pada akhirnya, “Kita akan melihat kekuatan mereka terlebih dahulu. Jika memang orang tua dari Sela yang tak tahu diri itu ada di antara mereka, kita harus segera membuat hubungan dengan Kiai Damar Sasangka dan Raden Wirasena.”
Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menghela nafas panjang. Segala kemungkinan memang harus diperhitungkan agar jangan sampai justru mereka sendiri yang akan terjebak dalam lingkaran kekuatan yang tidak mampu mereka atasi.
“Marilah,” berkata Eyang Guru kemudian sambil memutar tubuhnya, “Kita akan melihat kekuatan kelima orang itu terlebih dahulu sebelum menentukan langkah kita selanjutnya.”
Raden Mas Harya Surengpati tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk sambil melangkah mengikuti Eyang Guru.
Sejenak kemudian mereka berdua segera meneruskan langkah mendekati regol halaman yang terlihat diselarak dari dalam. Setelah mengangkat selarak pintu regol itu terlebih dahulu, keduanya pun segera mendorong pintu regol dan melangkahkan kaki mereka keluar menuju ke jalur jalan padukuhan Klangon.
Namun alangkah terkejutnya mereka berdua. Jantung kedua orang itu bagaikan terlepas dari tangkainya begitu kaki mereka melangkah ke jalur jalan padukuhan Klangon. Beberapa tombak di hadapan mereka, tampak bayangan seseorang dengan sengaja sedang berdiri menunggu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

STSD 02_25

“Ki Rangga Agung Sedayu?” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis perlahan namun terdengar suara mereka bergetar seiring dengan degup jantung mereka yang tiba-tiba saja telah melonjak-lonjak tak terkendali.
“Bagaimana mungkin?” terdengar Eyang Guru kembali berdesis sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, “Apakah Ki Kebo Mengo sedemikian mudahnya dapat ditundukkan oleh  Ki Rangga?”
“Belum tentu,” sergah Raden Surengpati dengan dada berdebaran. Pandangan matanya tak pernah lepas dari ujud bayangan Ki Rangga yang berdiri beberapa tombak di depannya, “Ki Kebo Mengo adalah orang kepercayaan Kakangmas Wirasena. Aku yakin ujud bayangan semu Ki Rangga lah yang melarikan diri.”
“Melarikan diri?” ulang Eyang Guru dengan nada keheranan, “Melarikan diri karena kalah beradu ilmu dengan si Kerbau bodoh itu?”
Sejenak merah padam wajah Raden Surengpati. Namun dengan cepat kesan itu dihapus dari wajahnya. Katanya kemudian, “Maksudku, Ki Rangga mungkin mengetahui gerak-gerik kita dan memutuskan untuk mengejar kita berdua.”
Eyang Guru sejenak tertegun. Jika memang benar Ki Rangga telah mengetahui gerak-gerik dirinya dan Raden Surengpati, tentu agul-agulnya Mataram itu telah mencapai tingkat yang nyaris sempurna dalam menguasai panggraitanya untuk melacak keberadaan seseorang.
Namun selagi kedua orang itu menduga-duga apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Ki Kebo Mengo, tiba-tiba saja bayangan semu Ki Rangga perlahan-lahan menghilang bagaikan asap yang tertiup angin kencang.
“He?!” hampir bersamaan keduanya berseru tertahan. Detak jantung mereka yang semula mulai tenang kini melonjak-lonjak kembali.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Raden Surengpati dengan kening yang berkerut-merut. Sementara Eyang Guru yang berdiri di sebelahnya segera menundukkan kepalanya serta menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Eyang Guru hanya memerlukan waktu sekejab untuk menilai keadaan di sekelilingnya. Sejenak kemudian, Eyang Guru pun telah mengangkat wajahnya serta mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada.
“Ki Rangga telah pergi,” desis Eyang Guru kemudian sambil menarik nafas panjang.
Raden Surengpati yang berada di sebelahnya berpaling. Dengan nada sedikit ragu-ragu, Raden Surengpati pun kemudian bertanya, “Pergi? Mengapa?”
Kembali Eyang Guru menarik nafas dalam. Jawabnya kemudian, “Entahlah. Aku tidak dapat menduga permainan apakah yang sedang ditunjukkan oleh Ki Rangga? Namun yang jelas, ilmu Ki Rangga dari hari ke hari rasa-rasanya semakin tinggi dan mumpuni. Aku khawatir, jika tidak segera dihentikan, cita-cita Trah Sekar Seda Lepen hanya akan tinggal mimpi belaka.”
Berdesir dada Raden Surengpati. Namun di dalam hatinya masih ada sepercik harapan. Jika Kakandanya mampu menarik Kiai Damar Sasangka untuk bergabung, mereka akan mempunyai kekuatan yang setara bahkan mungkin lebih tinggi dibanding dengan kekuatan Mataram.
“Sudahlah,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan Raden Surengpati, “Lebih baik kita kembali saja. Aku mempunyai rencana untuk pergi ke gunung Tidar selepas tengange. Ada yang harus segera kita bicarakan dengan Raden Wirasena dan para penghuni perguruan Sapta Dhahana itu.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Raden Surengpati, Eyang Guru segera melangkahkan kaki kembali menuju ke Perdikan Matesih. Sementara Raden Surengpati dengan tergesa-gesa segera mengikuti di belakangnya.
Demikianlah akhirnya, kedua orang itu telah memutuskan untuk kembali ke Tanah Perdikan Matesih. Agaknya Eyang Guru telah memperhitungkan untung ruginya jika harus berhadapan dengan kelima orang yang sedang bermalam di dukuh Klangon itu. Jika dugaan Raden Surengpati benar bahwa Ki Juru Mertani ada di antara kelima orang itu, Trah Sekar Seda Lepen harus benar-benar berhitung cermat dalam mengukur kekuatan mereka.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah menyusuri jalan dukuh Klangon yang sepi. Kali ini mereka tidak melewati halaman-halaman rumah yang sepi serta meloncati pagar-pagar yang tinggi. Mereka menyusuri jalan sebagaimana biasanya, tidak harus dengan cara sembunyi-sembunyi.
Namun belum ada sepenginang sirih mereka berdua berjalan, pendengaran Eyang Guru yang lebih tajam dibanding Raden Mas Harya Surengpati telah menangkap desir lembut dari arah yang berlawanan sedang menuju ke tempat mereka.
Segera saja Eyang Guru menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” bertanya Raden Surengpati sambil ikut menghentikan langkahnya.
Eyang Guru tidak segera menjawab. Langkah itu memang masih cukup jauh, namun pendengaran Eyang Guru yang luar biasa tajamnya telah mampu menangkapnya.
“Eyang Guru,” kembali Raden Surengpati bertanya, “Apakah Eyang Guru melihat sesuatu yang mencurigakan?”
Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian setengah berbisik, “Yang datang kemudian ini menurut pengamatanku juga termasuk orang yang mumpuni menilik desir langkahnya yang sangat lembut. Namun aku yakin ini bukan bayangan semu Ki Rangga. Sebuah bayangan semu tidak dapat dikenali desir langkahnya, karena dia hanya berupa sebuah bayangan.”
“Karena itulah kehadiran bayangan semu Ki Rangga beberapa saat tadi tidak dapat diketahui oleh Eyang Guru,” sahut Raden Surengpati.
“Benar Raden,” jawab Eyang Guru, “Aku dapat mengenalinya jika bayangan itu sudah berujud. Namun jika dia menghilang, aku yakin tidak ada seorang pun yang akan mampu untuk melacaknya. Itulah sebabnya ilmu Ki Rangga itu benar-benar tidak ada duanya. Jika Ki Rangga mampu mematangkannya, seorang diri saja dia akan mampu menggulung jagad.”
Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suara desir langkah itu telah menjadi semakin dekat sehingga kini adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun sudah mampu mendengarnya.
Sejenak kemudian, pandangan mata Eyang Guru yang melebihi orang kebanyakan itu segera menangkap dan mengenali sesosok tubuh yang sedang berjalan dalam kegelapan. Eyang Guru pun menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi getar di dalam dadanya.
“Marilah Raden,” berkata Eyang Guru kemudian, “Kita temui Ki Kebo Mengo. Sekalian kita bicarakan rencana kita untuk ke Padepokan Sapta Dhahana nanti menjelang tengange.”
Raden Surengpati masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika pandangan matanya sudah mampu menangkap dan mengenali sesosok tubuh yang berjalan mendekat itu, wajah Raden Surengpati pun menjadi cerah. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk, dia segera mengikuti langkah Eyang Guru.
Dalam pada itu di banjar padukuhan, Ki Rangga yang sedang dalam puncak samadinya itu ternyata telah terganggu oleh sesuatu hal yang belum dimengertinya. Sehingga perlahan-lahan pemusatan nalar dan budi Ki Rangga pun mulai memudar seiring dengan kesadaran yang mulai memenuhi otaknya. Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah terjaga dari samadinya dan tersadar sepenuhnya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi, ngger?” pertanyaan itulah yang pertama kali didengar oleh Ki Rangga begitu dia membuka kedua matanya.
Sambil bangkit dan kemudian duduk bersila, Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita yang duduk di sebelahnya. Jawabnya kemudian, “Ki Waskita, aku merasakan sesuatu yang aneh telah terjadi dalam samadiku.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Angger sedang dalam puncak samadi ketika tiba-tiba saja aku menyadari angger sepertinya mengalami sedikit gangguan dan kemudian samadi angger pun telah badar.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeser duduknya menghadap penuh ke arah Ki Waskita, Ki Rangga pun kemudian menceritakan pengalaman yang didapatkannya selama dalam puncak samadinya.
“Ketika aku sedang berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Ki Kebo Mengo,” demikian Ki Rangga memulai ceritanya, “Panggraitaku telah menangkap adanya gerakan dari dua orang yang sedang berada di sekitar tempat itu.”
“Apakah angger mengenali mereka?” potong Ki Waskita dengan nada sedikit tidak sabar.
“Ya, Ki,” jawab Ki Rangga, “Aku mengenal salah satu dari mereka adalah orang yang pernah berselisih denganku di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu.”
Mendengar penjelasan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera teringat dengan peristiwa yang terjadi di kediaman Ki Gede Menoreh. Maka tanya Ki Waskita kemudian, “Apakah yang angger maksud itu adalah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang menyebut dirinya Eyang Guru?”
“Benar, Ki,” sahut Ki Rangga dengan serta merta. Lanjutnya kemudian, “Dan yang satunya adalah orang yang selama ini menghantui tanah Perdikan Matesih, Raden Mas Harya Surengpati.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Tanya Ki Waskita kemudian, “Bagaimana angger bisa mengetahuinya?”
“Aku mendengar Eyang Guru menyebut namanya,” jawab Ki Rangga, “Namun ternyata mereka berdua tidak ikut melibatkan diri dengan Ki Kebo Mengo. Eyang Guru lebih memilih menuju ke banjar padukuhan.”
Sejenak wajah Ki Waskita menegang. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya. Namun sebelum Ki Waskita bertanya lebih jauh, ternyata Ki Rangga segera memberi penjelasan.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Ternyata Eyang Guru itu telah mengetahui kelemahan aji pengangen-angen. Dengan sangat yakin Eyang Guru berencana untuk mendapatkan wadagku yang sedang dalam puncak samadi dan kemudian dengan sangat mudahnya dia akan membunuhku.”
Ki Waskita menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Rangga. Untuk beberapa saat ayah Rudita itu termenung. Memang di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Kuasa dari segala yang berkuasa di muka bumi ini. Aji pengangen-angen pada dasarnya adalah sebuah aji sang sangat ngedab-edabi, namun mempunyai satu kelemahan, yaitu justru terletak pada wadag orang yang menguasai ilmu itu sendiri.
Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Bertanya Ki Waskita selanjutnya, “Apakah angger kemudian memutuskan untuk meninggalkan Ki Kebo Mengo dan mengejar mereka berdua?”
Ki Rangga tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih mencoba menilai apa yang telah dilakukannya beberapa saat yang lalu.

STSD Jilid 3

Bagian 1
KETIKA Ki Rangga kemudian mendengar Ki Waskita terbatuk-batuk kecil, barulah Ki Rangga teringat akan pertanyaan Ki Waskita itu. Maka jawabnya kemudian, “Ki Waskita, pada awalnya memang ada niat untuk meninggalkan Ki Kebo Mengo dan kemudian mengejar Eyang Guru. Namun entah mengapa tiba-tiba saja terbersit di dalam hatiku untuk mengetrapkan aji kakang pembarep dan adi wuragil sekaligus. Dengan demikian aku berharap kedua ujud semuku akan dapat menghadapi lawan-lawanku secara terpisah,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun yang terjadi kemudian justru telah membuat aku benar-benar tidak habis mengerti. Dengan mengetrapkan aji kakang pembarep dan adi wuragil, pengetrapanku terhadap aji pengangen-angen menjadi melemah dan akhirnya aku tersadar dari samadiku.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Ki Rangga. Setelah terdiam beberapa saat, barulah dengan suara yang sangat sareh Ki Waksita pun berkata, “Ngger, memang tidak ada ilmu yang sempurna di atas bumi ini. Pada dasarnya aji kakang pembarep dan adi wuragil mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan aji pengangen-angen, walaupun keduanya bertumpu pada ujud semu yang sama,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aji kakang pembarep adi wuragil menuntut kehadiran wadagmu sedekat mungkin, bahkan menuntut wadagmu untuk ikut dalam setiap keberadaan ujud semu itu. Sedangkan aji pengangen-angen tidak menuntut akan kehadiran ujud wadagmu. Justru aji pengangen-angen akan meninggalkan wadagmu sejauh dapat engkau lakukan, menyeberangi lautan misalnya. Semua itu tergantung dari kekuatan pancaran ilmu dari sumbernya, yaitu  wadagmu sendiri.”
Sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai tanggapan dan harapan sedang bergolak di dalam dadanya.
“Dalam sebuah kancah pertempuran pasukan segelar sepapan yang sebenarnya, aji pengangen-angen ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi membutuhkan bantuan orang lain,” berkata ki Waskita selanjutnya, “Kehadirannya mungkin akan sempat membingungkan lawan. Namun jika lawan sempat mengetahui kelemahannya dan menemukan tempat persembunyian ujud wadagnya, tentu akan sangat berbahaya. Demikian juga jika seseorang diminta secara khusus untuk menjaga wadagnya selama dia dalam puncak samadinya, siapakah yang dapat menjamin jika orang yang menjaganya itu tidak akan berkhianat?”
Ki Rangga masih berdiam diri dan belum menanggapi penjelasan Ki Waskita. Angan-angannya sedang menerawang entah ke mana.
“Ngger,” berkata Ki Waskita seterusnya begitu melihat Ki Rangga masih termangu-mangu, “Berbeda dengan aji kakang pembarep dan adi wuragil yang kehadirannya di medan pertempuran yang sebenarnya akan sangat berarti. Lawan akan memperhitungkan keberadaan bentuk semu itu karena engkau telah mampu memancarkan ilmumu melalui kedua ujud semu itu. Sehingga lawan akan mendapatkan perlawanan tiga kali lipat dari kekuatan yang sesungguhnya,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil mencoba mengamati raut wajah Ki Rangga. Lanjutnya kemudian, “Jika angger ingin menggabungkan kedua aji itu, tentu diperlukan laku khusus yang tentu akan melibatkan persyaratan dari kedua cabang ilmu itu. Dengan demikian, apabila seseorang telah mampu menguasai gabungan kedua aji tersebut, dia akan benar-benar mampu menjaga wadagnya dengan salah satu bentuk semunya, sedangkan bentuk semu yang lain akan mampu bergerak ke tempat yang sangat jauh, sejauh angan-angan dari manusia itu sendiri.”
Kali ini Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun tampaknya memang masih ada yang membebani pikirannya.
Agaknya Ki Waskita dapat membaca wajah Ki Rangga yang terlihat sedang menyimpan sebuah beban dalam hatinya itu. Maka katanya kemudian, “Ngger, aku melihat sebuah kegelisahan yang terpancar pada wajah angger. Jika memang aku boleh mengetahuinya, apakah sebenarnya yang masih menjadi beban di hati angger?”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Setelah membetulkan letak duduknya, barulah Ki Rangga menjawab, “Ki Waskita, penggabungan aji kakang pembarep dan adi wuragil dengan aji pengangen-angen itu sebaiknya kita pikirkan di kemudian hari,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas panjang. Lanjutnya kemudian, “Adapun yang masih membebani hatiku sampai saat ini adalah, sejak aku mendalami aji pengangen-angen, aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi dalam diriku, terutama panggraitaku. Beberapa kali aku merasakan sepertinya aku mendapatkan firasat tentang sesuatu. Ketika aku menganggapnya itu hanyalah sebagai bentuk kegelisahanku saja, ternyata firasat itu benar-benar terjadi. Namun tidak jarang aku tidak mampu mengurai makna firasat itu sehingga yang terjadi kemudian hanyalah sebuah kegelisahan yang tak berujung pangkal. Aku tidak tahu apakah kejadian dalam diriku ini ada hubungannya dengan usahaku untuk menekuni aji pengangen-angen?”
Untuk beberapa saat Ki Waskita termenung. Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah Ki Waskita menjawab, “Ngger, agaknya angger sedang mengalami keadaan yang sebenarnya wajar bagi angger. Aji pengangen-angen itu pada awalnya adalah suatu bentuk ilmu yang hanya berlandaskan pada sebuah angan-angan. Kemudian dengan memusatkan nalar dan budi serta menyelaraskan ilmu itu dengan pikiran serta persangkaan orang lain, maka akan terciptalah bentuk-bentuk semu sesuai dengan apa yang ada di dalam angan-angan kita,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Semasa mudaku dulu, aku hanya mampu mempelajari sampai batas ini, walaupun guruku telah memberikan tuntunan sampai sejauh apa yang telah tertulis dalam kitab perguruan kami. Aku memang terlampau puas dengan apa yang telah aku capai waktu itu, tanpa memperhitungkan bahwa ternyata ilmu itu jika disempurnakan dan dikembangkan akan mempunyai kekuatan yang sangat ngedab-edabi.”
Ki Rangga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. Sementara Ki Waskita meneruskan kata-katanya, “Dalam mendalami ilmu ini, aku pun pada awalnya juga mengalami seperti apa yang sedang engkau alami, ngger. Ketika hal itu aku sampaikan kepada guruku, ternyata aku telah diberi wawasan yang luas bagaimana cara mempelajari dan kemudian mempertajam panggraita kita dalam menyikapi peristiwa itu. Aku pun kemudian justru telah tertarik untuk mengembangkan ilmu dalam mengurai isyarat yang merupakan cabang dari aji pengangen-angen dan telah mengabaikan kelanjutan dari aji pengangen-angen itu sendiri sehingga kemampuanku tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil kembali mencoba mengamati perubahan wajah Ki Rangga. Namun Ki Rangga hanya menundukkan kepalanya saja. Maka Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Ngger, jika memang engkau tertarik dengan ilmu dalam mengurai isyarat ini, usahakan untuk mendalami dan meresapi setiap isyarat yang muncul. Memang kadang-kadang kita salah dalam menafsirkan makna isyarat itu karena memang sesungguhnya tiada daya dan upaya kecuali atas seijin Yang Maha Agung. Oleh karena itu, ngger, semakin kita mendekatkan diri dengan Dzat Yang Maha Mengetahui seluruh alam semesta ini, akan semakin terbukalah cakrawala angan-angan kita sehingga kita akan diijinkan untuk mengetahui sedikit rahasia yang selama ini tersembunyi.”
Kembali Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini hatinya mulai tertata kembali. Tidak ada kegelisahan yang selama ini selalu menggelayuti hatinya. Semuanya yang telah terjadi, sedang terjadi maupun yang akan terjadi adalah di dalam genggamanNYA, di dalam kekuasaanNYA. Jika memang seorang hamba diperkenankan untuk mengetahui sedikit dari apa yang akan terjadi di hari esok, sesungguhnyalah itu adalah sebuah karunia yang tiada taranya.
“Ngger,” tiba-tiba suara Ki Waskita membuyarkan lamunannya, “Jika aku boleh mengetahuinya, sebenarnya isyarat apakah yang sekarang ini sedang angger terima?”
Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Ada sedikit keragu-raguan yang tampak terpancar dari sorot kedua matanya. Namun akhirnya meluncur juga kata-kata dari bibirnya, “Ki Waskita, akhir-akhir ini aku sedang digelisahkan oleh sebuah isyarat yang berhubungan dengan masa depan Kademangan Sangkal Putung sepeninggal Adi Swandaru. Aku sering diperlihatkan sebuah pemandangan yang mengerikan, baik dalam mimpi-mimpiku maupun sebuah firasat yang tiba-tiba saja terasa mencengkam jantungku sehingga telah menggelisahkan hatiku. Namun aku tidak tahu dengan pasti, firasat apakah itu sebenarnya. Yang justru kemudian muncul dalam benakku adalah wajah-wajah yang begitu aku kenal, Sekar Mirah dan Pandan Wangi.”
Sejenak Ki Waskita menahan nafas. Apa yang disampaikan Ki Rangga itu telah menggores jantungnya. Ayah Rudita yang juga diberi karunia untuk menerima isyarat tentang masa depan itu sejenak  bagaikan telah membeku.
“Ngger,” berkata Ki Waskita akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Sebagaimana angger, aku juga menerima isyarat yang kurang menyenangkan tentang masa depan Sangkal Putung. Akan tetapi, marilah semua itu kita kembalikan kepada Yang Maha Mengetahui. Kita sebagai hambaNYA hanya dapat berusaha dan berdoa, sekiranya kita dapat membantu Sekar Mirah maupun Pandan Wangi untuk semakin memajukan Sangkal Putung maupun Tanah Perdikan Menoreh.”
Mendengar Ki Waskita menyebut kedua wilayah itu, tiba-tiba saja dada Ki Rangga berdesir tajam. Tanpa sadar Ki Rangga berdesis perlahan, “Siapakah sebenarnya yang berhak atas kedua wilayah itu?”
Ki Waskita hanya menarik nafas panjang mendengar pertanyaan Ki Rangga. Kedua daerah yang subur itu memang kelak di kemudian hari tidak menutup kemungkinan akan menjadi bahan persengketaan oleh beberapa pihak yang berkepentingan maupun yang tidak berkepentingan.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sangkal Putung harus segera mengambil sikap sehubungan dengan niat Pandan Wangi untuk kembali ke Menoreh.”
Untuk kesekian kalinya Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Beberapa hari setelah pemakaman suaminya, Pandan Wangi memang secara khusus telah berbicara dengannya tentang masa depan Bayu Swandana.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi pada saat itu ketika mereka berdua saja sedang duduk-duduk di pringgitan, “Sepeninggal kakang Swandaru, rasa-rasanya sudah tidak ada lagi yang dapat mengikatku di Kademangan ini, kakang.”
“Wangi?” terkejut Ki Rangga mendengar ucapan Pandan Wangi, “Mengapa engkau berkata demikian? Bukankah masih ada Ki Demang sebagai mertuamu? Serta Bayu Swandana sebagai penerus Adi Swandaru yang kelak akan memimpin Kademangan Sangkal Putung?”
Pandan Wangi sejenak termangu-mangu. Pandangan matanya jatuh ke tikar tempat duduknya. Seakan-akan Pandan Wangi sedang menghitung helai demi helai anyaman tikar pandan itu di setiap jengkalnya.
“Wangi,” kembali terdengar Ki Rangga bertanya ketika dilihatnya Pandan Wangi hanya tertunduk diam, “Apakah engkau mempunyai keinginan untuk kembali ke Menoreh?”
Kali ini Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ketika dua pasang mata itu saling beradu, alangkah terkejutnya Ki Rangga. Sepasang mata itu terlihat sayu dan penuh air mata. Betapa sepasang mata itu dulu pernah menatapnya seperti itu, berpuluh tahun yang lalu. Masih jelas dalam ingatan Ki Rangga yang pada saat itu menggunakan nama Gupita, dia harus menyampaikan pesan adik seperguruannya, Gupala kepada putri Menoreh itu.
“Sepasang mata yang kecewa, tanpa harapan dan cinta,” desis Ki Rangga dalam hati sambil mencoba menghindari tatapan mata Pandan Wangi. Dilemparkan pandangan matanya jauh keluar pintu pringgitan yang terbuka lebar.
“Kakang,” tiba-tiba terdengar lirih kata-kata Pandan Wangi, “Aku sudah cukup menderita di Sangkal Putung ini, walaupun sebagai istri, aku telah berusaha menjadi istri yang baik. Aku tetap berharap kakang Swandaru dengan bersungguh-sungguh berusaha untuk memperbaiki hubungan kami sebagaimana dulu pertama kali kita telah berjanji untuk merajut masa depan bersama,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Nafasnya menjadi sesak bersamaan dengan air mata yang mulai tumpah membasahi wajahnya. Sambil berusaha menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya, Pandan Wangi pun kemudian meneruskan kata-katanya walaupun terdengar timbul tenggelam dalam isak tangisnya, “Kakang, salahkan aku jika aku ingin menghapus kenangan masa laluku yang begitu pahit ini? Aku ingin kembali ke tanah kelahiranku untuk memulai hidup baru sekalian membesarkan anakku serta menunjukkan baktiku kepada orang tuaku yang telah tua dan renta.”
Ki Rangga terdiam. Hanya degup jantungnya saja yang terdengar bertalu-talu.
“Ngger,” tiba-tiba terdengar suara Ki Waskita membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Sebaiknya memang permasalahan Sangkal Putung segera dibicarakan bersama. Jika Pandan Wangi berkeinginan untuk pulang ke tanah kelahirannya, berarti harus segera ditunjuk Pemangku sementara kademangan Sangkal Putung untuk mendampingi Ki Demang yang sudah sangat sepuh itu.”
“Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga, “Namun siapakah yang berhak untuk menjadi pemangku sementara, sedangkan Bayu Swandana masih terlalu kecil? Sementara Pandan Wangi sebagai istri Adi Swandaru serta ibu Bayu Swandana telah menyampaikan keinginannya untuk kembali ke Menoreh?”
Ki Waskita tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Masih ada saudara sedarah Ki Swandaru yang dapat menjadi pemangku sementara di kademangan Sangkal Putung.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil memandang tajam ke arah Ki Waskita. Katanya kemudian dengan nada yang sedikit ragu-ragu, “Maksud Ki Waskita, Sekar Mirah?”
“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sekar Mirah dapat ditunjuk untuk menjadi pemangku sementara sambil menunggu Bayu Swandana dewasa.”
“Tidak, Ki Waskita,” dengan serta-merta Ki Rangga menyela, “Akulah yang berkeberatan jika Sekar Mirah yang akan ditunjuk menjadi pemangku sementara kademangan Sangkal Putung.”
Ki Waskita terkejut mendengar kata-kata Ki Rangga. Orang tua itu sejenak termangu-mangu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Adalah hal yang diluar kewajaran jika seseorang dengan sadar telah menolak sebuah kedudukan, pangkat dan derajat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian dengan sareh, “Nyi Sekar Mirah mempunyai hak untuk menerima itu walaupun angger sebagai suaminya juga mempunyai hak untuk menentukan seberapa jauh seorang istri diperbolehkan oleh suaminya untuk berbuat diluar dunianya. Jangan tergesa-gesa untuk memutuskannya sekarang, ngger. Ajaklah istrimu untuk bermusyawarah.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga terdiam.  Berbagai persoalan sedang bergulat di dalam benaknya.
“Alangkah beruntungnya Bayu Swandana,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Dari garis ibunya dia mewarisi Tanah Perdikan Menoreh yang luas, sedangkan dari garis ayahnya, dia adalah pewaris kademangan Sangkal Putung yang subur.”
Tiba-tiba dada Ki Rangga berdesir tajam. Ingatannya melayang kepada anak laki-laki satu-satunya, Bagus Sadewa. Dan tiba-tiba saja hati Ki Rangga telah tersentuh
“Bagus Sadewa,” hampir saja nama itu terloncat dari bibirnya, namun cepat-cepat ki Rangga menelan kembali kata-katanya sendiri yang sudah berada di ujung bibirnya.
“Aku takut seandainya Sekar Mirah ditunjuk menjadi Pemangku sementara Kademangan Sangkal Putung, Bagus Sadewa setelah beranjak dewasa akan mempunyai tanggapan tersendiri atas hak Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Rangga dalam hati kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam, “Apalagi jika Sekar Mirah sebagai ibu ingin melihat anak laki-laki satu-satunya mempunyai masa depan yang lebih baik, tentu akan timbul pertentangan yang justru berawal dari dalam keluarga sendiri.”
Diam-diam Ki Rangga mengeluh dalam hati. Isyarat yang diterimanya tentang masa depan Sangkal Putung benar-benar telah menggelisahkan hatinya.
“Ngger,” kembali kata-kata Ki Waskita membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Biarlah urusan Sangkal Putung kita kesampingkan terlebih dahulu. Sekarang sebaiknya kita bicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan kita lakukan sehubungan dengan telah diketahuinya kehadiran kita di Padukuhan Klangon ini.”
Ki Rangga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Ki Waskita, salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang disebut Eyang Guru itu telah mengetahui kehadiranku. Demikian juga dengan orang yang selama ini telah menghantui Perdikan Matesih, Raden Surengpati. Tidak menutup kemungkinan tempat ini akan segera diserbu oleh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.”
Ki Waskita menarik nafas panjang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang kemungkinan itulah yang bisa terjadi dalam waktu dekat ini, dan mereka benar-benar harus mempersiapkan diri.
“Kita menunggu Ki Jayaraga dan yang lainnya, ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Semoga pekerjaan mereka segera selesai dan tidak ada satu aral pun yang melintang dalam perjalanan mereka kembali ke banjar ini.”
Ki Rangga tidak menjawab. Hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk.
Dalam pada itu Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah putih telah selesai mengubur mayat orang yang belum diketahui jati dirinya itu. Dengan berjalan sedikit tergesa-gesa, ketiganya pun telah memutuskan untuk segera kembali ke banjar padukuhan.
Namun sesampainya mereka di kelokan jalan yang mengarah ke banjar padukuhan itu, ketiga orang itu telah dikejutkan oleh bayangan seseorang yang tampak berjalan perlahan-lahan di dalam kegelapan malam berlawanan arah dengan mereka.
Agaknya orang itu pun juga melihat Ki Jayaraga dan kawan-kawannya yang sedang berjalan ke arahnya. Tanpa sadar orang itu pun telah menghentikan langkahnya.
“Guru,” desis Glagah Putih yang tampak berjalan di sebelah kiri gurunya sambil memanggul cangkul di pundaknya, “Siapakah orang itu?”
“Aku tidak tahu Glagah Putih,” jawab gurunya, Ki Jayaraga sambil terus melangkah, “Dalam keadaan seperti ini, kita harus berhati-hati dan waspada ketika berhadapan dengan siapapun yang belum kita ketahui jati dirinya.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan. Namun tampaknya Ki Bango Lamatan sedang sibuk mengamati orang yang berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang di tengah jalan itu.
Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa tombak, tiba-tiba saja orang yang berdiri tegak itu tanpa membuat sebuah ancang-ancang, demikian saja melontarkan tubuhnya ke samping dan menghilang di antara gerumbul-gerumbul perdu yang banyak berserakan di tepi jalan.
Bagaikan sudah berjanji sebelumnya, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan pun segera meloncat memburu ke tempat orang itu menghilang. Sementara Glagah Putih harus melempar cangkulnya terlebih dahulu ke tepi jalan sebelum menyusul kedua orang tua itu kemudian.
Sejenak kemudian, terjadilah kejar-kejaran di antara keempat orang itu. Ki Jayaraga yang berlari di depan sendiri merasa heran. Guru Glagah Putih itu telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu masih saja berada beberapa langkah di depannya.
Untuk beberapa saat mereka masih berputar-putar di sekitar tempat itu. Memang ada beberapa petak rumah yang telah di bangun di sekitar kelokan jalan itu, namun selebihnya masih berupa gerumbul perdu dan tanah kosong yang ditumbuhi rumput tinggi rapat berjajar-jajar.
Tanpa terasa keempat orang yang sedang bermain kejar-kejaran itu telah merambah pada kemampuan ilmu mereka yang tinggi, baik kemampuan dalam berlari maupun kemampuan untuk menyerap bunyi yang dapat ditimbulkan oleh suara gesekan mereka dengan alam sekitarnya.
Tiba-tiba saja orang yang sedang mereka kejar itu telah mengubah arah larinya. Dia tidak lagi lari berputar-putar, namun telah berlari menjauhi tempat itu menuju ke barat.
Ketika orang itu kemudian menyusup ke dalam rimbunan pohon bambu yang tumbuh membujur di belakang sebuah rumah kecil di tepi jalan, tiba-tiba saja Ki Jayaraga dan kawan-kawannya telah kehilangan jejak.
Serentak mereka bertiga segera menghentikan langkah.
“Kemana perginya orang itu, Guru?” bertanya Glagah Putih kemudian sambil mengatur nafasnya yang sedikit tersengal.
KI Jayaraga tidak menjawab. Disilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ternyata Ki Bango Lamatan pun telah berbuat serupa.

……….“Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi. Lebih baik Ki Sanak segera berterus terang apa maksud Ki Sanak melakukan semua ini?”
Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengetahui keberadaan buruannya. Sambil mengangkat kepalanya dan mengurai kedua tangannya, Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi. Lebih baik Ki Sanak segera berterus terang apa maksud Ki Sanak melakukan semua ini?”
Tidak ada jawaban. Sementara itu Glagah Putih telah mencoba mempertajam penglihatannya dengan lambaran aji sapta pandulu. Segera saja tampak beberapa tombak di depannya, di bawah sebatang pohon keluwih yang tumbuh beberapa langkah dari gerumbul pohon bambu itu, bayangan seseorang sedang berdiri bersandaran pada batang pohon keluwih itu dengan asyiknya.
“Ki Sanak,” Ki Bango Lamatan yang jarang berbicara itu telah maju selangkah, “Apa maksud Ki Sanak melakukan semua ini? Jangan salahkan kami jika Ki Sanak tidak dapat memberikan alasan yang jelas dan masuk akal, kami akan menangkap Ki Sanak.”
Tiba-tiba terdengar bayangan di bawah pohon keluwih itu tertawa perlahan-lahan. Suara tawa yang benar-benar memuakkan.
Berkata bayangan itu kemudian di sela-sela tawanya, “Dan selanjutnya akan diserahkan kepada Ki Jagabaya Dukuh Klangon? Begitu?”
Ketiga orang itu terkejut. Orang itu telah menyebut Ki Jagabaya Dukuh Klangon. Tentu orang itu telah mengetahui serba sedikit tentang mereka dalam hubungannya dengan Ki Jagabaya Dukuh Klangon.
Namun sebelum Ki Jayaraga menjawab, orang itu telah berkata lagi, “Bagaimana mungkin kalian mau menangkap aku, berlari saja kalian masih seperti kanak-kanak,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, aku akan berlari lagi. Silahkan kalau mau menangkap aku jika kalian merasa mampu.”
Selesai berkata demikian, hampir tidak kasat mata, bayangan itu pun melesat meninggalkan tempat itu menuju ke arah barat.
Ki Jayaraga dan kawan-kawannya merasa tertantang untuk mengejar bayangan itu. Maka sejenak kemudian kejar-kejaran di antara keempat orang itu pun terjadi lagi.
Semakin lama mereka telah semakin jauh meninggalkan padukuhan Klangon dan kini tak terasa mereka telah mendekati tapal batas antara Padukuhan Klangon dengan Tanah Perdikan Matesih sebelah barat.
Sesekali ketiga orang itu kembali kehilangan buruan mereka sehingga ketiga orang itu pun telah menghentikan langkah mereka untuk sejenak. Namun entah mengapa, dengan sengaja orang yang sedang mereka cari itu tiba-tiba saja telah menampakkan diri lagi tidak jauh dari tempat mereka berhenti, sehingga kejar-kejaran itu pun kembali terjadi.
Ketika ketiga orang itu merasakan tanah yang mereka lewati kemudian terasa agak landai, tahulah mereka bahwa sebentar lagi mereka akan mencapai sebuah sungai yang mengalir di sepanjang sisi barat Tanah Perdikan Matesih, kali Praga.
Tiba-tiba saja Ki Jayaraga yang berlari di paling depan telah memperlambat langkahnya. Lamat-lamat Ki Jayaraga mendengar suara aliran air. Sedangkan kedua kawannya yang berlari di belakangnya pun kemudian ikut memperlambat langkah mereka.
“Kita kehilangan jejak kembali,” desis Ki Jayaraga sambil mengatur pernafasannya yang sedikit memburu. Sementara Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih pun telah berbuat serupa.
“Apa maksud orang itu membawa kita ke tepian kali Praga ini?” geram Ki Bango Lamatan sambil menekan lambungnya untuk mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba saja terasa menyengat.
“Orang gila,” geram Glagah Putih yang berdiri tersengal-sengal di sebelah Ki Bango Lamatan, “Orang itu berlari seperti setan dan sepertinya memang dengan sengaja dia ingin mempermainkan kita.”
“Sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian ketika pernafasannya sudah teratur kembali, “Kita coba untuk turun ke tepian, barangkali di sana ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian.”
Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih tidak menjawab. Hanya kepala mereka saja yang terlihat mengangguk.
Sejenak kemudian ketiga orang itu pun mulai menuruni tebing yang agak curam. Ketika sisi tebing itu mulai landai, mereka pun kemudian mulai berjalan di tepian kali Praga yang berpasir lembut.
Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, pendengaran mereka yang tajam telah mendengar langkah beberapa orang yang tampak tergesa-gesa menyusuri tepian dari arah yang berlawanan. Memang masih cukup jauh namun ketiga orang itu dengan sangat jelas telah mendengar suara mereka.
Bagaikan sudah berjanji sebelumnya, ketiga orang itu pun segera berloncatan dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di sisi tebing.
Sejenak kemudian tampak dalam kegelapan malam, beberapa orang muncul dari kelokan sungai. Dengan langkah yang tergesa-gesa mereka menyusuri tepian yang berpasir basah.
“Sebelum ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya, kita sudah harus sampai di banjar Padukuhan Klangon,” berkata seseorang yang berjalan paling depan. Tubuhnya tinggi menjulang dengan sebuah tombak pendek di tangan kanannya, “Perintah Kakang Putut Sambernyawa sudah jelas, kita kepung banjar Padukuhan Klangon tepung gelang agar tidak ada seekor semut pun yang dapat lolos dari pengamatan kita.”
“Kakang Putut Jangkung,” menyela seseorang yang bertubuh gemuk dan pendek yang berjalan di sebelahnya, “Menurut Kakang Putut Sambernyawa tadi, kita sebaiknya membuat hubungan terlebih dahulu dengan Ki Kebo Mengo, orang kepercayaan Raden Wirasena.”
“Persetan dengan Kerbau bodoh itu,” geram Putut Jangkung sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Segera saja terasa bumi di sekitar tempat itu bergetar, “Aku sudah muak sebenarnya dengan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen beserta para pengikutnya itu. Mereka telah merayu Guru untuk mendukung perjuangan mereka. Dengan berbekal keyakinan seolah-olah wahyu keprabon itu akan menjadi milik mereka, Guru telah dirayu dengan janji-janji yang memabokkan.”
“Apakah janji mereka?” pertanyaan itu dengan serta merta telah terloncat begitu saja hampir dari mulut setiap orang.
Putut Jangkung menarik nafas panjang sebelum menjawab. Sambil mengeluarkan sebuah dengusan dari hidungnya dia menjawab, “Guru dijanjikan akan diangkat menjadi seorang Adipati jika perjuangan mereka berhasil.”
“Sebuah mimpi yang indah,” tiba-tiba saja seseorang yang berjalan di belakang Putut Jangkung terdengar menyahut.
Ki Jangkung berpaling sekilas ke belakang. Katanya kemudian, “Engkau benar, Ki Brukut. Sebuah mimpi yang indah, bahkan terlalu indah jika kita bermimpi ingin menjadi seorang Adipati.”
Ki Brukut menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Kedatanganku ke Padepokan Sapta Dhahana sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala tingkah polah orang-orang yang menyebut dirinya sebagai pewaris Trah Sekar Seda Lepen itu.”
“Nah, mengapa Ki Brukut ikut rombongan kami?”” sahut orang yang berperawakan gemuk dan pendek yang berjalan di samping Putut Jangkung dengan serta-merta.
Ki Brukut tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku datang ke Padepokan Sapta Dhahana sekedar untuk menengok keadaan anakku, Putut Sambernyawa. Anakku lah yang telah meminta aku untuk mengikuti kalian ke Dukuh Klangon, dan memastikan bahwa kalian akan sampai di sana dengan selamat.”
Hampir saja setiap mulut mengumpat mendengar kata-kata Ki Brukut. Namun mereka segera menyadari siapakah Ki Brukut itu. Ayah dari Putut Sambernyawa, Putut tertua dan terpercaya dari Kiai Damar Sasangka, pemimpin tertinggi padepokan Sapta Dhahana.
“Menilik rasa hornat yang diperlihatkan oleh Guru kepada Ki Brukut ini, tentu tingkat ilmunya tidak jauh berbeda dengan Guru,” demikian beberapa orang yang berada dalam rombongan itu berkata dalam hati.
“Atau mungkin keseganan Guru hanya karena Ki Brukut adalah ayah kakang Putut Sambernyawa, bukan tingkat ilmunya,” yang lain justru mempunyai tanggapan yang berbeda.
Tak terasa langkah orang-orang itu pun telah mendekati tempat dimana Ki Jayaraga dan kawan-kawannya sedang bersembunyi.
“Lima belas orang,” berkata Ki Jayaraga dalam hati. Berbagai pertimbangan tengah hilir-mudik dalam benaknya.
Agaknya Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih pun juga telah ikut menghitung jumlah orang-orang yang sedang lewat beberapa langkah di hadapan mereka itu.
“Terlalu banyak dan terlalu berat akibat yang akan ditimbulkan,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati. Memang melawan lima belas orang dengan tingkatan ilmu yang belum mereka ketahui sama saja dengan membunuh diri.
Demikianlah ketika rombongan itu telah berlalu dan tidak tampak lagi bayangannya, ketiga orang yang sedang bersembunyi itu pun berniat untuk keluar dari persembunyiannya. Namun baru saja mereka beringsut setapak, tiba-tiba pendengaran mereka menangkap kembali langkah-langkah mendekati tempat itu. Bahkan sekarang terdengar langkah-langkah itu lebih banyak dari yang pertama.
Segera saja ketiga orang itu membenamkan diri mereka kembali ke dalam gerumbul-gerumbul perdu sambil menahan nafas.
Ternyata yang lewat kemudian adalah serombongan orang yang berjumlah sangat besar, hampir dua kali lipat dari yang pertama. Rombongan yang kedua itu pun kemudian disusul dengan rombongan yang ketiga, keempat dan rombongan kelima adalah rombongan yang terbesar, hampir lima puluh orang.
“Gila!” geram KI Jayaraga perlahan sambil bangkit dari persembunyiannya ketika dirasa sudah tidak ada lagi rombongan yang akan lewat. “Agaknya murid-murid Padepokan Sapta Dhahana telah dikerahkan untuk menutup setiap jalan keluar dari Padukuhan Klangon.”
“Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita pasti akan menemui kesulitan, jika tidak segera diberitahu,” sahut Glagah Putih sambil bangkit berdiri dan mengibas-kibaskan kain panjangnya yang terkena pasir tepian.
Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita harus berterima kasih kepada orang yang telah membawa kita ke tepian ini. Secara tidak langsung dia telah memberitahukan kepada kita, gerakan padepokan Sapta Dhahana yang akan mengepung banjar Padukuhan Klangon.”
Dada Ki Jayaraga dan Glagah Putih berdesir tajam begitu mendengar kata-kata Ki Bango Lamatan. Secara tidak langsung orang itu telah membantu mereka dengan memberitahukan bahaya besar yang akan mengancam jika mereka tetap bertahan di banjar padukuhan.
“Marilah kita segera kembali ke banjar,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil melangkah tergesa-gesa menaiki tebing, “Sesampainya di atas tebing, kita akan berlari kembali sesuai jalur yang telah ditunjukkan oleh orang tadi. Agaknya jalur tadi adalah jalan pintas. Semoga kita dapat mendahului rombongan orang-orang padepokan Sapta Dhahana.”
“Ya, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan sambil mengikuti langkah Ki Jayaraga, “Ki Rangga dan Ki Waskita harus segera menyingkir sebelum kedatangan orang-orang itu.”
Glagah Putih yang melihat kedua orang tua itu telah menaiki tebing segera menyusul. Dengan cepat dia segera meloncat di antara batu-batu yang menjorok di lereng untuk menyusul kedua orang tua yang sudah hampir mencapai bibir tebing.
Dalam pada itu di banjar Padukuhan Klangon Ki Rangga dan Ki Waskita masih belum menyadari bahwa bahaya sedang mendekat ke arah mereka. Murid-murid perguruan Sapta Dhahana dari lereng Gunung Tidar secara bergelombang telah memasuki Padukuhan Klangon dari arah barat.
Namun kedua orang yang telah mempelajari ilmu dari sumber yang sama itu ternyata hampir bersamaan panggraita mereka telah menerima getaran-getaran isyarat yang mendebarkan.
Hampir bersamaan keduanya pun segera menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sambil menundukkan kepala dalam-dalam dan memejamkan mata, keduanya berusaha memusatkan segenap nalar dan budi untuk memperjelas getaran-getaran isyarat yang mereka terima.
Sejenak kemudian keduanya telah tenggelam dalam pemusatan nalar dan budi. Namun baru beberapa saat berlalu, mereka berdua telah terganggu dengan kedatangan Ki Jayaraga bertiga.
Segera saja Ki Waskita menghentikan usahanya untuk mempertajam panggraitanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, Ki Waskita pun segera menyapa Ki Jayaraga bertiga.
“Bagaimana keadaan kalian bertiga?” bertanya Ki Waskita kemudian sambil mempersilahkan mereka bertiga untuk duduk di atas tikar, “Apakah semuanya dapat berjalan lancar?”
Ketiga orang itu saling pandang sejenak. Perhatian mereka masih tertuju kepada Ki Rangga yang tampak masih mencoba menghentakkan kemampuan panggraitanya untuk memantau keadaan di sekitar Padukuhan Klangon.
Melihat ketiga orang itu tidak menjawab dan justru telah tertarik melihat apa yang sedang dilakukan oleh Ki Rangga, Ki Waskita pun kemudian berusaha memberikan penjelasan, “Ki Rangga sedang berusaha mempertajam panggraitanya. Agaknya tempat ini sudah tidak nyaman dan aman lagi bagi kita.”
“Benar, Ki Waskita,” tiba-tiba Ki Rangga menyahut sambil membuka kedua matanya dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Sepertinya Padukuhan Klangon ini telah kedatangan banyak orang dari arah utara. Aku tidak tahu mereka berasal dari Perdikan Matesih ataukah Gunung Tidar.”
Mendengar Ki Rangga menyebut gunung Tidar, Ki Jayaraga segera beringsut maju. Katanya kemudian, “Ki Rangga, kami bertiga tadi sempat menjumpai murid-murid gunung Tidar sedang berbondong-bondong menuju ke Padukuhan Klangon,” Ki Jayaraga berhenti sebentar sambil memandang ke arah Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih yang tampak mengangguk-angguk. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Bahkan kami sempat mendengar percakapan mereka. Murid-murid perguruan Sapta Dhahana itu memang sengaja dikirim ke Padukuhan Klangon untuk mengepung serta menutup semua jalan keluar terutama di banjar padukuhan ini.”
Kemudian secara singkat Ki Jayaraga segera menceritakan tentang orang aneh yang telah dengan sengaja menuntun mereka ke tepian kali Praga yang terletak di sebelah barat Perdikan Matesih.
Mendengar cerita Ki Jayaraga, tampak kening Ki Rangga berkerut-merut. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya tentang orang yang dengan sengaja membawa ketiga orang itu ke tepian Kali Progo.
Namun Ki Rangga benar-benar tidak dapat menduga dengan pasti, siapakah sebenarnya orang itu.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian menyadarkan Ki Rangga dari lamunannya, “Apakah tidak sebaiknya kita segera menyingkir?”
Sejenak Ki Rangga memandang ke arah orang-orang yang berada di ruangan itu. Ketika semuanya terlihat mengangguk, Ki Rangga pun segera berkata, “Baiklah, kita segera berkemas. Besok pagi sebelum wayah pasar temawon, salah satu dari kita harus menghubungi Ki Gede Matesih agar membatalkan rencananya untuk mengundang kita.”
Hampir bersamaan yang lainnya telah mengangguk-angguk.
Demikianlah, sejenak kemudian kelima orang itu pun telah berkemas dan meninggalkan tempat itu melalui pintu butulan.
Ketika Ki Rangga sempat melihat para pengawal yang tertidur silang melintang di teritisan, Ki Rangga pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sebuah sirep yang sangat halus,” desis Ki Rangga kemudian sambil berjalan di sebelah Ki Waskita, “Seseorang telah menebarkan sirep yang sangat halus sejak sore tadi. Hampir tidak ada seorang pun dari kita yang menyadarinya.”
“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita sambil mendahului melangkahi tlundak pintu butulan di pagar belakang, “Aku hanya merasakan udara begitu sejuk dan sangat nyaman untuk beristirahat sehingga aku tidak menyadari bahwa seseorang telah menebarkan sirep.”
Glagah Putih yang mendengar kata-kata Ki Waskita hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang mempunyai pengalaman dalam hal ilmu yang dapat membuat orang kehilangan kesadaran itu justru telah tersenyum.
“Diperlukan ketelatenan dalam mengetrapkan sirep sejenis ini,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Berbeda dengan sirep tajam yang dengan serta merta akan mempengaruhi orang dengan rasa kantuk yang tak tertahankan. Sirep halus ini harus terus menerus ditebarkan di sepanjang waktu dengan kekuatan yang tidak terlalu tajam untuk menyamarkan keberadaan sirep itu sendiri.”
Sedangkan Ki Bango Lamatan yang pernah menebarkan sirep di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa waktu yang lalu telah berkata dalam hati, “Aku belum pernah mempelajari sirep jenis ini. Aku lebih senang menebarkan sirep yang langsung dapat membuat orang jatuh pingsan sehingga apa yang menjadi tujuan kita segera dapat tercapai,” Ki bango Lamatan berhenti berangan-angan sejenak. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Ki Bango Lamatan pun meneruskan angan-angannya, “Namun dengan demikian jika ada seseorang yang mempunyai kemampuan mumpuni akan segera menyadari bahwa seseorang sedang menebarkan sirep.”
Tak terasa langkah-langkah mereka telah semakin jauh meninggalkan banjar Padukuhan Klangon.
Dalam pada itu, ketika ayam jantan telah berkokok untuk terakhir kalinya, banjar padukuhan itu benar-benar telah terkepung rapat dari segala penjuru. Tidak ada sejengkal tanah pun yang luput dari pengamatan murid-murid Padepokan Sapta Dhahana. Namun mereka belum menyadari bahwa buruan mereka telah lolos beberapa saat yang lalu.
Ketika kepungan itu semakin merapat dan mulai mendekati regol banjar, mereka pun mulai melihat sebuah keanehan. Tidak tampak seorang penjaga pun yang sedang berdiri di depan regol.
“He? Kemana perginya para penjaga itu?” geram Putut Jangkung yang memimpin pengepungan itu.
“Apakah mereka belum menyadari akan kehadiran kita?” bertanya kawannya yang bertubuh gemuk dan pendek, “Bukankah kita juga telah mengirimkan para cantrik untuk membantu Ki Dukuh?”
Putut Jangkung tidak menjawab. Sejenak dipicingkan kedua matanya untuk mempertajam penglihatannya. Jarak mereka dengan regol banjar itu hanya tinggal beberapa tombak saja, namun Putut Jangkung masih belum melihat seorang penjaga pun yang berdiri di sebelah menyebelah regol.
“Mereka tentu telah tertidur nyenyak di bawah selimut kain panjang mereka!” geram Putut Jangkung. Kemudian katanya kepada orang yang di sebelahnya, “Putut Pendek, ajak tiga cantrik untuk menemanimu melihat keadaan regol terlebih dahulu.”
“Baik kakang,” jawab Putut Pendek sambil memberi isyarat tiga orang cantrik di dekatnya untuk mengawaninya.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, keempat orang itu pun kemudian segera berjalan mengendap-endap mendekati regol. Masing-masing telah menggenggam tangkai senjata mereka dan setiap saat siap untuk dihunus.
“Sepi,” desis Putut Pendek begitu mereka telah semakin dekat dengan regol.
Salah satu cantrik dengan memberanikan diri telah meloncat ke samping regol. Dengan sangat hati-hati dia mencoba menjengukkan kepalanya ke dalam.
Apa yang dilihatnya kemudian benar-benar telah membuat cantrik itu mengumpat-umpat tak ada habis-habisnya. Di sebelah regol bagian dalam memang ada gardu penjagaan tempat para penjaga regol untuk sekedar melepas lelah. Namun gardu penjagaan itu kini telah dipenuhi oleh para cantrik dan pengawal Padukuhan Klangon yang sedang bertugas malam itu. Mereka terlihat tertidur dengan nyenyak. Ada yang tidur silang melintang di lantai gardu, namun ada juga yang tertidur hanya dengan bersandaran dinding.
Putut Pendek yang melihat cantrik itu justru segera melangkah dengan tergesa-gesa. Namun sebagaimana cantrik itu, Putut Pendek pun telah mengumpat dengan umpatan yang sangat kotor begitu mendapatkan para cantrik dan pengawal yang bertugas menjaga regol justru telah tertidur nyenyak.
“Orang-orang yang tak tahu diri!” geram Putut Pendek kemudian sambil menendang salah satu cantrik yang tertidur sambil bersandaran dinding.
Tentu saja cantrik itu terkejut bukan alang-kapalang merasakan sesuatu telah menghantam pinggulnya dengan keras.
“He?!” teriak cantrik itu sambil terlonjak dari duduknya. Dengan cepat dia segera melenting berdiri.
Namun cantrik itu justru telah membeku begitu menyadari siapa yang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam, Putut Pendek dari perguruan Sapta Dhahana.
“Apa kerja kalian, he?!” terdengar Putu Pendek itu membentuk dengan suara menggelegar. Sementara para cantrik dan pengawal yang lainnya segera tersadar dari tidur nyenyak mereka begitu mendengar suara ribut-ribut.
Dalam pada itu Putut Jangkung yang mendengar suara ribut-ribut di regol segera melangkah mendekat. Yang dilihatnya kemudian adalah para cantrik dan pengawal Padukuhan Klangon yang berdiri dengan kebingungan sementara Putut Pendek telah membentak-bentak mereka tak henti-hentinya.
“Sudahlah, Pendek,” berkata Putut Jangkung kemudian sambil melangkah semakin dekat, “Tentu ada alasannya mengapa mereka telah meninggalkan tugas dan lebih memilih tidur di dalam gardu.”
Putut Pendek menarik nafas panjang untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Katanya kemudian sambil berpaling ke arah Putut Jangkung, “Kakang, tidak ada ampun bagi mereka yang telah melalaikan tugas. Setiap kesalahan harus mendapatkan hukuman yang setimpal, terutama para cantrik padepokan Sapta Dhahana.
Sedang para pengawal Padukuhan Klangon akan kita laporkan kepada Ki Dukuh.”
Putut Jangkung mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku setuju dengan alasanmu itu. Namun kita juga tidak boleh menutup mata sebab musabab yang telah membuat mereka lalai dalam menunaikan tugas.”
“Maaf Kakang Jangkung,” tiba-tiba salah satu cantrik memberanikan diri maju selangkah ke depan, “Kami memang mengakui kesalahan kami. Namun apa yang telah terjadi ini benar-benar diluar kuasa kami. Kami merasakan udara tadi malam memang terasa sangat sejuk. Entah awalnya dari mana, tahu-tahu kami telah dikuasai oleh kantuk yang perlahan–lahan mulai menyergap dan membelenggu kami sejak saat sirep bocah tadi.”
Putut Pendek akan menanggapi kata-kata cantrik itu, namun dengan cepat Putut Jangkung memberi isyarat untuk berdiam diri. Berkata Putut Jangkung kemudian, “Mungkin kalian telah terpengaruh oleh sirep atau sejenisnya yang dapat membuat kalian terserang kantuk tak tertahankan,” Putut Jangkung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sebelum Matahari terbenam sore tadi, memang Raden Wirasena telah menerima laporan akan kedatangan orang asing di Padukuhan Klangon ini. Untuk itulah Raden Wirasena telah meminta bantuan Guru agar mengutus beberapa murid padepokan Sapta Dhahana untuk menghubungi dan membantu Ki Dukuh. Ternyata Ki Dukuh pun telah menyanggupi dan menyiapkan para pengawal Dukuh Klangon untuk berjaga-jaga bersama para cantrik di banjar padukuhan. Ternyata kalian di sini hanya pindah tidur saja.”
Para cantrik dan pengawal dukuh Klangon itu semakin menundukkan kepala mereka. Entah apa jawab mereka nantinya jika Ki Dukuh menanyakan hal itu.
“Sudahlah,” tiba-tiba Ki Brukut yang telah berada di samping Putut Jangkung menyela, “Yang terpenting sekarang ini adalah keberadaan orang-orang asing itu. Apakah mereka masih berada di dalam banjar?”
Bagaikan disambar halilintar di siang bolong, serentak Putut Jangkung dan Putut Pendek segera meloncat dan berlari menuju ke dalam banjar.
Setelah melewati pendapa yang tidak begitu luas, dengan tergesa-gesa keduanya telah mendorong pintu pringgitan dengan kasar. Ketika keduanya kemudian telah sampai di ruang dalam, yang mereka jumpai hanyalah selembar tikar usang yang terhampar di tengah-tengah ruangan.
“Setan gendruwo, tetekan!” geram Putut Jangkung sambil berjalan mengitari ruangan. Tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk pada sebuah lobang yang tidak seberapa besar yang terdapat di pojok ruangan.
“Lubang ini terlihat masih baru,” desis Putut Jangkung sambil meraba sudut dinding kayu itu, “Seseorang dengan sengaja telah membuat lubang ini dengan suatu tujuan.”
Sedang Putut Pendek dan Ki Brukut yang datang kemudian ternyata lebih memilih menelusuri dapur untuk kemudian lewat pintu butulan ke halaman belakang.
Ternyata di halaman belakang pun kedua orang itu juga dikejutkan oleh para pengawal padukuhan yang terlihat sedang tidur silang melintang di teritisan.
“Sirep,” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis.
“Siapakah yang telah menebarkan sirep ini?” tiba-tiba Putut Pendek mengajukan sebuah pertanyaan.
Sejenak Ki Brukut termenung. Jawabnya kemudian, “Tidak menutup kemungkinan orang-orang asing itulah yang telah menebarkan sirep dalam usaha mereka untuk meloloskan diri.”
“Tapi menurut cerita para cantrik dan pengawal yang berjaga di regol depan tadi, mereka merasa di serang kantuk mulai saat sirep bocah,” sela Putut Pendek.
“Entahlah,” akhirnya Ki Brukut menggeleng lemah, “Namun yang jelas kelima orang itu telah pergi dan kita harus memberi jawaban kepada Raden Wirasena dan Kiai Damar Sasangka.”
Berdesir dada Putut Pendek. Jika mereka para cantrik perguruan Sapta Dhahana itu tidak mampu menunaikan tugas karena kelalaian atau ketidak-mampuan mereka, tentu tidak segan-segan guru mereka, Kiai Damar Sasangka, akan memberikan hukuman.
“Sebaiknya kita segera mengirim isyarat,” berkata Putut Pendek kemudian sambil melangkah kembali memasuki bangunan induk banjar.
“Sebaiknya memang demikian,” sahut Ki Brukut sambil mengikuti langkah Putut Pendek, “Dengan demikian Raden Wirasena segera dapat mengambil tindakan dan langkah-langkah berikutnya.”

Ternyata di halaman belakang pun kedua orang itu juga dikejutkan oleh para pengawal padukuhan yang terlihat sedang tidur silang melintang di teritisan.
“Sirep,” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis.
 

STSD-03

Bagian 2


Demikianlah setelah berunding terlebih dahulu dengan Putut Jangkung, Putut Pendek segera memerintahkan seorang cantrik yang membawa busur dan anak panah sendaren untuk segera mengirim isyarat ke Gunung Tidar.
Sejenak kemudian kesunyian dini hari langit Padukuhan Klangon itu pun telah dipecahkan oleh suara panah sendaren yang meraung-raung dua kali berturut-turut.
Dalam pada itu langit di sebelah timur telah menampakkan cahaya semburat kemerahan. Mendung sisa hujan semalam telah tertiup angin dan bergerak berarak-arak ke arah selatan. Mungkin menjelang pasar temawon hujan akan turun di laut selatan.
Di Perdikan Matesih, seorang pengawal yang sedang berjaga di sebuah gardu perondan telah mendengar isyarat itu. Dengan bergegas diambilnya busur dan anak panah sendaren yang disimpan di gardu perondan. Namun sebelum tangannya meraih busur dan anak panah itu, terdengar seseorang bergumam di belakangnya.
Ketika dia kemudian memutar tubuhnya, tampak Kepala pengawal Perdikan Matesih berdiri hanya dua langkah di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang.
“Ki Wiyaga,” desis pengawal itu mencoba menyapa.
Ki Wiyaga, kepala pengawal Perdikan Matesih itu tersenyum hambar. Tanyanya kemudian, “Untuk apa engkau akan mengambil busur dan anak panah sendaren itu?”
Pengawal itu tidak menjawab. Dia belum yakin, di pihak manakah Ki Wiyaga berdiri. Memang keadaan di Perdikan Matesih saat itu tidak menentu, terutama para perangkatnya telah terpecah menjadi dua.
Sebagian telah ikut arus para pengikut Trah Sekar Seda Lepen, sedangkan sisanya masih bersetia kepada Ki Gede Matesih sebagai kawula Mataram.
“Engkau tidak usah termakan janji-janji ngayawara itu, Lajuwit,” terdengar suara ki Wiyaga berat dan dalam, “Mereka adalah segolongan orang-orang yang sedang kalap dan edan kamukten. Apapun akan diterjang demi meraih mimpi mereka tanpa menyadari bahwa hari sudah menjelang siang dan bukan waktunya lagi bagi mereka untuk bermimpi.”
Lajuwit termenung sejenak. Ada sedikit kebimbangan di dalam hati untuk sekedar menyampaikan apa yang menjadi ganjalan hatinya.
Agaknya Ki Wiyaga dapat membaca raut wajah Lajuwit yang gelisah. Maka katanya kemudian, “Lajuwit, jangan ragu-ragu untuk menyampaikan apa yang tersirat di dalam hatimu. Mungkin pandangan kita berbeda. Namun setelah engkau menyampaikan apa yang telah menjadi arah kiblatmu selama ini, kita dapat saling berbagai dan mempelajari, arah manakah sebenarnya yang paling masuk akal untuk kita ikuti?”
Kembali Lajuwit termenung namun hanya sekejap. Katanya kemudian, “Ki Wiyaga, sebenarnya janji-janji yang disampaikan oleh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu terlalu jauh dari kenyataan. Namun jika kita tetap berharap akan adanya perubahan hidup kita dibawah pemerintahan yang sekarang ini, sepertinya itu juga sebuah mimpi. Kedua-duanya bagiku memang hanya sebatas mimpi, namun jika aku mengikuti Trah Sekar Seda Lepen, setidaknya aku telah menggantungkan sebuah harapan, bukan sekedar mimpi sebagaimana yang telah terjadi saat ini.”
Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam. Dilemparkan pandangan matanya ke jauh ke depan, ke arah tanah pesawahan yang terbentang luas yang mulai digarap.
“Lajuwit,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil tangan kanannya menunjuk jauh ke tanah pesawahan, “Lihatlah tanah pesawahan yang luas itu. Itu bukan sekedar mimpi. Itu adalah kenyataan yang harus kita garap, kita kelola sehingga pada saatnya nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat yang dapat dipetik turun temurun sampai anak cucu kita.”
Namun jawaban Lajuwit sungguh diluar dugaan kepala pengawal Perdikan Matesih itu.
Jawab Lajuwit kemudian, “Maafkan aku Ki Wiyaga. Bagiku tanah pesawahan itu bukan kenyataan lagi, tapi itu mimpi buruk yang akan terus menghantui sampai anak cucu kita nanti. Tanah-tanah itu dulunya milik para petani, namun kini para tuan tanahlah yang menguasai. Di musim kemarau ketika petak-petak sawah tidak dapat menghasilkan lagi, sedangkan para petani mempunyai keluarga dan anak-anak yang mulut mereka harus tetap disuapi setiap hari, mereka pun tidak mempunyai pilihan lagi. Atau membiarkan saja anak dan istri kelaparan dan mati sehingga hidup merekapun tidak akan berarti lagi.”
“Cukup!” bentak Ki Wiyaga, “Tidak usah menggurui aku. Aku tahu para petani telah terlilit hutang sampai mencekik leher mereka sendiri. Akhirnya sepetak sawah sebagai sumber hidup mereka pun kini sudah terjual kepada para tuan tanah itu dan kini mereka menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri. Tapi itu semua akibat dari cara hidup mereka sendiri. Disaat panen mereka tidak berusaha berhemat sehingga di saat musim kering tiba, mereka menjadi kelaparan dan akhirnya hanya menggantungkan hutang kepada para tuan tanah itu.”
Lajuwit hanya berdiam diri saja mendengar bentakan Ki Wiyaga. Namun diam-diam dia telah mempersiapkan diri. Apa boleh buat, jika perselisihan tidak dapat dihindarkan lagi, dia telah menyiapkan dirinya lahir maupun batin.
“Nah,” berkata Ki Wiyaga kemudian, “Agaknya memang kita telah berselisih jalan. Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersetia kepada Ki Gede Matesih sebagai kawula Mataram.”
Mendengar kata-kata terakhir kepala pengawal Perdikan Matesih ini, Lajuwit sudah dapat menduga akhir dari perdebatan itu. Maka katanya kemudian, “Maafkan aku Ki Wiyaga. Aku sudah terlanjur mengikatkan diriku dengan Trah Sekar Seda Lepen. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.”
Selesai berkata demikian Lajuwit segera menggeser kaki kanannya selangkah ke samping. Sedangkan kedua tangannya telah terkepal di kedua sisi lambungnya.
Ki Wiyaga yang melihat Lajuwit telah mempersiapkan diri, tidak ingin ketinggalan. Maka segera saja Ki Wiyaga menekuk lutut salah satu kakinya sambil bergeser setapak ke belakang.
Ternyata Lajuwit tidak ingin membuang-buang waktu. Dia harus segera mengirim panah sendaren untuk menyambung pesan yang telah diterimanya dari Padukuhan Klangon. Maka sambil membentuk keras, serangannya pun telah meluncur mengarah dada.
Tentu saja Ki Wiyaga tidak ingin dadanya rontok mendapat serangan lawan. Dengan sedikit menggeser kakinya ke samping serangan kaki lawannya itu lewat sejengkal dari dadanya. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, tangan kiri Ki Wiyaga pun mencoba menangkap pergelangan kaki Lajuwit.
Menyadari lawannya mencoba menangkap pergelangan kakinya, Lajuwit segera mengubah arah serangannya. Ketika kaki kanannya sedang terjulur lurus, tiba-tiba saja lututnya telah ditekuk. Kemudian dengan bertumpu pada tumit kaki yang lainnya, tubuhnya pun berputar untuk mengarahkan lututnya menghantam dada lawan.
Terkejut Ki Wiyaga mendapat serangan susulan itu. Namun kepala pengawal Perdikan Matesih itu tidak menjadi gugup. Dengan cepat tangannya yang sedianya akan menangkap pergelangan kaki lawan itu segera ditarik dan disilangkan di depan dadanya.
Sejenak kemudian terjadilah benturan yang cukup keras. Kedua-duanya telah meloncat ke belakang untuk mengambil jarak.
Untuk sejenak Ki Wiyaga termangu-mangu. Sebenarnyalah Ki Wiyaga sebagai kepala pengawal Perdikan Matesih merasa sayang. Lajuwit adalah salah seorang pengawal Perdikan Matesih yang dapat diandalkan karena Lajuwit pernah berguru dan menimba ilmu di padepokan Sapta Dhahana. Padepokan yang terletak di lereng Gunung Tidar di sebelah timur Perdikan Matesih.
“Ki Wiyaga,” tiba-tiba terdengar Lajuwit bertanya begitu melihat kepala pengawal itu termangu-mangu sejenak, “Apakah Ki Wiyaga berubah pikiran? Ingat, Perguruan gunung Tidar telah berdiri di belakang perjuangan Trah Sekar Seda Lepen. Aku kira Ki Wiyaga cukup menyadari kekuatan yang tersembunyi di Gunung Tidar. Kekuatan yang aku yakin akan mampu mengimbangi Mataram.”
“Cukup!” kembali Ki Wiyaga membentak, “Kita buktikan dulu semua itu.”
Selesai berkata demikian, Ki Wiyaga segera mempersiapkan serangannya. Bagaikan tatit yang meloncat di udara, tubuh Ki Wiyaga pun melesat ke depan dengan sebuah serangan yang mengarah ke ulu hati.
Demikianlah sejenak kemudian pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Keduanya adalah pengawal Perdikan Matesih yang dapat dibanggakan, namun yang ternyata mempunyai kiblat yang berbeda sehingga harus berselisih jalan.
Dalam pada itu, tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata sedang mengawasi jalannya pertempuran itu. Orang-orang yang sedang bersembunyi di balik tanggul dekat gardu perondan itu telah melihat dan mendengar semua yang telah terjadi.
“Itulah gambaran keadaan para perangkat Perdikan Matesih sekarang ini,” desis orang yang usianya sudah lewat setengah abad namun masih tampak muda dan gagah, “Ki Gede Matesih benar-benar prihatin dengan keadaan kawulanya. Apalagi para perangkat tanah perdikan sudah banyak yang terpengaruh dengan janji-janji Raden Mas Harya Surengpati.”
“Kakang,” tiba-tiba terdengar seorang yang masih cukup muda menyela, “Bagaimana jika kita datangi saja rumah tempat kediaman Raden Surengpati itu di Matesih dan kita hancurkan?”
“Tidak semudah itu Glagah Putih,” jawab orang itu, “Dengan demikian kita akan memancing para pengikut Trah Sekar Seda Lepen serta para Cantrik perguruan Sapta Dhahana turun berbondong-bondong ke Perdikan Matesih. Kita akan kesulitan untuk melawan mereka semua.”
“Ki Rangga,” tiba-tiba seseorang yang sudah tua menyahut cepat, “Kita harus ikut mencegah berita lolosnya kita dari banjar padukuhan itu sampai ke telinga orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen.”
“Benar Ki Jayaraga,” jawab orang itu yang ternyata Ki Rangga Agung Sedayu, “Aku mempunyai rencana, selagi para murid padepokan Sapta Dhahana dan para pengawal Padukuhan Klangon disibukkan di banjar Padukuhan Klangon, kita dapat bergerak menyelidiki keadaan di Gunung Tidar.”
“Bagaimana rencana kakang?” sela Glagah Putih tidak sabar.
Ki Rangga menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab. Dilemparkan pandangan matanya kearah pertempuran antara kedua pengawal perdikan Matesih itu. Tampak Ki Wiyaga sedikit demi sedikit mulai tampak menguasai jalannya pertempuran.
“Kita sebaiknya berpencar untuk menghindari kemungkinan adanya pengamatan para telik sandi lawan,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kita akan bergerak dalam dua kelompok. Aku akan bersama dengan Ki Waskita bergerak menyusur ke arah timur lereng Gunung Tidar. Sementara Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih menyusur sebelah barat lereng Gunung Tidar.”
Tampak kepala orang-orang yang berada di situ terangguk-angguk. Agaknya semuanya setuju dengan rencana Ki Rangga.
“Ngger,’ tiba-tiba Ki Waskita berkata setelah mereka terdiam sejenak, “Bagaimana dengan Ki Gede Matesih? Ki Gede telah berencana untuk mengundang kita sebagai tamu-tamunya, namun ternyata keadaan telah berkembang lain. Kita harus memberitahu perkembangan keadaan ini kepada ki Gede.”
Mendengar pertanyaan Ki Waskita itu, tanpa sadar Ki Rangga telah berpaling ke medan pertempuran antara kedua pengawal itu. Agaknya orang-orang itu dapat membaca pikiran Ki Rangga. Maka kata Ki Waskita kemudian, “Sebuah pemikiran yang bagus, ngger. Kita akan meminta Ki Wiyaga untuk memberitahu Ki Gede.”
Yang mendengar kata-kata Ki Waskita itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Demikianlah sejenak kemudian, Ki Wiyaga benar-benar telah menguasai pertempuran. Lajuwit yang berbadan tinggi besar itu tidak mampu mengatasi kelincahan Ki Wiyaga yang berbadan sedikit lebih pendek. Pengalaman serta ketekunan yang dimiliki oleh kepala pengawal Perdikan Matesih itu selama ini ternyata telah menunjukkan hasil yang gemilang. Lajuwit benar-benar sudah hampir tak berdaya.
Ketika sebuah pukulan kembali mendarat di bagian tubuh Lajuwit, salah satu pengawal yang pernah menimba ilmu di Perguruan Sapta Dhahana itu telah terhuyung-huyung ke samping. Dengan menggeretakkan giginya, Lajuwit mencoba memperbaiki kedudukannya. Namun sebelum tubuhnya benar-benar berdiri tegak, ujung tumit kaki Ki Wiyaga telah mendarat di lambungnya.
Terdengar keluhan tertahan dari mulut Lajuwit. Tanpa dapat dikendalikan lagi, tubuhnya pun terdorong beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh terlentang di atas tanah.
Ki Wiyaga yang melihat lawannya telah terlempar dan jatuh terlentang di atas tanah telah menghentikan serangannya.
Namun yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan Ki Wiyaga maupun orang-orang yang bersembunyi di balik tanggul itu. Lajuwit yang terlihat sudah tak berdaya itu, tiba-tiba dengan susah payah telah bangkit berdiri. Dengan berdiri sedikit terhuyung-huyung salah satu tangannya telah mengambil sesuatu dari balik bajunya. Belum sempat Ki Wiyaga menyadari apa yang akan dilakukan oleh Lajuwit, tiba-tiba saja dua buah pisau kecil berwarna gelap telah meluncur menyambar dadanya.

Jarak Lajuwit dengan Ki Wiyaga hanya sekitar empat langkah sehingga Ki Wiyaga benar-benar sedang dalam kesulitan. Sambaran pisau yang pertama masih sempat dihindarinya dengan memiringkan tubuhnya, namun pisau yang kedua telah berhasil menyambar pundaknya.
Terdengar Ki Wiyaga berdesis tertahan. Mulutnya tampak menyeringai menahan rasa pedih yang menyengat pundaknya. Luka itu memang tidak terlalu dalam, namun darah yang mengalir dari luka itu berwarna kehitam hitaman.
“Racun!” seru Ki Wiyaga sambil berusaha menekan sekitar luka itu agar racun yang terlanjur memasuki tubuhnya tidak menjalar mengikuti arus darahnya.
Melihat Ki Wiyaga sibuk dengan lukanya, Lajuwit ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat diraihnya lagi sebilah pisau belati dari balik bajunya. Sambil tertawa penuh rasa kemenangan, sekali lagi sebuah pisau meluncur dari tangannya mengarah ke leher Ki Wiyaga.
Namun di saat yang menentukan itu, tiba-tiba saja dari balik tanggul di dekat gardu perondan meluncur sebuah batu sebesar kepalan orang dewasa menyongsong pisau belati yang mengarah ke leher Ki Wiyaga.
Sejenak kemudian terdengar benturan yang cukup keras. Batu sebesar kepalan orang dewasa itu telah menghantam pisau belati itu. Akibatnya adalah diluar dugaan semua orang. Kekuatan lontaran batu yang berlebihan itu ternyata telah menghantam balik pisau belati itu kembali ke pemiliknya. Arah lontaran batu itu memang segaris dengan arah pisau belati itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pisau belati itu pun dengan deras berbalik ke pemiliknya dan dengan tepat menghunjam jantungnya.
Lajuwit hanya sempat mengeluh pendek sebelum tubuhnya terdorong selangkah ke belakang. Sejenak tubuh tinggi besar itu masih limbung sebelum akhirnya jatuh terjerembab tidak bernafas lagi.
Dalam pada itu kelima orang yang bersembunyi di balik tanggul itu pun telah terkejut bukan alang kepalang, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan segera mereka pun kemudian berloncatan keluar dari persembunyian mereka dan berlari menuju ke bekas medan pertempuran kedua pengawal itu.
Ki Rangga segera berlari ke tempat Ki Wiyaga yang tampak terjatuh pada kedua lututnya. Wajahnya pucat serta bibirnya bergetar menahan sakit di pundaknya akibat racun yang mulai menjalar di aliran darahnya. Pandangan matanya mulai gelap dan kesadarannya pun perlahan menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang limbung.
Dengan cepat Ki Rangga segera menangkap tubuh ki Wiyaga yang terlihat mulai limbung akan terjatuh. Setelah dibaringkan di atas tanah, dengan cekatan jari-jemari Ki Rangga segera memijat urat-urat nadi yang berada di sekitar pundak Ki Wiyaga agar racun itu tidak menjalar semakin jauh.
“Kakang,” bisik Glagah Putih yang telah ikut berlutut di sisi tubuh Ki Wiyaga, “Ini barangkali dapat membantu kakang.”
Ki Rangga berpaling. Dilihatnya Glagah Putih mengangsurkan sebuah cincin bermata batu yang berwarna kebiru-biruan dengan garis-garis putih di dalamnya.
Sejenak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil tersenyum. Cincin bermata batu itu mengingatkan Ki Rangga kepada gurunya, Kiai Gringsing.
“Terima kasih Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menerima uluran tangan Glagah Putih. Dengan tanpa membuang waktu lagi, ditempelkannya batu yang terdapat pada cincin itu di luka Ki Wiyaga.
Beberapa saat kemudian, tampak warna garis-garis putih di dalam batu itu berubah menjadi kehitam-hitaman, sedangkan luka yang terdapat di pundak Ki Wiyaga pun berangsur-angsur mulai mengalirkan darah yang berwarna merah segar, tidak lagi kehitam-hitaman.
“Syukurlah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil mengangkat cincin itu dari luka ki Wiyaga dan kemudian mengembalikannya kepada Glagah Putih, “Agaknya Yang Maha Agung telah mengabulkan permohonan dan usaha kita.”
“Ya ngger,” terdengar suara Ki Waskita yang telah ikut berlutut di sisi tubuh Ki Wiyaga, “Racun ini sangat kuat dan jahat. Agaknya orang-orang Gunung Tidur memang senang bermain-main dengan racun.”
Ki Rangga menganggukkan kepalanya sambil tangannya sibuk menaburkan sejenis bubuk berwarna kehijau-hijaun di atas luka Ki Wiyaga. Sejenak kemudian luka itu pun telah mampat walaupun masih belum sempurna.
“Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian tanpa berpaling, “Tolong carikan air.”
“Baik kakang,” jawab Glagah Putih dengan serta merta sambil bangkit berdiri.
Sepeninggal Glagah Putih, Ki Waskita segera berbisik, “Ngger. Agaknya tenaga lontaranmu terlalu kuat sehingga pisau itu telah berbalik arah dan mengenai orang itu sendiri.”
Ki Rangga menarik nafas panjang sambil mengangkat kepalanya. Dilihatnya Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan sedang melihat keadaan Lajuwit yang telah terbujur menjadi mayat. Ada rasa penyesalan di dalam hati ki Rangga, namun semua itu dilakukan tanpa kesengajaan sama sekali. Ki Rangga tidak menduga bahwa pengawal itu akan berbuat curang selagi Ki Wiyaga lengah.
“Aku betul-betul tidak sengaja, Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membebat luka yang ada di pundak Ki Wiyaga dengan secarik kain yang didapat dari sobekan kain panjang kepala pengawal itu, “Aku benar-benar dicengkam kecemasan yang luar biasa begitu melihat pisau berikutnya itu meluncur ke arah leher Ki Wiyaga yang sedang tak berdaya.”
Ki Waskita tidak menjawab hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk. Sementara Glagah Putih telah datang sambil membawa kendi yang penuh berisi air.
“Dari mana engkau dapatkan kendi ini, Glagah Putih?” bertanya Ki Rangga sambil menerima kendi itu dari tangan adik sepupunya itu.
Glagah Putih tersenyum sambil kembali berlutut. Jawabnya kemudian, “Di setiap gardu perondan pasti disiapkan air minum, namun kadang sudah kosong tidak ada isinya. Untunglah kendi ini masih cukup banyak isinya.”
Ki Rangga tersenyum sambil mengambil sebutir obat yang berwarna hijau dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian katanya kepada Glagah Putih, “Bantu aku mengangkat kepalanya.”
Dengan cepat Glagah Putih segera menyangga kepala Ki Wiyaga. Sementara Ki Rangga telah membuka mulut Ki Wiyaga dan memasukkan sebutir obat yang berwarna hijau itu ke dalam mulutnya. Sambil memijat urat leher Ki Wiyaga dengan tangan kirinya, tangan kanan Ki Rangga meraih kendi berisi air itu dan menuangkan isinya perlahan-lahan ke mulut Ki Wiyaga. Sejenak kemudian obat itu pun telah memasuki perut Ki Wiyaga.
“Turunkan,” perintah Ki Rangga kepada Glagah Putih. Dengan perlahan Glagah Putih pun kemudian menurunkan kepala Ki Wiyaga kembali ke atas tanah.
Demikianlah Ki Rangga pun kemudian segera berusaha untuk menyadarkan Ki Wiyaga. Dengan pijatan perlahan di belakang lehernya, Ki Wiyaga pun tampak mulai menunjukkan tanda-tanda kesadarannya.
Ketika sekali lagi Ki Rangga mengusap tengkuknya, Ki Wiyaga pun telah berdesah perlahan sambil menarik nafas panjang dan menggeliat. Ketika Ki Wiyaga pertama kali membuka matanya, yang tampak kemudian hanyalah bayangan kabur beberapa orang yang sedang mengerumuninya.
Setelah mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali, barulah Ki Wiyaga melihat dengan jelas orang-orang yang sedang mengerumuninya, namun tak satu pun dari mereka yang dikenalnya.
“Siapa?’ bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil mencoba bangkit berdiri. Ki Rangga pun segera membantu kepala pengawal perdikan Matesih itu untuk duduk.
“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah melihat Ki Wiyaga duduk dengan sempurna, “Kami berlima adalah para pengembara dari Prambanan yang kebetulan saja sedang lewat di tempat ini dan melihat kalian sedang bertempur.”
Terkejut Ki Wiyaga mendengar pengakuan Ki Rangga. Tanpa sadar diedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Ketika pandangan matanya kemudian tertumbuk pada Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang sedang mengangkat jasad Lajuwit untuk dibawa ke gardu, wajah Ki Wiyaga pun telah menegang.
“Apa yang telah mereka lakukan pada Lajuwit?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir ki Wiyaga.
“Tenanglah Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menahan tubuh kepala pengawal itu yang tiba-tiba saja akan bangkit berdiri, “Temanmu itu telah mati terkena pisau beracunnya sendiri.”
“He?” seru Ki Wiyaga seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, dia melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana itu bisa terjadi?”
Orang-orang yang sedang mengerumuni Ki Wiyaga itu saling pandang sejenak. Ki Rangga lah yang akhirnya menjawab, “Ki Sanak, dia kurang hati-hati mempergunakan pisau belatinya yang sangat beracun itu sehingga telah merenggut nyawanya sendiri.”
Ki Wiyaga mengerutkan keningnya mendengar penjelasan ki Rangga. Pada saat dia sibuk dengan lukanya beberapa saat tadi, dia telah mendengar sebuah benturan. Namun selanjutnya dia sudah tidak ingat lagi.
“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membantu Ki Wiyaga ketika kepala pengawal itu mencoba bangkit dari duduknya, “Sekarang sebaiknya segera kita selenggarakan jasad pengawal itu.”
“Ya Ki Wiyaga,” sahut Ki Waskita, “Bukankah nama Ki Sanak, Ki Wiyaga? Kepala pengawal Perdikan Matesih?”
Ki Wiyaga yang sudah berdiri di atas kedua kakinya berpaling ke arah Ki Waskita. Pertanyaan Ki Waskita tidak dijawabnya, justru dia telah balik bertanya, “Dari mana Ki Sanak mengetahuinya?”
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya kemudian, “Sedari tadi kami sudah berada di balik tanggul dekat gardu itu.”
Ki Wiyaga termangu-mangu. Berbagai dugaan muncul dalam benaknya tentang kelima orang yang mengaku berasal dari Prambanan itu.
Ketika Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan kemudian berjalan mendekat, Ki Wiyaga pun tiba-tiba telah melangkah mundur sambil berdesis, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”
“Ki Wiyaga,” jawab Ki Rangga sambil maju selangkah, “Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ki Waskita tadi, kami berlima adalah pengembara dari Prambanan. Kami tidak akan mengganggu keberadaan Perdikan Matesih, justru kami ingin membantu tanah Perdikan Matesih ini.”
Kepala pengawal perdikan Matesih itu sejenak mengerutkan keningnya. Tentu saja dia tidak dapat mempercayai keterangan Ki Rangga begitu saja. Tanah Perdikan Matesih sedang mengalami goncangan dan setiap orang dapat saja mengaku sebagai kawan atau bahkan lawan.
“Ki Wiyaga,” berkata Ki Rangga selanjutnya begitu menyadari keragu-raguan tampak menyelimuti wajah Ki Wiyaga, “Percayalah, kami berlima tidak mempunyai maksud jelek, jika kami adalah bagian dari orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu, tentu kami akan membiarkan saja Ki Wiyaga terluka dan mati direnggut oleh racun yang sangat kuat dan jahat.”
Terkejut Ki Wiyaga mendengar keterangan Ki Rangga. Tanpa sadar dia meraba pundak kirinya yang dibebat dengan sobekan kain panjangnya sendiri. Menyadari akan keterlanjurannya, Ki Wiyaga pun segera maju mendekati Ki Rangga.
“Maafkan akan keterlanjuranku Ki Sanak,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil berjalan memutar dan menjabat tangan kelima orang itu. Ki Rangga dan kawan-kawannya pun kemudian menyambut uluran tangan Ki Wiyaga sambil satu-persatu menyebutkan nama mereka.
“Nah, Ki Sedayu,” berkata Ki Wiyaga kemudian setelah mengetahui nama Ki Rangga, “Apakah yang dapat aku bantu?”
Sejenak Ki Rangga memandang ke arah kawan-kawannya, namun agaknya kali ini terutama Ki Waskita telah menyerahkan purba wasesa kepada Ki Rangga. Maka jawab Ki Rangga kemudian, “Hari telah semakin terang. Sebaiknya jasad pengawal itu segera dikuburkan.”
“Apakah pengawal itu mempunyai keluarga?” tiba-tiba Glagah Putih bertanya.
Ki Wiyaga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Sebenarnya Lajuwit bukanlah orang Matesih. Dia datang entah dari mana dan berguru ke padepokan Sapta Dhahana. Selang beberapa saat kemudian setelah dia merasa cukup menimba ilmu, dia telah turun gunung dan menetap di Matesih.”
“Dan kemudian menjadi salah satu pengawal perdikan Matesih,” sahut Glagah Putih.
“Aku lah yang telah mengusulkan kepada Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga dengan serta merta, “Karena aku melihat kemampuannya yang lebih dari cukup untuk membantu menjaga keamanan di Matesih.”

…..Namun sebelum tangannya meraih busur dan anak panah itu, terdengar seseorang bergumam di belakangnya.
Orang-orang yang hadir di tempat itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sebenarnya lah Lajuwit memang masih mempunyai hubungan yang erat dengan Perguruan Sapta Dhahana.
“Nah, sekarang bagaimana dengan mayat itu?” sekarang giliran Ki Jayaraga yang bertanya.
Mendapatkan pertanyaan Ki Jayaraga, Ki Wiyaga pun segera berpaling ke arah Ki Rangga.
“Ki Wiyaga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Sebaiknya engkau melaporkan kejadian ini terlebih dahulu kepada Ki Gede. Demikian juga dengan keberadaan kami berlima. Sampaikan kepada Ki Gede bahwa Ki Gede tidak usah mengirim utusan untuk menjemput kami di banjar Padukuhan Klangon. Sampaikan kepada Ki Gede bahwa kami berlima telah memutuskan untuk lolos dari banjar karena menjelang dini hari tadi, banjar Klangon telah dikepung oleh murid-murid dari perguruan Sapta Dhahana.”
Terkejut Ki Wiyaga mendengar keterangan Ki Rangga. Dengan segera dia membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan aku yang terlalu deksura terhadap kalian berlima. Aku tidak tahu kalau ternyata kalian adalah tamu-tamu Ki Gede. Sesungguhnya aku telah ditugasi oleh Ki Gede untuk menjemput kalian berlima nanti menjelang saat pasar temawon.”
“Sudahlah Ki Wiyaga,” sahut Ki Jayaraga sambil tertawa pendek, “Kami bukan para bangsawan yang harus dihormati dengan berlebihan. Kami memang masih terhitung saudara jauh dari Ki Gede.”
Ki Wiyaga mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dalam hati Ki Wiyaga bersyukur. Agaknya kelima tamu Ki Gede ini yang akan membantu mengurai benang kusut yang sedang terjadi di Perdikan Matesih.
“Nah, sekarang apakah Ki Sanak berlima akan pergi ke kediaman Ki Gede?” bertanya Ki Wiyaga kemudian.
“O, tidak, tidak,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Kami masih ada urusan yang harus kami selesaikan. Sampaikan kepada Ki Gede, setelah urusan kami selesai, kami pasti akan menghadap.”
Ki Wiyaga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tidak berani bertanya lebih jauh tentang urusan kelima orang itu.
“Sebaiknya jasad pengawal itu disembunyikan terlebih dahulu sambil menunggu arahan Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
“Ki Rangga benar,” sahut Ki Waskita, “Ki Wiyaga dapat memohon arahan Ki Gede tentang jasad pengawal itu, dan jika memang harus dikuburkan, Ki Wiyaga dapat meminta bantuan kawan-kawan Ki Wiyaga yang dapat dipercaya.”
Ki Wiyaga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.
“Marilah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil melangkah mendekati gardu, “Kita sembunyikan jasad pengawal itu di bawah gardu.”
Demikianlah sejenak kemudian orang–orang itu segera menyembunyikan mayat itu di bawah gardu. Glagah Putih telah mencari rumput-rumput kering untuk menimbuni mayat itu agar tidak terlihat apabila ada orang yang lewat di sekitar tempat itu.
Setelah pekerjaan itu selesai, mereka pun segera berpencar, Ki Wiyaga berjalan menuju ke kediaman Ki Gede, sedangkan kelima orang itu pun telah menempuh jalan mereka sendiri-sendiri sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.
Dalam pada itu Matahari telah semakin terang sinarnya. Butir-butir embun yang menebar di atas rerumputan serta bergelayutan di pucuk-pucuk dedaunan telah menguap. Burung-burung pun berkicau tak henti-hentinya menyambut terbitnya Matahari pagi.
Di padepokan Sapta Dhahana, beberapa cantrik tampak sedang berjaga-jaga di regol depan. Mereka bersenda-gurau dengan riangnya seolah-olah tidak ada beban sama sekali sehingga tidak menyadari bahwa seseorang sedang berjalan menuju ke arah mereka.
Ketika jarak orang itu tinggal beberapa langkah saja dari regol, barulah para cantrik itu menyadari atas kelengahan mereka. Segera saja mereka berloncatan ke tengah-tengah regol menghadang orang itu.
“Berhenti!” bentak cantrik tertua diantara mereka, “Kakek tua, engkau harus minta ijin dulu kepada kami jika ingin memasuki padepokan.”
Orang yang mendatangi regol padepokan itu memang seorang yang sudah sangat renta. Tubuhnya kurus kering dan hanya tubuh bagian bawahnya saja yang dibalut dengan selembar kain panjang yang sangat kumal dan lusuh. Sedangkan bagian atas tubuhnya telanjang sehingga terlihat dengan jelas tulang-tulang iganya yang menonjol. Sementara rambutnya yang panjang dan gimbali itu digelung ke atas dan diikat dengan secarik kain usang.
“Kakek!” kembali cantrik tertua itu membentak begitu dilihatnya kakek tua itu tidak menanggapinya justru malah berdiri sambil memejamkan kedua matanya. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang mengikuti aliran angin yang bertiup cukup keras pagi itu.
Melihat kakek itu acuh tak acuh, salah satu cantrik yang berbadan tinggi besar segera maju ke depan. Tanpa basa-basi dicengkeramnya leher kakek tua itu dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mengepal keras dan disorongkannya tepat di depan hidung kakek tua itu.
“Jangan macam-macam gembel tua!” geram cantrik itu kemudian, “Di sini padepokan Sapta Dhahana, tempat orang-orang sakti. Bukan gardu perondan yang dapat engkau singgahi dengan seenaknya!”
Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan setiap orang. Tiba-tiba saja kakek tua itu telah membuka mulutnya lebar-lebar dan kemudian menjulurkan lidahnya keluar. Lidah yang panjang itu pun kemudian menjilat pergelangan tangan cantrik itu.
Bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa, cantrik itu pun telah menjerit keras sambil meloncat mundur. Dengan tergesa-gesa diperiksanya pergelangan tangan kirinya. Beberapa kawannya pun telah mendekat untuk melihat apa sebenarnya yang telah terjadi.
Sejenak kemudian, setiap jantung orang yang berada di tempat itu pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Kulit pergelangan tangan kiri cantrik itu ternyata telah hangus terbakar.
“Gila!” hampir setiap mulut telah mengumpat. Namun kini mereka tidak berani lagi dengan gegabah untuk mendekati kakek aneh itu.
“Kau, pergilah ke dalam,” perintah cantrik tertua itu kemudian kepada cantrik yang pergelangan tangannya terluka, “Laporkan kejadian ini kepada Kakang Putut Sambernyawa, sekalian ke balai pengobatan untuk mengobati lukamu.”
“Baik, kakang,” jawab cantrik itu. Dengan mulut menyeringai menahan sakit dan tangan kanan menekan seputar pergelangan tangan kirinya, cantrik itupun segera bergeser mundur dan kemudian berlari ke dalam padepokan.
Dalam pada itu, kakek aneh itu ternyata tetap pada sikapnya semula. Berdiri tegak sambil memejamkan kedua matanya dengan tubuh yang bergoyang-goyang mengikuti hembusan angin pagi.
Dengan memberi isyarat kepada kawan-kawannya terlebih dahulu, cantrik tertua itupun kemudian segera bergeser mundur selangkah. Kawan-kawannya ternyata telah tanggap dan segera mengikuti bergerak setapak demi setapak sambil berpencar sehingga sejenak kemudian, kakek tua itu telah berada di dalam lingkaran para cantrik.
Untuk beberapa saat suasana benar-benar menegangkan. Para cantrik itu tidak ada yang berani mendahului bergerak. Mereka hanya berusaha menahan kakek tua itu agar tidak meloloskan diri sambil menunggu kedatangan cantrik tertua, Putut Sambernyawa.
Dalam keheningan yang menegangkan itu, tiba-tiba saja kakek tua itu dengan tetap memejamkan keduanya matanya, bibirnya telah mengeluarkan suara siulan yang aneh. Pada awalnya suara siulan itu terdengar seperti desis seekor ular. Namun lama kelamaan suara siulan itu terdengar meninggi mirip seperti suara jeritan seekor burung elang. Sesaat kemudian tiab-tiba saja suara siulan itu menurun dan terdengar menyayat seperti rintihan seekor burung kedasih.
Para cantrik yang mendengarkan suara siulan yang berubah-ubah itu menjadi heran. Mereka tidak mengetahui maksud dari kakek aneh itu. Mereka hanya dapat berdiri termangu-mangu sambil tetap tidak meninggalkan kewaspadaan.
Dalam pada itu, di ruang dalam padepokan, Raden Wirasena yang sedang duduk-duduk ditemani Kiai Damar Sasangka telah dikejutkan oleh suara siulan aneh yang terdengar sangat jelas dari ruang dalam itu.
“Begawan Cipta Hening?” desis Raden Wirasena. Namun terdengar nada suaranya sedikit ragu-ragu.
“He?!” Kiai Damar Sasangka pun tak kalah terkejutnya mendengar Raden Wirasena telah menyebut sebuah nama.
“Tidak mungkin Raden,” berkata Kiai Damar Sasangka kemudian, “Keberadaan Begawan itu sepertinya hanya sebuah dongeng belaka. Jika memang dia itu benar-benar ada dan masih hidup sampai sekarang ini, tentu umurnya telah mencapai ratusan tahun lebih.”
Sejenak Raden Wirasena termenung. Memang Raden Wirasena sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening itu.
“Aku memang belum pernah bertemu secara pribadi dengan begawan itu,” berkata Raden Wirasena dalam hati, “Sesuai saran Panembahan Cahaya Warastra, sebelum pecah perang di Menoreh, seharusnya aku sudah menghadap Begawan Cipta Hening di puncak pebukitan Menoreh,” Raden Wirasena berhenti berangan-angan. Lanjutnya kemudian, “Namun aku belum sempat dan Panembahan Cahya Warastra ternyata telah terbunuh di Menoreh.”
Seakan masih jelas tergambar dalam ingatan Raden Wirasena, ketika suatu hari dia sedang mengunjungi padepokan Cahya Warastra. Panembahan Cahya Warastra pada saat itu sedang mempersiapkan penyerbuan ke Menoreh dan berpesan untuk meminta bantuan dan dukungan kepada Begawan Cipta Hening yang sedang bertapa di pucak pebukitan Menoreh. Namun belum sempat Raden Wirasena mendaki pebukitan Menoreh, terdengar kabar bahwa Panembahan Cahaya Warastra telah terbunuh dalam peperangan di Menoreh.
“Walaupun aku belum pernah bertemu dengan Begawan itu, namun Panembahan telah memberiku petunjuk ciri-ciri orang yang bernama Begawan Cipta Hening itu” berkata Raden Wirasesa dalam hati, “Panembahan Cahaya Warastra juga telah mengajari aku bagaimana cara menghubungi Begawan itu dengan sebuah isyarat khusus,”
Raden Wirasena berhenti berangan-angan sejenak. Lanjutnya, “Mungkin sebelum pecah perang di Menoreh, Panembahan itu masih sempat menghadap Begawan dan menyampaikan keinginanku untuk memohon bantuannya.”
Ketika suara siulan itu tiba-tiba terdengar melengking tinggi, Raden Wirasena pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Maka katanya kemudian, “Marilah Kiai, kita lihat siapakah sebenarnya yang telah datang mengunjungi padepokan Sapta Dhahana ini.”
“Baik Raden,” sahut Kiai Damar Sasangka sambil bangkit dari duduknya mengikuti Raden Wirasena yang telah terlebih dahulu bangkit berdiri.
Sejenak kemudian, kedua orang itu pun dengan berjalan beriringan segera menuju ke pringgitan untuk kemudian keluar ke pendapa.
Begitu keduanya membuka pintu pringgitan, dari jauh mereka telah melihat orang-orang yang berkerumun di depan regol. Tampak Putut Sambernyawa sedang membentak-bentak seorang kakek-kakek yang hanya mengenakan kain panjang yang dibebatkan pada bagian tubuhnya dari pinggang sampai ke lutut.
“Begawan Cipta Hening,” tanpa sadar bibir Raden Wirasena berdesis perlahan.
“Benarkah Raden?” sela Kiai Damar Sasangka. Hatinya sedikit ragu akan keberadaan Begawan itu yang hidup ratusan tahun yang lalu.
“Marilah Kiai,” jawab Raden Wirasena kemudian, “Semua itu memang perlu dibuktikan.”
Dengan langkah yang sedikit bergegas, keduanya segera menyeberangi pendapa yang cukup luas itu untuk kemudian turun ke halaman.
Namun ternyata ada salah satu cantrik yang melihat kedatangan kedua orang itu. Maka katanya kemudian setengah berteriak, “Kiai Damar Sasangka pemimpin padepokan Sapta Dhahana bersama Raden Wirasena Trah Sekar Seda Lepen telah berkenan hadir!”
Tiba-tiba saja suara siulan itu berhenti dan kakek yang aneh itu pun segera membuka kedua matanya. Sementara kerumunan para cantrik di depan regol itu segera menyibak memberi jalan kepada kedua orang yang sangat disegani itu.
Raden Wirasena segera saja mengenali kakek tua itu sebagai Begawan Cipta Hening, sesuai ciri-ciri yang diberitahukan oleh Panembahan Cahya Wirastra.
“Selamat datang Begawan,” sapa Raden Wirasena ramah, “Mohon dimaafkan sambutan para Cantrik yang kurang menyenangkan. Sesungguhnyalah mereka hanya menjalankan tugas.”
Begawan Cipta Hening mengerutkan keningnya yang sudah keriput itu. Dipandanginya kedua orang yang datang kemudian itu ganti berganti. Tanyanya kemudian dengan sorot mata yang menyala, “Siapakah di antara kalian yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen?”
Berdesir dada Raden Wirasena mendapat pertanyaan itu. Namun dengan cepat Raden Wirasena segera maju selangkah. Jawabnya kemudian, “Begawan, akulah Trah Sekar Seda Lepen yang seharusnya berhak atas tahta di negeri ini.”
“Omong kosong!” sergah Begawan Cipta Hening, “Setiap orang dapat saja mengaku berhak atas tahta negeri ini. Aku pun juga berhak,” Begawan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian sambil membusungkan dadanya yang kurus, “Aku adalah keturunan Jaka Umbaran yang kemudian bergelar Menak Jingga di Blambangan. Bukankah seharusnya yang menjadi Raja Majapahit adalah Jaka Umbaran? Mengapa dia justru telah difitnah dan disingkirkan?”
Orang-orang yang hadir di tempat itu telah membeku. Kebanyakan dari mereka memang tidak begitu mengetahui sejarah, atau bahkan oleh orang-orang tertentu sejarah itu dengan sengaja telah dikaburkan.
“Maaf Begawan,” berkata Raden Wirasena kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sejarah memang harus diluruskan, dan sudah menjadi kewajiban kita bersama. Aku selaku Trah dari Pangeran Sekar tidak akan menutup mata terhadap para pendahulu yang juga mempunyai trah dari Majapahit atau lainnya. Kita akan bersama-sama bahu membahu mengusir orang-orang dari trah pidak pedarakan yang sekarang ini justru sedang berkuasa di Mataram.”
Begawan menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang seharusnya negeri ini tetap dipimpin dari trah Kusuma Rembesing Madu, bukan para petani dari Sela yang hanya karena minum air kelapa muda kemudian keturunannya bisa menjadi Raja.”
“Begawan benar,” jawab Raden Wirasena, “Sekarang marilah kita bicarakan segala sesuatunya di dalam agar lebih tenang dan nyaman.”
Begawan Cipta Hening tertawa pendek mendengar ajakan Raden Wirasena. Jawabnya kemudian, “Apakah aku sudah disiapkan makanan yang enak-enak? Tuak yang terbaik dan terkeras? Gadis-gadis cantik yang akan melayani aku sepanjang malam?”
Berdesir dada Raden Wirasena mendengar permintaan Begawan aneh itu. Tanpa sadar dia telah berpaling ke arah Kiai Damar Sasangka.
Kiai Damar Sasangka tersenyum sekilas. Setelah maju selangkah, barulah Kiai Damar Sasangka itu berkata, “Kami atas nama seluruh penghuni padepokan Sapta Dhahana mengucapkan selamat datang kepada Begawan Cipta Hening. Marilah Begawan, kami persilahkan untuk beristirahat sejenak di tempat yang telah kami sediakan. Urusan selanjutnya akan kita bicarakan kemudian.”
Begawan Cipta Hening untuk sejenak kembali mengerutkan keningnya yang sudah keriput itu. Dipandanginya wajah pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sapta Dhahana yang berarti api yang panasnya tujuh kali lipat dengan panasnya api biasa,” Begawan itu berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian setengah berteriak, “He! Aku sepertinya pernah mengenal orang sakti dari Sapta Dhahana, Kiai Guntur Geni. Dimana dia sekarang? Panggil dia untuk menyambut aku.”
Kiai Sapta Dhahana tertegun, orang yang disebutkan oleh Begawan Cipta Hening itu adalah Kakek Gurunya yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu. Maka katanya kemudian, “Begawan memang benar, Kiai Guntur Geni itu adalah Kakek guru kami. Beliau telah meninggal dunia berpuluh tahun yang lalu. Dan sekarang aku, Kiai Damar Sasangka adalah cucu beliau yang memimpin perguruan Sapta Dhahana ini.”
Begawan Cipta Hening menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Semua sahabatku telah mati, tinggal aku sendiri. Rasanya dunia ini menjadi sepi.”
Mendengar ucapan begawan yang bernada keluh kesah itu, Raden Wirasena pun segera berkata, “Marilah Begawan. Kita dapat membicarakan segala sesuatunya di dalam agar lebih nyaman.”
Selesai berkata demikian Raden Wirasena segera mempersilahkan Begawan Cipta Hening untuk berjalan di depan.
Demikianlah kedatangan Begawan Itu telah menambah kekuatan dari orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen. Kekuatan yang belum disadari dan diperhitungkan dengan cermat oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu ketika Matahari sudah bersinar dengan cerahnya, di rumah ki Gede Matesih, Ki Gede sedang mengumpulkan para bebahu tanah Perdikan yang masih setia mendukung setiap kebijakkan Ki Gede dan dapat dipercaya.
“Keadaan telah berkembang semakin tidak menentu,” berkata Ki Gede memulai pembicaraan, “Kita harus semakin waspada justru di antara kawan sendiri. Aku berharap kelima tamu yang akan datang ke rumah ini akan menambah kekuatan kita untuk melawan pengaruh Raden Surengpati.”
Orang-orang yang hadir di ruang dalam itu pun tampak mengangguk-angguk. Berkata seorang yang berkumis tipis kemudian, “Ma’af Ki Gede. Apakah Ki Gede sudah yakin dengan kemampuan mereka? Maksudku dalam hal ilmu olah kanuragan. Kita semua menyadari bahwa Raden Surengpati dan para pengikutnya tidak dapat dipandang dengan sebelah mata.”
“Engkau benar Ki Jagatirta,” jawab Ki Gede, “Aku memang belum mempunyai gambaran yang jelas tentang kemampuan kelima orang tersebut. Namun aku percaya menilik sorot mata mereka yang tajam dan tenang serta ketegasan mereka dalam berbicara terutama orang yang bernama Ki Sedayu itu. Aku telah menaruh harapan yang besar kepada mereka untuk membebaskan tanah perdikan ini dari pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.”
 

Bagian 3

Ki Jagatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara orang di sebelahnya yang sudah cukup berumur telah beringsut dari duduknya sejengkal sambil bertanya, “Maaf Ki Gede, apakah telah ditunjuk seseorang untuk menjemput para tamu itu?”
“Sudah Ki Kamitua,” sahut ki Gede cepat, “Aku telah memerintahkan kepada Ki Wiyaga pagi tadi sebelum Matahari terbit untuk pergi ke dukuh Klangon menjemput para tamu kita.”
Ki Kamitua mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Ki Gede, para pengawal di Perdikan Matesih ini telah terpecah menjadi dua golongan. Sebagian tetap bersetia kepada Perdikan Matesih di bawah panji-panji kebesaran Mataram, sedangkan yang lainnya, terutama yang muda-muda, mereka lebih senang berangan-angan bersama para pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku khawatir jika Ki Wiyaga sebagai pemimpin pengawal Perdikan Matesih lebih condong untuk mengikuti golongan yang terakhir.”
Terdengar orang-orang yang hadir di ruang dalam itu bergeremang satu dengan lainnya. Agaknya masing-masing mempunyai tanggapan yang berbeda.
“Ki Kamitua,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengangkat tangan kanannya untuk memberi isyarat agar semua orang diam sejenak, “Aku percaya dengan Ki Wiyaga. Dia telah menjadi pengawal perdikan Matesih sejak masih muda. Kedudukan pemimpin pengawal itu pun aku percayakan kepadanya setelah ayahnya mengundurkan diri karena usia tua. Jadi aku percaya kepada Ki Wiyaga sebagaimana dulu aku juga percaya kepada ayahnya.”
Sejenak mereka yang hadir di tempat itu terdiam. Masing-masing telah tenggelam dalam kenangan masa lalu yang tenang dan tentram.
“Perdikan Matesih adalah perdikan yang tenang dan damai,” berkata seorang yang rambutnya sudah putih semua dalam hati, “Hampir tidak ada gejolak sama sekali di tanah perdikan ini. Semua penghuninya hidup rukun, guyup dan saling membantu. Namun dengan kedatangan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen dan para pengikutnya itu, penghuni tanah Perdikan ini telah terpecah belah dan jauh dari yang disebut rukun dan damai.”
Pembicaraan itu terhenti sejenak ketika tiba-tiba saja terdengar pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur berderit. Sejenak kemudian dari pintu yang terbuka muncullah seorang gadis yang sedang beranjak dewasa sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan.
Semua orang segera menundukkan wajahnya kecuali Ki Gede Matesih. Dipandanginya wajah anak perempuan satu-satunya itu dengan kening yang berkerut merut. Seraut wajah yang menginjak dewasa dengan segala kelebihannya dibanding dengan gadis-gadis sebayanya.
Ratri, nama gadis semata wayang Ki Gede itu segera berjongkok dan meletakkan minuman dan makanan di depan para tamu. Setelah semuanya selesai, Ratri pun kemudian segera mundur setapak untuk kemudian berdiri dan membalikkan badan. Sejenak kemudian gadis cantik dengan keindahan bentuk tubuh yang mulai beranjak dewasa itu pun telah hilang di balik pintu yang tertutup rapat.
Sepeninggal putrinya, tampak wajah Ki Gede menjadi muram, semuram langit yang sedang turun hujan.
Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, Ki Gede pun kemudian berdesis perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aku mungkin salah satu dari sekian banyak orang tua yang tidak mampu memberikan tuntunan yang baik kepada anaknya.”
Suara itu terdengar seperti sebuah keluh kesah atau penyesalan yang tiada taranya.
Orang-orang yang mendengar keluh kesah Ki Gede itu tidak ada yang berani mengangkat kepalanya atau pun membuka suara. Mereka tetap menundukkan kepala dalam-dalam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Ki Gede.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Gede kemudian mencoba mencairkan suasana, “Semoga sebelum wayah tengange, para tamu kita telah hadir di rumah ini.”
Orang-orang itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Apakah masih ada yang ingin disampaikan?”
Namun sebelum salah satu dari orang-orang yang hadir itu membuka suara, tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu, pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan pringgitan.
“Masuklah!” terdengar suara Ki Gede cukup lantang.
Sejenak kemudian terdengar pintu berderit dan seseorang telah muncul dari balik pintu.
“Ki Wiyaga?” hampir serentak mereka yang berada di ruang dalam itu telah berdesis.
Orang yang memasuki ruang dalam itu memang Ki Wiyaga. Namun tidak tampak luka di pundaknya. Bahkan bajunya tampak bersih serta memakai kain panjang yang bersih pula. Agaknya Ki Wiyaga sempat mampir ke rumah terlebih dahulu untuk berganti baju sebelum menghadap Ki Gede.
Setelah mengangguk terlebih dahulu kepada orang-orang yang hadir, terutama Ki Gede, Ki Wiyaga pun segera mengambil duduk di sebelah Ki Jagatirta.
Setelah menanyakan keselamatan Ki Wiyaga terlebih dahulu, barulah Ki Gede bertanya, “Ki Wiyaga, mengapa sepagi ini engkau sudah kembali?”
Sejenak Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan getaran di dalam dadanya. Jawabnya kemudian, “Maaf Ki Gede, aku belum sempat menjemput tamu-tamu kita di banjar Padukuhan Klangon.”
“Mengapa?” tiba-tiba dengan serta-merta Ki Jagatirta telah menyela. Namun begitu disadarinya Ki Gede telah berpaling ke arahnya, dengan cepat segera ditundukkan wajahnya.
“Ya, Ki Wiyaga,” sahut Ki Gede kemudian, “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”
“Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga kemudian, “Telah terjadi suatu peristiwa diluar rencana kita.”
Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jangan berputar-putar Ki Wiyaga. Ceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Ki Wiyaga sejenak ragu-ragu. Tanpa sadar, diedarkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang hadir di ruangan itu.
Agaknya Ki Gede tanggap akan keragu-raguan kepala pengawal Perdikan Matesih itu. Maka katanya kemudian, “Ki Wiyaga, engkau berada di antara para bebahu perdikan Matesih yang dapat dipercaya.”
“Terima kasih ki Gede,” berkata Ki Wiyaga kemudian, “Kelima tamu kita itu ternyata dengan sengaja telah meloloskan diri dari banjar Padukuhan Klangon.”
“He?!” serentak mereka yang ada di ruangan itu terlonjak kaget, terutama Ki Gede. Sejenak wajahnya menjadi merah padam.
“Siapakah sebenarnya mereka itu?” geram Ki Gede, “Apakah mereka mencoba mempermainkan Ki Gede Matesih?”
“O, tidak, tidak Ki Gede,” sahut Ki Wiyaga cepat, “Sungguh mereka berlima itu orang-orang yang dapat dipercaya.”
“Dari mana Ki Wiyaga tahu?” sela Ki Kamitua.
Ki Wiyaga tersenyum. Sambil menyingkapkan baju di bagian pundak kirinya, Ki Wiyaga pun memperlihatkan bekas lukanya yang telah dibebat dengan secarik kain. Katanya kemudian, “Inilah buktinya. Salah satu dari mereka telah menolongku dari luka yang akan dapat membunuhku. Luka akibat goresan pisau belati yang sangat beracun.”
Dalam pada itu, di ruang dalam padepokan, Raden Wirasena yang sedang duduk-duduk ditemani Kiai Damar Sasangka telah dikejutkan oleh suara siulan aneh yang terdengar sangat jelas dari ruang dalam itu.
“Begawan Cipta Hening?” desis Raden Wirasena. Namun terdengar nada suaranya sedikit ragu-ragu.
“He?!” kembali orang-orang itu terkejut. Bertanya Ki Gede kemudian, “Bagaimana itu bisa terjadi?”
Ki Wiyaga menarik nafas panjang sambil membetulkan bajunya kembali. Jawabnya kemudian, “Ceritanya panjang Ki Gede. Cerita itu dimulai ketika aku tanpa sengaja telah menemukan salah seorang pengawal perdikan Matesih, Lajuwit, sedang berusaha mengirim isyarat ke Perguruan Sapta Dhahana di lereng Gunung Tidar.”
Kemudian secara singkat Ki Wiyaga segera menceritakan kejadian di dekat gardu perondan itu serta pertemuannya dengan kelima orang yang mengaku dari Prambanan itu.
“Jadi engkau telah ditolong oleh mereka?” bertanya Ki Gede kemudian.
“Ya Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga, “Jika saja lukaku itu tidak segera diobati oleh orang yang bernama Ki Sedayu itu, mungkin aku sudah tidak dapat lagi berkumpul di tempat ini.”
“Ah!” beberapa orang justru telah berdesah. Sedangkan Ki Gede segera berkata, “Syukurlah agaknya Yang Maha Agung masih melindungi kita untuk menyelamatkan tanah perdikan ini dari segolongan orang yang tidak bertanggung jawab.”
Setiap orang yang ada di ruangan itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Bagaimana dengan Lajuwit?” tiba-tiba Ki Gede bertanya sambil memandang kearah Ki Wiyaga.
Sejenak Ki Wiyaga ragu-ragu. Bagaimanapun juga secara tidak sengaja dia telah ikut berperan dalam terjadinya rajapati, walaupun kejadian yang sebenarnya dia tidak begitu jelas.
“Mengapa engkau terlihat ragu-ragu Ki Wiyaga?” desak Ki Gede, “Katakanlah sejujurnya apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri Lajuwit.”
“Maaf Ki Gede, jawab Ki Wiyaga kemudian setelah Menimbang-nimbang beberapa saat, “Lajuwit telah terbunuh oleh pisau beracunnya sendiri.”
“He?!” orang-orang yang berada di ruang itu pun kembali tersentak.
“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” hampir setiap mulut telah mengajukan pertanyaan yang serupa.
Namun Ki Wiyaga justru telah menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu, karena pengaruh racun itu begitu kuat sehingga aku telah jatuh pingsan. Namun sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, aku masih sempat mendengar suara benturan yang keras.”
“Mungkin Lajuwit telah menyerangmu sekali lagi dengan pisau belatinya di saat engkau lengah karena pengaruh racun itu,” berkata Ki Kamitua memberikan pendapatnya.
“Mungkin saja,” sahut Ki Gede, “Dan suara benturan keras yang engkau dengar itu adalah lontaran belati berikutnya yang mungkin telah dipatahkan oleh salah satu dari kelima orang itu.”
“Mungkin Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga sambil mengangguk-angguk, “Kemungkinan itulah yang sebenarnya telah terjadi.”
“Berarti engkau telah berhutang nyawa dua kali kepada mereka, Ki Wiyaga,” kali ini Ki Jagatirta yang menyahut.
Ki Wiyaga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.
Untuk beberapa saat ruangan itu pun justru telah menjadi hening.
Namun Ki Gede segera berusaha untuk menguasai keadaan. Maka katanya kemudian, “Semua itu mungkin sudah takdir dari Yang Maha Agung. Menurut pendapatku, Lajuwit telah memetik buah dari apa yang telah ditanamnya selama ini.”
Tampak semua orang mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Di manakah mayatnya sekarang?” bertanya Ki Gede kemudian.
“Mayat itu kami sembunyikan di bawah gardu,” jawab Ki Wiyaga, “Salah satu dari kelima orang itu telah menimbuninya dengan rumput-rumput kering agar tidak begitu tampak jika ada orang yang melewati gardu itu.”
“Baiklah,” berkata Ki Gede sambil memandang ke arah Ki Jagatirta, “Ki Jagatirta, bawalah beberapa orang yang dapat dipercaya bersama Ki Wiyaga nanti menjelang sirep uwong. Usahakan untuk tidak begitu menarik perhatian dan hanya kalangan kita saja yang mengetahui peristiwa ini.”
“Baik Ki Gede,” jawab Ki Jagatirta sambil menarik nafas panjang. Mengubur mayat di malam hari memang tidak menyenangkan, namun apa boleh buat. Perintah Ki Gede harus dilaksanakan.
“Nah, Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa kelima orang itu dengan sengaja telah lolos dari banjar Padukuhan Klangon?”
Serentak semua mata segera tertuju ke arah Ki Wiyaga.
Menyadari semua orang sedang menunggu jawabannya, Ki Wiyaga pun segera beringsut setapak ke depan. Sambil membetulkan letak kain panjangnya terlebih dahulu, Ki Wiyaga pun kemudian bercerita tentang pengepungan para murid Padepokan Sapta Dhahana di banjar Padukuhan Klangon menjelang dini hari tadi. Sebagaimana seperti yang telah disampaikan oleh Ki Sedayu.
“Gila!’ geram Ki Gede begitu Ki Wiyaga selesai bercerita, “Ternyata kita kalah cepat dengan mereka,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jagatirta, Ki Gede bertanya, “Ki Jagatirta, apakah engkau tahu di mana Ki Jagabaya sekarang ini?”
Untuk sejenak Ki Jagatirta memandang para bebahu lainnya untuk meminta pertimbangan. Namun semua bebahu yang hadir disitu telah menggelengkan kepala mereka. Maka jawab Ki Jagatirta kemudian, “Maaf Ki Gede, kami tidak tahu keberadaan Ki Jagabaya beberapa hari ini. Menurut keterangan yang aku peroleh, Ki Jagabaya sering terlihat berkunjung ke rumah yang ditempati Raden Surengpati dan pengikutnya.”
Kembali terdengar Ki Gede menggeram. Wajahnya terlihat sangat keruh. Berkata Ki Gede kemudian, “Kalian semua berhati-hatilah jika berbicara dengan Ki Jagabaya Perdikan Matesih. Aku melihat gelagat yang mencurigakan dari Ki Jagabaya,” Ki Gede berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Lain halnya dengan Padukuhan Klangon, kalian dapat mempercayai Ki Jagabaya dukuh Klangon, namun jangan sekali-kali berbicara dengan Ki Dukuh Klangon. Dia telah terpengaruh dengan Raden Surengpati, sehingga Ki Dukuh Klangon sore tadi telah mengerahkan para pengawalnya untuk berjaga-jaga di banjar.”
“Untunglah kelima orang dari Prambanan itu mampu lolos dari pengamatan mereka,” sahut Ki Kamitua.
“Benar Ki Kamitua,” berkata Ki Wiyaga menanggapi kata-kata Ki Kamitua, “Dan yang lebih untung lagi, mereka berlima ternyata juga terhindar dari kepungan para murid gunung Tidar.”
“Itu menunjukkan bahwa mereka bukan segolongan orang-orang kebanyakan,” sahut Ki Gede dengan nada suara yang yakin dan mantap.
Para bebahu yang hadir di dalam ruangan itu pun tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, sekarang,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Bagaimana cara kita untuk menghubungi mereka?”
Kembali semua mata tertuju ke arah Ki Wiyaga. Mereka berharap kepala pengawal perdikan Matesih itu dapat memberikan jawabannya.
Namun alangkah kecewanya para bebahu perdikan Matesih itu, terutama Ki Gede. Mereka melihat Ki Wiyaga justru telah menggelengkan kepalanya.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang ini, Ki Gede?” bertanya seorang yang rambutnya sudah putih semua.
Sejenak Ki Gede menarik nafas panjang. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ki Wiyaga, Ki Wiyaga pun segera tanggap. Maka katanya kemudian, “Ki Jagawana, kelima orang itu sudah berjanji akan menghadap Ki Gede, hanya waktunya saja yang belum pasti, sebab mereka masih mempunyai sebuah urusan untuk segera diselesaikan.”
“Urusan apa itu?” hampir bersamaan pertanyaan itu terdengar di ruangan itu.
Ki Wiyaga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu dan aku tidak berani menanyakannya.”
Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi kembali. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan tentang permasalahan yang sedang dihadapi Perdikan Matesih.
“Nah, aku kira sudah cukup pembicaraan kita kali ini,” berkata Ki Gede kemudian memecah kesunyian, “Kalian dapat kembali ke tempat kerja masing-masing. Aku akan nganglang bersama Ki Wiyaga.”
Kemudian sambil berpaling ke arah kepala pengawal itu, Ki Gede pun telah menjatuhkan perintah, “Siagakan beberapa pengawal yang dapat dipercaya. Kita akan mengelilingi Tanah Perdikan Matesih ini untuk memberi kesan kepada para pengikut Trah Sekar Seda Lepen bahwa Perdikan Matesih masih ada dan akan tetap ada selama pemerintahan Mataram masih berdiri tegak.”
Demikianlah, perintah Ki Gede itu merupakan suatu perintah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sejenak kemudian pertemuan para bebahu itu pun telah selesai dan mereka segera kembali ke tempat tugas masing-masing.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan serta Glagah Putih yang mendapat tugas menyelidiki keberadaan Perguruan Sapta Dhahana dari lereng sebelah barat telah mendapat pesan dari Ki Rangga untuk mengamat-amati kediaman Ki Gede Matesih. Tanpa menarik perhatian mereka berjalan di antara ramainya lalu-lalang para pejalan kaki serta pedati-pedati yang sarat mengangkut hasil bumi. Sesekali mereka juga berpapasan dengan orang-orang yang berkuda.
“Guru, mengapa sejauh ini kita tidak melihat para pengawal Perdikan Matesih sedang meronda?” bertanya Glagah Putih yang berjalan di samping gurunya. Sementara beberapa langkah di belakang mereka, tampak Ki Bango Lamatan berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Entahlah Glagah Putih,” jawab gurunya, “Mungkin mereka merasa Perdikan ini sudah begitu aman, terutama di siang hari.”
“Kejahatan tidak mengenal waktu,” tanpa sadar Glagah Putih berdesis perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Engkau benar Glagah Putih,” sahut Gurunya, “Memang kejahatan tidak mengenal waktu dan tempat, akan tetapi lebih tepatnya, kejahatan pun memperhitungkan tempat dan waktu, karena seseorang yang akan melakukan sebuah tindak kejahatan juga mempunyai perhitungan-perhitungan.”
Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan gurunya itu. Tanpa sadar dia kemudian berpaling ke belakang. Tampak Ki Bango Lamatan sedang berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Orang itu telah mengalami perubahan yang luar biasa dalam dirinya,” berkata Glagah Putih dalam hati sambil kembali memandang ke depan, “Aku masih ingat peristiwa di tepian kali Opak. Ki Bango Lamatan saat itu berada di pihak Panembahan Cahya Warastra dan sekarang tiba-tiba telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Pati,” angan-angan Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian sambil tersenyum sekilas dia melanjutkan angan-angannya, “Semua itu berkat jasa Kanjeng Sunan.”
Tanpa terasa langkah mereka telah mendekati regol halaman rumah Ki Gede Matesih.
Ketiga orang itu pun kemudian berjalan sebagaimana orang-orang yang lain. Namun ketika mereka lewat tepat di depan regol, Glagah Putih telah menyempatkan diri untuk berpaling sekilas.
Tampak kening Glagah Putih berkerut. Apa yang dilihatnya hanya sekilas itu ternyata sangat berkesan. Diujung tangga pendapa dia sempat melihat seorang gadis cantik yang sedang beranjak dewasa tampak sedang bercakap-cakap dengan seseorang.
“Ratri,” tanpa sadar bibir Glagah Putih menyebut sebuah nama.
Ki Jayaraga yang berjalan di sampingnya terkejut. Sambil berpaling dia bertanya, “Siapa Glagah Putih?”
“O,” Glagah Putih tergagap. Setelah menarik nafas panjang barulah Glagah Putih menjawab, “Guru, aku tadi melihat seorang gadis yang sedang beranjak dewasa di tangga pendapa kediaman Ki Gede. Mungkin itu Ratri, putri satu-satunya Ki Gede Matesih.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mungkin Glagah Putih. Gadis yang telah terpikat oleh seorang pria dewasa, yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen.”
“Tentu Ratri telah terbuai oleh angan-angan dan janji-janji dari Raden Surengpati,” sahut Glagah Putih, “Jika perjuangan Trah Sekar Seda Lepen itu berhasil, dia akan ikut menikmati hasilnya. Hidup di kalangan istana, berlimpah ruah dengan harta benda, serta disuyuti dan dihormati oleh kawula seluruh negeri.”
“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek mendengar ucapan Glagah Putih. Bahkan Ki Bango Lamatan yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka pun ikut tersenyum.
Tanpa terasa langkah mereka telah semakin jauh dari regol halaman Ki Gede. Ketika mereka kemudian menjumpai sebuah jalan simpang, tiba-tiba Glagah Putih telah menghentikan langkahnya.
“Ada apa Glagah Putih?” bertanya Ki Jayaraga yang juga ikut berhenti. Sementara Ki Bango Lamatan yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka telah memperlambat langkahnya.
“Guru, kita mengambil jalan ke kanan,” jawab Glagah Putih kemudian.
“Glagah Putih, jalan menuju ke Gunung Tidar adalah lurus ke depan,” tiba-tiba Ki Bango Lamatan yang telah ikut berhenti menyahut.
“Ki Bango Lamatan benar,” berkata Ki Jayaraga ikut menimpali, “Sebaiknya kita mengambil jalan lurus.”
Sejenak Glagah Putih ragu-ragu. Namun entah mengapa, seraut wajah cantik gadis putri ki Gede Matesih itu tidak mau hilang dari benaknya, walaupun beberapa saat tadi dia hanya melihatnya sekilas.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah Glagah Putih mengutarakan kegelisahannya.
“Guru,” berkata Glagah Putih kemudian, “Entah mengapa begitu melihat putri ki Gede tadi, rasa-rasanya aku telah mengkhawatirkan keselamatannya.”
Kedua orang tua itu sejenak saling pandang. Mereka segera menyadari, Glagah Putih agaknya telah tertarik dengan putri Matesih itu, apapun alasannya.
“Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah melihat Ki Bango Lamatan yang tersenyum dan mengangguk-angguk, “Engkau tertarik pada putri Ki Gede itu memang sudah sewajarnya. Engkau masih muda dan putri Matesih itu pun seorang gadis yang sedang mekar-mekarnya. Namun sejauh manakah ketertarikanmu itu yang harus dipertanyakan.”
“Ah,” Glagah Putih berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rona merah segera saja menghiasi wajahnya, namun dengan cepat segera saja Glagah Putih berusaha menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Katanya kemudian, “Guru, aku menyadari bahwa aku adalah laki-laki yang sudah beristri. Aku hanya memikirkan bagaimana nasib putri Matesih itu jika dia benar-benar terjebak dalam jeratan orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Untuk beberapa saat kedua orang tua itu justru telah terdiam. Memang akan saat mengenaskan nasib putri Matesih yang masih hijau itu jika dia sampai terperangkap jebakan Raden Mas Harya Surengpati.
“Ah, sudahlah,” akhirnya Ki Jayaraga berkata memecah kesunyian setelah sejenak mereka terdiam, “Kita hanya bisa mendoakan masa depan yang baik bagi putri Ki Gede itu.”
Ki Bango Lamatan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Ki Jayaraga, namun Glagah Putih justru mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Ki Jayaraga yang melihat muridnya termenung telah menarik nafas panjang. Tanyanya kemudian, “Ada apa lagi Glagah Putih?”
“Maafkan aku Guru dan juga Ki Bango Lamatan,” jawab Glagah Putih kemudian, “Marilah kita bicarakan dengan sungguh-sungguh permasalahan ini”
Selesai berkata demikian Glagah Putih segera mempersilahkan kedua orang tua itu untuk berjalan menepi dan duduk di bawah sebatang pohon peneduh yang tumbuh di kanan jalan.
Setelah ketiganya menempatkan diri duduk di bawah bayangan pohon yang teduh itu, barulah Glagah Putih meneruskan kata-katanya, “Guru, aku mempunyai perhitungan bahwa saat ini Ki Wiyaga tentu telah melaporkan kejadian pagi tadi kepada Ki Gede Matesih.”
Serentak bagaikan telah berjanji, kedua orang tua itu mendongakkan wajahnya ke langit.
“Sudah hampir wayah tengange,” desis Ki Jayaraga
“Ya Ki Jayaraga,” sahut Ki Bango Lamatan, “Tentu Ki Gede sudah mendapat laporan dari Ki Wiyaga.’
“Nah Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Apa hubungannya dengan Ratri, putri Ki Gede?”
“Guru,” jawab Glagah Putih kemudian. Tampak wajahnya bersungguh-sungguh sehingga kedua orang itu pun telah menaruh perhatian sepenuhnya, “Aku mempunyai dugaan bahwa apa yang telah dilaporkan oleh Ki Wiyaga kepada Ki Gede sedikit banyak akan diketahui oleh Raden Surengpati.”
Kedua orang tua itu saling pandang sejenak. Ki Jayaraga lah yang menanggapi, “Bagaimana mungkin, Glagah Putih? Ki Wiyaga tentu tidak gegabah dalam memberikan laporannya.”
“Benar, guru,” sahut Glagah Putih cepat, “Akan tetapi bagaimana dengan keluarga Ki Gede sendiri? Apakah tidak menutup kemungkinan Ratri mendengar walaupun hanya sekilas-sekilas dan kemudian menyampaikannya kepada Raden Surengpati.”
Kini kedua orang tua itu termenung. Memang hal itu sangat mungkin terjadi.
“Jadi apa rencanamu sekarang Glagah Putih?’ bertanya Ki Bango Lamatan kemudian.
Sejenak Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun baru saja Glagah Putih akan menjawab pertanyaan Ki Bango Lamatan, tiba-tiba dari kejauhan Glagah Putih melihat seseorang mendatangi tempat itu.
“Penjual dawet serabi,” desis Glagah Putih kemudian. Serentak kedua orang tua itu pun mengikuti arah pandang Glagah Putih.
“Apakah engkau haus Glagah Putih?” bertanya Ki Jayaraga kemudian sambil tersenyum.
Glagah Putih tidak segera menjawab. Pandangan matanya justru mengarah kepada Ki Bango Lamatan.
Ki Bango Lamatan pun lantas tertawa pendek. Katanya kemudian, “Alangkah segarnya minum dawet serabi di siang hari yang terik seperti ini.”
Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun akhirnya ikut tertawa.
Demikianlah sejenak kemudian mereka bertiga telah memanggil penjual dawet serabi yang lewat di depan mereka.
Penjual dawet serabi itu pun segera berhenti dan menurunkan dagangannya. Dengan cekatan dilayaninya para pembelinya itu satu persatu.
“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian setelah dia menyelesaikan minumnya lebih cepat dari kedua orang tua itu, “Kelihatannya mangkukku ini lebih kecil dibanding dengan mangkuk yang lainnya.”
“Ah,” penjual dawet itu tertawa, “Apakah engkau bermaksud menambah lagi, anak muda?”
Glagah Putih pun mengangguk sambil tertawa. Sementara Ki Jayaraga sambil menyenduk minumannya telah berkata kepada Glagah Putih, “Lain kali engkau membawa wadah sendiri saja, tempayan atau genthong barangkali.”
Yang mendengar kelakar Ki Jayaraga itu pun telah tertawa.
“Ki Sanak,” tiba-tiba penjual dawet itu berkata sambil memandang satu-persatu pembelinya, “Rasa-rasanya aku belum pernah melihat kalian. Dari manakah Ki Sanak semua ini?”
Sejenak mereka bertiga saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang akhirnya menjawab sambil mengembalikan mangkuknya yang telah kosong.
“Kami berasal dari Sangkal Putung,” jawab Ki Jayaraga sekenanya, “Dan kami sedang menuju ke Padukuhan Paran-paran.”
Penjual dawet ini mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Di manakah letak Padukuhan Paran-paran itu Ki Sanak?”
Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Padukuhan Paran-paran terletak di antara lembah Gunung Sindara dan Sumbing.”
“O,” penjual dawet itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun sebenarnya dia tidak mengetahui dengan pasti letak padukuhan itu.
“Terima Kasih Ki Sanak,” berkata penjual dawet itu kemudian ketika Ki Jayaraga membayar harga empat mangkuk dawet serabi, “Semoga perjalanan kalian menyenangkan.”
“Terima kasih,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
“Semoga sekembalinya kami dari Paran-paran, kita dapat berjumpa kembali,” tambah Glagah Putih.
“O, tentu, tentu ki Sanak,” jawab penjual dawet itu sambil mengangkat pikulannya dan kemudian menaruh di pundaknya, “Hampir setiap hari aku melewati jalan ini.”
“Tapi engkau jangan lupa membawa tempayan,” sahut Ki Jayaraga sambil menggamit Glagah Putih yang segera saja disambut dengan gelak tawa.
Demikianlah setelah penjual dawet serabi itu pergi, Glagah Putih pun segera menyampaikan rencananya.
“Guru,” berkata Glagah kemudian, “Sebaiknya perjalanan kita ke Gunung Tidar kita tunda sebentar. Siang ini sampai nanti menjelang sore kita coba untuk mengamati kediaman Ki Gede. Barangkali putri Ki Gede akan keluar menemui Raden Surengpati untuk menyampaikan berita yang telah dibawa oleh Ki Wiyaga.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya sambil memandang Ki Bango Lamatan. Agaknya guru Glagah Putih itu meminta pertimbangan untuk menyetujui rencana Glagah Putih.
Untuk sejenak Ki Bango Lamatan termenung. Namun tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan berdesis perlahan, “Bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Raden Surengpati itu yang menemui Ratri di kediaman Ki Gede?”
Sekarang giliran Glagah Putih yang tertegun. Kemungkinan itu memang ada, namun menilik tanggapan Ki Gede yang tidak menginginkan putri satu-satunya itu menjalin hubungan dengan orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu, kemungkinannya sangat kecil jika Ki Gede mengijinkan Raden Surengpati menemui putrinya.
Maka jawab Glagah Putih kemudian, “Kemungkinan itu sangat kecil, Ki Bango Lamatan. Aku justru cenderung hubungan mereka berdua itu masih sebatas sembunyi-sembunyi. Aku yakin mereka berdua belum berani berterus terang justru karena Ki Gede telah memperlihatkan sambutan yang kurang ramah atas kehadiran para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu di perdikan Matesih.”
“Engkau benar Glagah Putih,” berkata ki Jayaraga kemudian setelah sejenak berpikir, “Memang sebaiknya kita mengamati kediaman Ki Gede siang ini sampai sore nanti. Semoga apa yang kita khawatirkan itu tidak terjadi.”
Demikianlah sejenak kemudian ketiga orang itu segera meneruskan perjalanan. Mereka mengambil jalan yang berbelok ke kanan, jalan yang terlihat lebih kecil dari jalan sebelumnya.
“Agaknya jalan ini sangat jarang dilewati orang,” berkata Ki Jayaraga sambil mengayunkan langkahnya.
“Kelihatannya memang demikian, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan sambil mengamat-amati pohon-pohon perdu liar yang tumbuh di sepanjang jalan, “Jalan ini sepertinya sebuah jalan pintas.”
“Aku juga mengira demikian,” kembali Ki Jayaraga berkata sambil ikut mengamati tanah pategalan yang kelihatannya sudah tidak terurus.
Sejenak kemudian jalan yang mereka lewati itu semakin lama menjadi semakin menyempit dan hanya tinggal jalan setapak saja yang terlihat menjelujur di antara rumput-rumput dan ilalang yang tumbuh liar di sana sini.
Selagi mereka berjalan sambil merenungi semak belukar yang semakin lebat, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam lamat-lamat telah mendengar langkah seseorang yang terdengar sangat tergesa-gesa dari arah kanan jalan. Memang masih cukup jauh, namun suara langkah itu begitu jelas terdengar di antara suara daun-daun yang tersibak dan ranting-ranting kecil yang berpatahan.
Untuk beberapa saat ketiga orang itu tidak tahu harus berbuat apa untuk menyikapi suara langkah yang terdengar semakin dekat itu. Namun ketika Ki Jayaraga kemudian menganggukkan kepalanya, serentak mereka bertiga pun segera bersembunyi di balik perdu-perdu yang banyak berserakan di tempat itu.
Sambil menahan nafas, mereka bertiga mencoba mengintip dari sela-sela dedaunan untuk melihat siapakah yang akan muncul dari pategalan di kanan jalan yang sudah tak terurus lagi itu.
Semakin lama suara langkah itu terdengar semakin keras. Sejenak kemudian dari balik sebatang pohon sawo kecik, muncul seraut wajah yang sangat dikenal oleh Glagah Putih.
“Ratri?” desis Glagah Putih dengan suara yang bergetar.
Kedua orang tua itu terkejut mendengar desis Glagah Putih sehingga telah berpaling ke arahnya.
“O, jadi itukah Ratri? Pantas!” bisik Ki Bango Lamatan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Maksud Ki Bango Lamatan?” tanya Glagah Putih sambil berpaling.
Ki Bango Lamatan berpaling sekilas sambil tersenyum. Jawabnya kemudian, “Gadis yang bernama Ratri itu sangat cantik. Tentu banyak laki-laki yang ingin menyuntingnya.”
“Termasuk Ki Bango Lamatan barangkali,” sahut Ki Jayaraga
“Ah,” Ki Bango Lamatan hampir saja tidak dapat menahan tawanya, namun yang menjadi merah mukanya justru Glagah Putih.
“Lihatlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian mengalihkan pembicaraan, “Putri Ki Gede itu memotong jalan dan memasuki pategalan di sebelah kiri jalan.”
“Kita ikuti,” sahut Glagah Putih cepat sambil berdiri dan kemudian melangkah menuju ke tempat putri Matesih itu menghilang.
Kedua orang tua itu sejenak saling berpandangan. Sambil menahan senyum akhirnya kedua orang tua itu pun berdiri dan melangkah mengikuti Glagah Putih.
Bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit bagi ketiga orang itu untuk mengikuti jejak Ratri. Putri Ki Gede Matesih itu hanyalah seorang gadis kebanyakan yang tidak pernah diperkenalkan pada olah kanuragan sejak kecil.
Semakin lama ketiga orang itu semakin jauh memasuki pategalan yang sudah berubah menjadi seperti hutan kecil itu. Setelah melalui jalan setapak yang nyaris tak terlihat dan kemudian menurun, terlihat sebuah parit yang airnya mengalir bening.
“Parit ini mungkin digunakan sebagai pengairan ketika pategalan-pategalan ini masih digarap,” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil meloncati batang pohon yang tumbang karena lapuk dimakan usia.
Beberapa saat kemudian ketiga orang itu melihat Ratri telah berhenti di sepetak tanah yang ditumbuhi rumput. Di tanah sepetak itu kelihatannya dulu pernah didirikan sebuah gubuk untuk tempat beristirahat.
Sejenak Ratri terlihat masih berdiri termangu-mangu. Tampaknya dia sedang menunggu seseorang. Dengan raut wajah yang terlihat gelisah dia kemudian duduk di atas batu yang menjorok di sebelah parit yang airnya mengalir dengan bening.
Dalam pada itu di salah satu jalan di sebelah barat perdikan Matesih, tampak dua orang penunggang kuda, Eyang guru dan Raden Surengpati sedang memacu kudanya dengan sedikit kencang.
“Eyang guru,” berkata Raden Surengpati, “Di depan ada simpang tiga. Sebelum kita meneruskan perjalanan melalui jalan yang membelok ke kiri, ijinkan aku untuk menemui Ratri terlebih dahulu.”
“Raden,” jawab Eyang guru, “Apakah pertemuan itu dapat ditunda? Kita sebaiknya sampai di Tidar sebelum Matahari tergelincir jauh ke barat. Banyak hal yang harus kita bicarakan sehubungan dengan kedatangan Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Aku paham Eyang guru,” jawab Raden Surengpati kemudian, “Namun sekarang ini adalah waktunya aku bertemu Ratri di tempat yang sudah kita sepakati. Mungkin Ratri membawa berita yang penting.”
Eyang guru menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah Raden. Kalau begitu aku menunggu saja di persimpangan. Aku tidak ingin mengganggu keasyikan kalian berdua.”
“Ah,” desah Raden Surengpati, “Ratri adalah gadis yang masih lugu. Dia selalu membawa kawan jika bertemu denganku.”
“He?!” terkejut Eyang guru mendengar keterangan Raden Surengpati.
Sambil berpaling sekilas, Eyang guru pun kemudian bertanya, “Apakah teman Ratri itu dapat dipercaya?”
“Ya, Eyang guru,” jawab Raden Surengpati mantap, “Kawannya itu adalah pemomongnya sejak kecil, jadi sudah dianggap seperti biyungnya sendiri. Apalagi sejak Nyi Gede meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, pemomongnya itu seolah-olah telah dianggap sebagai pengganti biyungnya.”
Eyang guru menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Tak terasa derap langkah kaki-kaki kuda mereka telah mendekati simpang tiga.
“Aku akan menunggu di sini,” berkata Eyang guru kemudian sambil meloncat turun dan kemudian menambatkan kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan. Sementara Raden Surengpati masih belum turun dari kudanya.
“Apakah Raden akan berkuda?” bertanya Eyang guru sambil mengambil duduk di bawah sebatang pohon besar yang akar-akarnya tampak menonjol keluar.
Sejenak Raden Surengpati termenung. Namun akhirnya dia pun menjawab, “Aku akan berkuda saja Eyang guru. Tempatnya memang agak jauh dari sini.”
“Pergilah!” berkata Eyang guru sambil merebahkan dirinya bersandaran pada batang pohon itu.
“Terima kasih Eyang guru,” jawab Raden Surengpati kemudian, “Aku pergi dulu.”
Tanpa menunggu lagi, Raden Surengpati pun kemudian segera menghentak perut kudanya agar berlari maju.
Jarak antara simpang tiga dengan tempat yang biasa dijadikan pertemuan Raden Surengpati dengan Ratri memang cukup jauh. Setelah melalui jalan yang menurun, barulah Raden Surengpati membelokkan kudanya menyusuri jalan setapak memasuki sebuah pategalan.
Ketika jalan setapak itu telah menghilang tertutup rumput-rumput liar dan ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar, Raden Surengpati pun segera menghentikan kudanya dan meloncat turun.
Sejenak Raden Surengpati menarik nafas panjang untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara segar siang hari itu. Entah mengapa setiap akan berjumpa dengan Ratri, jantungnya selalu berdebar. Sebenarnyalah bagi Raden Surengpati bukan sekali ini saja dia berhubungan dengan perempuan, namun terhadap Ratri, dia mempunyai tujuan tersendiri.
“Ratri harus bisa membujuk dan meyakinkan ayahnya bahwa perjuangan Trah Sekar Seda Lepen ini memerlukan dukungan penuh dari perdikan Matesih,” berkata Raden Surengpati dalam hati sambil menambatkan tali kekang kudanya pada sebuah batang pohon, “Dengan direstuinya hubungan kami berdua, aku berharap Ki Gede akan legawa untuk melintirkan Perdikan Matesih ini kepadaku sehingga perdikan Matesih akan menjadi tumpuan utama dalam berjuang melawan Mataram.”
Sekali lagi Raden Surengpati menarik nafas panjang. Kemudian dengan langkah yang mantap dia mulai menuruni tanah yang agak miring menuju ke sebuah parit yang sudah tampak dari tempatnya berdiri.
Setelah sampai di tepi parit yang airnya mengalir bening, Raden Surengpati pun menyusuri parit itu mendekati tempat Ratri menunggu dari arah barat. Sementara Ki Jayaraga dan kawan-kawannya telah menempatkan diri di tempat yang agak jauh di sebelah timur dari tempat Ratri menunggu.
Dalam pada itu, Ratri yang sedang menunggu kedatangan Raden Surengpati itu menjadi semakin gelisah. Sesekali dia berdiri dari duduknya dan berjalan mondar-mandir. Namun ketika dirasakan kakinya menjadi penat, dia pun duduk kembali.
“Mengapa aku tadi tidak menunggu mbok Pariyem saja,” berkata Ratri dalam hati sambil sesekali mendongakkan kepalanya ke arah barat, “Tapi mbok Pariyem pergi dari pagi dan belum kembali, sedangkan berita ini sangat penting bagi Raden Mas Harya Surengpati.”
Teringat akan Raden Surengpati, tiba-tiba saja wajah Ratri menjadi cerah. Sebuah senyum manis tersungging di bibirnya yang merah menawan. Gadis putri satu-satunya Ki Gede itu sedang beranjak dewasa bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya. Mengalami masa-masa remaja yang ingin selalu dipuja dan dimanja, dan agaknya Raden Surengpati telah paham akan hal itu. Pengalaman panjangnya bergaul dengan perempuan telah membuat Ratri menjadi mabuk kepayang.
Tiba-tiba Ratri yang sedang termenung itu mendengar langkah-langkah mendekat dari arah barat. Dengan segera dia berpaling sambil bangkit dari duduknya.
“Raden…” desis Ratri dengan suara yang riang penuh kegembiraan begitu mengetahui siapa yang datang.
Yang datang itu memang Raden Surengpati. Sejenak langkahnya tertegun. Dia tidak melihat kawan Ratri yang biasanya selalu setia menemani.
“Engkau sendiri, Ratri?” bertanya Raden Surengpati kemudian dengan pandangan nanar merayapi sekujur tubuh Ratri.
“Ya, Raden,” jawab Ratri sambil menundukkan wajahnya. Jauh di lubuk hatinya dia telah menyesali ketergesa-gesaannya untuk datang ke tempat itu tanpa mbok Pariyem.
“Nah, berita apakah yang engkau bawa kali ini, Ratri?” bertanya Raden Surengpati kemudian sambil berjalan mendekat.
Sejenak Ratri mengangkat wajahnya. Ketika sepasang matanya memandang ke wajah Raden Surengpati, tiba-tiba saja dadanya berdesir tajam. Wajah itu tidak menampakkan sebagaimana biasanya yang ramah dan lembut. Wajah itu tampak mengerikan, merah membara dengan sepasang mata yang liar menelusuri lekuk-lekuk sekujur tubuhnya.
Dengan segera Ratri menundukkan wajahnya kembali. Sambil berusaha menguasai degup jantungnya yang melonjak-lonjak, dia menjawab pertanyaan Raden Surengpati dengan suara bergetar, “Raden, tadi pagi ayah telah mengadakan pertemuan dengan para bebahu perdikan Matesih.”
“O,” desis Raden Surengpati sambil menarik nafas panjang. Darah di sekujur tubuhnya telah mendidih. Dengan langkah satu-satu, orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen itu berjalan semakin dekat.
“Apa yang mereka bicarakan, Ratri?” terdengar suara Raden Surengpati berbisik di dekat telinganya. Begitu dekatnya sehingga Ratri dengan jelas dapat mendengar desah nafasnya yang memburu.
Seketika gemetar sekujur tubuh putri Matesih itu. Berbagai dugaan muncul dalam benaknya. Ada perasaan takut yang menyergap hatinya begitu menyadari apapun bisa terjadi selagi mereka hanya berdua saja di tempat yang sepi itu.
Menyadari bahaya yang setiap saat dapat saja menerkamnya, Ratri segera berusaha menghindar dari tempat itu. Katanya kemudian sambil melangkah surut, “Maaf Raden, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Setiap saat ayah akan memerlukan aku. Aku harus segera kembali ke bilikku.”
“Tidak Ratri,” tiba-tiba terdengar suara Raden Surengpati itu mirip lolong seekor serigala lapar di telinga Ratri, “Akulah yang sekarang memerlukanmu disini. Tidak ada seorang pun yang akan menggangu. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu, justru aku akan membahagiakanmu dan sekaligus memberikan sebuah pengalaman yang belum pernah engkau rasakan seumur hidup,” Raden Surengpati berhenti sebentar untuk sedikit meredakan dadanya yang seakan-akan mau meledak. Lanjutnya kemudian, “Inilah kesempatan bagiku untuk membuat Ki Gede menyerah dan menuruti segala kemauanku.”

STSD Jilid 4

Bagian 1

SELESAI berkata demikian, dengan langkah satu-satu Raden Surengpati pun kemudian melangkah semakin dekat. Sementara Ratri benar-benar bagaikan melihat seekor serigala lapar dengan sepasang mata merah menyala serta gigi-gigi runcing menyeringai mengerikan.
Ada sebersit penyesalan yang menyelinap di dalam hati anak perempuan satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Jika dia sedikit bersabar menunggu kedatangan mbok Pariyem, mungkin Raden Surengpati akan bersikap lain.
“Raden,” berkata Ratri kemudian mencoba untuk mengalihkan perhatian Raden Surengpati, “Menurut berita yang aku dengar, kelima orang yang bermalam di banjar padukuhan Klangon itu telah lolos.”
“Persetan dengan segala macam tetek bengek itu!” geram Raden Surengpati, “Aku sudah tidak peduli lagi kepada mereka. Yang ada sekarang ini adalah antara engkau dan aku!”
Selesai berkata demikian, Raden Surengpati maju selangkah lebih dekat. Penalarannya benar-benar telah gelap. Di dalam benaknya hanya ada satu keinginan, menguasai Ratri dengan sepenuhnya kalau perlu dengan paksaan.
Namun putri Matesih itu belum menyerah. Dengan menguatkan hatinya, Ratri pun akhirnya berkata dengan nada sedikit memelas, “Raden, kasihanilah aku. Aku harus cepat kembali, dan Raden pun tentu mempunyai kepentingan lain yang tidak dapat ditunda -tunda. Ijinkanlah aku pergi, Raden.”
Suara Ratri yang terdengar memelas itu di telinga Raden Surengpati bagaikan sebuah rengekan manja dari seorang gadis yang haus akan cinta. Darah di sekujur tubuhnya pun bagaikan mendidih dan kemudian menggelegak menelusuri segenap urat-urat nadinya.
“Ratri,” terdengar suara Raden Surengpati yang bergetar hebat menahan gejolak yang sudah menghanguskan jantungnya, “Engkau begitu cantik dan menawan. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menikmati tubuhmu sejengkal demi sejengkal. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu walau hanya seujung rambutmu. Engkau akan kubawa ke alam keindahan dan kenikmatan yang belum pernah terbayangkan dalam seumur hidupmu.”
Mulut Ratri benar-benar sudah terkunci, tidak mampu lagi untuk berkata-kata maupun berteriak. Kengerian yang sangat telah menjalar ke sekujur tubuhnya sehingga tubuhnya telah kaku seperti sebuah tonggak kayu. Bahkan hanya untuk menggerakkan ujung ibu jari kakinya pun dia sudah tidak mampu lagi.
Ketika salah satu tangan Raden Surengpati yang kekar itu kemudian merengkuh pundaknya, hanya terdengar sebuah jeritan kecil dari mulutnya yang mungil. Sejenak kemudian segalanya terlihat gelap dalam rongga matanya dan Ratri pun jatuh pingsan dalam pelukan Raden Surengpati.
Melihat mangsanya ternyata telah jatuh pingsan, Raden Surengpati pun bagaikan menjadi kalap. Dengan kedua tangan yang gemetar menahan nafsu yang bergejolak, dicobanya untuk membuka pakaian bagian atas putri Matesih itu.
Namun belum sempat dia melakukannya, tiba-tiba telinganya mendengar suara seseorang bergumam tidak seberapa jauh di depannya.
Ketika Raden Surengpati kemudian mengangkat wajahnya, tampak seorang anak muda dengan wajah yang merah padam berdiri beberapa langkah saja di hadapannya dengan kaki renggang dan kedua tangan bersilang di depan dada.
“Iblis!” geram Raden Surengpati kemudian sambil menurunkan tubuh Ratri perlahan-lahan dan kemudian membaringkannya di atas t anah. Sambil maju dua langkah, Raden Surengpati pun kemudian membentak keras, “Siapa yang berani mengganggu kesenangan Raden Surengpati, he?!”
Namun Raden Surengpati menjadi heran sendiri. Pemuda yang berdiri di hadapannya itu tidak menampakkan rasa gentar sedikit pun mendengar dia menyebut nama serta gelar kebangsawanannya. Bahkan sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di depan dada, tangan kanan Pemuda itu justru telah menunjuk ke arah wajahnya sambil membentak tak kalah kerasnya, “Surengpati, namamu yang selama ini menghantui Perdikan Matesih akan berakhir hari ini. Sebelum Matahari terbenam di langit sebelah barat, aku jamin mayatmu akan terbujur di pategalan ini sebagai tumbal tanah Perdikan Matesih untuk menemukan masa depannya kembali.”
“Tutup mulutmu! ” bentak Raden Surengpati kemudian dengan wajah membara, “Sebut namamu sebelum aku membunuhmu! ”
Pemuda itu melangkah setapak ke depan. Sambil membusungkan dada, dia pun kemudian berteriak lantang, “Dengarkan baik-baik. Aku Glagah Putih dari Prambanan yang akan mengakhiri petualanganmu hari ini.”
Belum sempat Glagah Putih menutup mulutnya dengan sempurna, terpaan angin yang keras terasa mendahului serangan Raden Surengpati yang telah meluncur dengan deras menyambar dagunya.
Namun Glagah Putih bukanlah anak kemarin sore yang baru saja berlatih loncat-loncatan dalam olah kanuragan. Dengan tangkasnya dia bergeser selangkah ke samping kiri. Kemudian dengan bertumpu pada tumit salah satu kakinya, kaki yang lainnya berputar menyambar lambung lawannya yang terbuka.
Raden Surengpati yang menyadari sambaran kaki lawannya mengarah ke lambung segera menggeliat. Tumit Glagah Putih pun lewat hanya sejengkal dari lambungnya.
Demikian lah sejenak kemudian kedua orang itu segera bertempur dengan sengitnya. Kedua-duanya masih muda dan berdarah panas, sehingga keduanya segera saja telah merambah pada tingkat ilmu mereka yang semakin tinggi.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan diam-diam menjadi semakin berdebar-debar melihat tandang Glagah Putih. Dari tempat persembunyian mereka, terlihat Glagah Putih bertempur dengan segenap tenaga dan terlihat sedikit menuruti gejolak dalam dadanya.
“Ki Jayaraga, mengapa Glagah Putih terlihat begitu bernafsu untuk segera menjatuhkan lawannya?” bisik Ki Bango Lamatan kepada Ki Jayaraga yang berada di sampingnya.
Ki Jayaraga tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu. Mungkin terdorong kemarahan yang membakar jantungnya melihat putri satu-satu Ki Gede Matesih itu dalam bahaya.”
Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya mendengar jawaban Ki Jayaraga. Katanya kemudian, “Seharusnya Glagah Putih mengekang diri. Jika terjadi kesalahan tangan sehingga Raden Surengpati terbunuh, apakah tidak akan membahayakan para kawula tanah Perdikan Matesih ini?”
“Maksud Ki Bango Lamatan, Raden Wirasena sebagai saudara kandung Raden Surengpati pasti akan membalas dendam?”
“Benar, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan, “Dan tidak menutup kemungkinan Raden Wirasena akan meminta bantuan perguruan Sapta Dhahana untuk membuat Perdikan Matesih menjadi karang abang.”
Sekarang giliran Ki Jayaraga yang mengerutkan keningnya. Namun sambil tertawa lirih Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Jika memang itu yang kemudian terjadi, sekali lagi kita harus menyembunyikan mayatnya agar untuk sementara orang-orang pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu tidak mengetahuinya.”
Ki Bango Lamatan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Jayaraga. Pandangan matanya kembali melihat ke arah medan pertempuran kedua anak muda itu yang semakin lama semakin sengit.


No comments:

Post a Comment